Aga belum mengatakan tujuannya akan ke mana sehingga Ben belum menyalakan mesin mobil.
“Ke pabrik saja, Ben. Kita ke kantor dahulu antar Pak Roy.”
“Iya, Mas Aga.” Ben baru menyalakan mesin mobil dengan menekan tombol start pada mobil.Aga tidak peduli mau ada yang tersakiti atau tidak. Dia benar-benar merasa dirinya diinjak-injak dan diremehkan. Bahkan ditusuk dari belakang. Dia mengingat jika kemarin Mos berada di rumah.
“A, apakah dia datang mencari bala bantuan?” bisik Aga mengepal tangan.
Pak Roy yang duduk di sebelahnya sedikit bergeser. Hal yang sama berlaku untuk Ben yang melihat dari kaca spion depan.
"Mas Aga, mau minum air mineral?” tanya Ben memastikan karena kehadirannya hanya untuk memastikan Aga baik-baik saja.
"Tidak,” jawabnya singkat dengan nada rendah.Sepanjang perjalanan tidka banyak yang dilakukan Aga. Dia hanya menatap ke arah luar. Sepertin
“Ada apa Pak? Bapak mencariku?” tanya Aga berdiri di depannya.“Mas Aga tidak boleh melakukan pekerjaan semaunya.” Aga melihat pimpinan pabrik dengan tatapan bingung. Dia tidak tahu apa yang dikatakan dan dimaksud.“Tunggu-tunggu, ini maksudnya apa aya? Aku tidak mengerti.”“Mas Aga meminta pekerja-pekerja pabrik untuk memilah anggur- anggur.”“Bukankah itu pekerjaan mereka? Lalu apa aku salah jika meminta mereka melakukannya.”“Mas Aga tidak salah, tetapi pekerjaan itu memakan waktu yang sangat lama.”“Maksudnya?”“Kami tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang lain. Kalau Mas Aga masih meminta untuk memilah anggur-anggur.”“Aku akan tetap minta mereka untuk melakukannya.”“Tidak bisa dengan cara seperti itu, Mas Aga.”“Dengan cara apa supaya bisa menghasilkan wine yang dapat dinikmati tanpa ada protes?” tanya Aga meninggikan suaranya. Aga melihat pimpinan pabrik hanya diam tidak bisa memberikan solusi
Aga berjalan dengan wajah tersenyum. Dia tidak mau menengok ke belakang melihat wajah pimpinan pabrik yang pasti terlihat bingung.“Kenapa Mas Aga senyum-senyum sendiri?” tanya Ben pada Aga yang berjalan mendekatinya.“Tidak papa. Hanya lucu saja. Dia membuatku bingung. Sekarang aku yang membuatnya bingung.”“Aku pun bingung.”“Pulang saja yuk daripada semua bingung,” ajak Aga berjalan ka arah mobil.“Kamu sudah tidak ada kerjaan lagi kan, Ben?” tanya Aga membuka pintu mobil.“Tidak ada.”“Ya udah pulang. Sudah sore, kita di jalan menjelang malam.”“Iya.” Ketika di mobil, Aga hanya berdiam diri. Dia tidak melakukan apa pun hanya menatap ke arah luar. Sementara Ben mengendarai mobil dengan fokus. Aga berpikirada benarnya juga apa yang dikatakan pimpinan pabrik. Memang dia terlalu buru-buru meminta mereka; pekerja-pekerja pabrik untuk memilih-anggur-anggur yang bagus.“Mas Aga tida
Aga tidak diam, dia juga mengikuti gerakan pimpinan pabrik yang mundur.aga semakin maju. Dia tidak bermaksud mengertak. Hanya saja, dia ingin memberikan kejutan kecil di pagi hari.“Kenapa Bapak berjalan mundur?” tanya Aga dengan tangannya masuk ke saku celana.“I-itu. I-tu, Mas Aga sedikit menakutkan bergaya seperti ini.”“Bergaya bagaimana maksudmu, Pak?”“Tangannya berada di saku celana.” Aga mengambil sikap berdiri tegak. Ternyata dia semenyeramkan itu sampai bergaya santai seperti ini dipikir menakutkan. Dia tidak berpikir jika orang lain akan berpikiran sama. Jangan sampai ada yang berpikiran dia jahat.“Tidak perlu takut. Wajahku menggemaskan seperti ini, Bapak bilang menakutkan. Aku merasa sedih.” Aga menepuk pundak pimpinan pabrik.“Habisnya Mas Aga sedikit berbeda dari kemarin.”“Sama saja, Pak. Aku masih Aga Brawijaya, cucu Kakek Aga dan anak dari Papa As.” Aga memlihat pimp
Aga pikir dia akan fokus memperbaiki rasa wine.“Biar dia saja yang mengurusnya. Aku hanya perlu terima laporan yang benar saja.” Aga berjalan kembali mengelilingi pabrik. Aga ingin fokus pada satu pekerjaannya dahulu walaupun dia tidak perlu terjun langsung untuk mengelola perusahaan. Dia bukan tipe orang yang cepat puas dengan hasil yang didapat. Dia perlu mencari tahu ada kejanggalan apa dari rasa wine yang dibuat oleh Mos. Tiba-tiba, ponsel Aga berdering dengan nada panggilan yang cukup asyik untuk didengar.“Papa." Aga menyentuh layar ponsel untuk mengangkat panggilan telefon.“Halo, Pa.”“Halo, Ga. Kamu di mana?”“Aku di pabrik. Ada apa Pa?”“Kebetulan. Papa mau menanyakan tentang lowongan pekerja pabrik. Apakah kita benar-benar membutuhkan?”“Iya, Pa. Aga melihat sendiri jika mereka kesusahan dalam bekerja. Ada beberapa yang sudah mau pensiun dan ada
Tidak ada yang bisa Aga lakukan selain mengangguk. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Dia tidak bisa melakukan di luar batas kemampuannya.“Terima kasih, Mas Aga.” Pimpinan pabrik berjalan menjauh untuk mengerjakan pekerjaan selanjutnya. Aga masih penasaran dengan rasa wine. Padahal sekitar sepuluh menit yang lalu, dia mencicipi.“Rasanya sedikit saja sudah pas. Apa yang kurang ya?” tanya Aga mencoba mencari apa yang salah.“Aku sudah melakukan yang benar. Apa waktu fermentasi yang dibutuhkan? Besok? Tidak mungkin. Aku merasa besok akan serangan lagi dari mereka. Setelah serangan dari youtuber.” Aga berjalan mondar-mandir layaknya setrikaan. Dia memikirkan cara supaya hari ini dia dapat merasakan wine dengan rasa yang unik dan bisa diterima oleh masyarakat. Setidaknya dirinya sendiri bisa menerimanya.“Kurang kerjaan? Ya itu yang dipikirkan oleh mereka yang tidak mau mperbaiki.”&n
Aga berpikir masih berani-beraninya datang ke kantor. Padahal kemarin membuat masalah yang membuat Aga sempat berpikir mau memecatnya. Dia tidak paham dengan sikap pimpinan pabrik. Dia menduga ada orang dalam yang menyokongnya hingga bisa bertahan sampai saat ini. Aga masuk ke ruang wawancara dan terdapat tiga penguji lainnya.“Kamu,” kata Aga menunjuk salah satu pria yang duduk di sebelah pimpinan pabrik. Ya pria itu adalah Mos. Aga datang selaku direktur utama sedangkan Mos datang sebagai wakil direktur. Dia tidak mengalihkan pandangannya ke lain, tetap pada melihat Mos.“Mas Aga,” panggil pimpinan pabrik untuk fokus.“Iya,” jawabnya melihat ke depan karena pimpinan pabrik memberikan kode. Pelamar-pelamar kerja yang dipilih sebanyak 110 orang dan sepuluh orang akan gugur. Empat penguji ini bertanggung jawab untuk menilai mereka satu per satu.“Kita buat cepat saja
Aga dan Mos memilih pandangan yang sama yaitu pimpinan pabrik. Baik Aga maupun Mos menunggu jawaban pimpinan pabrik karena penentu.“Lama amat. Menunggu apa?” tanya Mos nada sinis.“Pikirkan baik-baik, Pak. Bapak juga perlu melihat lamaran yang dikirimnya. Dia pintar walaupun tidak cantik.” Aga mencoba menambah bumbu-bumbu supaya pimpinan pabrik bingung memilih. Aga melihat pimpinan pabrik menggaruk kepalanya walaupun tidak terlihat gatal.“Yakin sekali lagi pilihan Bapak,” kata Aga tidak hentinya menambah bumbu penyedap.“Cukup. Biarkan dia berpikir. Terlalu lama menunggumu. Cepat.” Mos meninggikan nada suaranya.“I-iya. Saya akan menjawab.”“Ingat ya Pak pikirkan baik-baik. Jangan sampai pilihan Bapak salah.” Aga mengingatkan lagi. Mungkin orang lain yang melihatnya akan tertawa terbahak-bahak karena lucu. Ini hanya untuk pekerja pabrik bukan seperti pemilihan ketua kelas.“Saya m
“Ada apa Pak? Kenapa menatapku? Ada yang salah di wajahku?” tanya Aga beruntun.“Seharusnya saya yang tanya. Mas Aga lihat apa?”“Lihat itu ada lalat lewat.”“Lalat? Tidak ada lalat di sini.”“Ada, Bapak saja yang tidak bisa melihatnya.”“Apa ada lalat? Di ruangan dengan pendingin udara mana ada lalat. Bisa-bisanya Mas Aga.”“Tidak kok. Coba saja lihat.” Aga bingung harus menjawab apa.“Mas Aga bilang saja kalau melihat Sea.”“Tidak kok,” jawab Aga memungkiri.“Tidak papa kalau lihat Sea. Cantik?”“Tidak juga,” jawab Aga gugup. Aga tidak bisa bohonh jika dirinya memang melihat Sea. Aga melihat dari belakang, punggung Sea yang membungkuk. Sebenarnya cantik hanya saja jika berat badannya berkurang sedikit saja ditambah sehat.“Akh sudahlah.” Aga mengibaskan tangan di wajah seperti mengusir lalat.“Mana lalatnya Mas Aga?” tanya pimpinan pabrik yang melihat Aga mengibaskan tangan.“Itu-itu, Bapak tidak melihatnya?” tany