“Pintu dimensi ada di gunung kutub utara, aku akan membawa kalian pergi.” Mir orang yang disebut-sebut Amor kemarin ternyata adalah laki-laki dengan sehelai kain hitam. Dia begitu tampan dan lembut, benar-benar tidak seperti seorang dewa kematian.
“Semua yang ada di dalam dunia dimensi tidak dapat berubah, kalian hanya dapat menonton, mencari jawaban yang kalian inginkan, dan lagi setelah setengah jam segeralah keluar, jika tidak, pintu akan tertutup.”
Kami bertiga seperti wisatawan yang mendengarkan seorang pemandu wisata membicarakan suatu destinasi. Setelah bercerita lama tentang pintu dimensi, kami pun segera berangkat menuju tempat yang dituju,tidak di sangka gunung di kutub ini sangat dingin. Dalam detik di mana aku berpijak di sini, seluruh tubuhku seperti membeku. Amor segera menarik tanganku, seketika seluruh tubuhku menjadi hangat kembali. Aku pun menatapnya dengan lekat, apakah dia adalah penghangat berjalan? Aku pun mengandeng tanganya dengan erat. Mir segera memberikannya sebuah jaket tebal untuk Ren, tetapi kenapa dia tidak memberikan satu padaku juga?
“Aku akan membantu kalian menahan pintu ini,” gumam Mir di tengah menggunakan kekuatannya untuk membuka pintu dimensi, sedangkan Aku, Amor dan Ren bersiap-siap masuk ke dalam.
Ruang dimensi yang gelap sekejab berubah, kami terjatuh dari udara menuju daratan, ya tidak salah lagi ini adalah bumi, aku sedang berada di sebuah padang rumput. “Amor, Ren,” panggilku mulai mencari mereka.
Ketika menemukan Amor yang sedang melihat suatu tempat, aku segera berlari menghampirinya, Ren juga ikut berlari menghampiri kami.
Sebuah sinar bagaikan meteor jatuh di siang hari ini terlihat begitu aneh. Kami menyaksikan secara langsung sinar tersebut jatuh dan masuk ke dalam perut seorang wanita hamil, tidak lama kemudian sebuah sinar meteor juga ikut jatuh masuk ke dalam seorang wanita hamil lainnya yang tidak jauh dari sana. Kedua wanita tersebut langsung jatuh tidak sadarkan diri.
Dalam hitungan detik ruang waktu membawa kami hingga ke tempat lain.
“Rumah sakit.” Aku begitu terkejut, kami bertiga kini berdiri di tengah lorong rumah sakit.
“Aura itu.” Tanpa basa-basi Amor langsung berlari meninggalkan kami, dia berlari ke arah kamar bayi. Aku dan Ren segera mengikutinya, tetapi setelah sampai di samping Amor aku begitu syok melihat seorang bejubah hitam dan juga seorang bayi, apakah bayi itu Ren? Siapa jubah hitam itu?
Aku ingin menghampirinya untuk melihat lebih jelas, tetapi Amor menahanku.
“Kenapa? Asal mengetahuinya, kita sudah dapat membuka segel Ren,” ucapku. Aku pun ingin berjalan maju, tetapi Amor tidak melepaskan tanganku.
Amor tersenyum meledek. “Sahabatku ini benar-benar bisa bermain,” gumamnya.
“Sahabat?”
“Mir,” panggil Amor mengejutkanku, aku pun menoleh ke arah pria berjubah hitam itu, sungguh mengejutkan, orang itu adalah Mir, kenapa dia ada di sini?
“Kenapa.. dia ingin menyegel kekuatanku?” tanya Ren tidak mengerti, begitu juga denganku.
Amor kembali tersenyum menatap Ren. “Itu harus bertanya pada dirimu,” gumamnya. “Sudah, kita sudah tidak ada waktu lagi, kita harus kembali tanyakan ini pada sahabatku itu.”
Di saat kami baru keluar dari rumah sakit, langit tiba-tiba berubah menjadi gelap padahal kami berada di dalam belum melewati setengah jam. Amor kembali tersenyum meledek, setiap senyumannya membuatku tidak mengerti. “Kita.., dikurung,” gumamnya mengejutkanku.
“Ini sebuah perangkap!” Ren ikut panik ketika mengerti apa yang sedang terjadi. Namun hanya aku yang tidak mengerti semua ini, apa yang telah terjadi?
“Sebaiknya kau ceritakan apa yang telah terjadi,” ucap Amor melirik ke arah Ren.
Ren hanya terdiam menatapku, kelakuan mereka berdua benar-benar membuatku bingung.
“Aku ditugaskan ratu untuk menjemput Geana pulang.”
Untuk pertama kalinya aku mendengar Ren memanggilku Geana. Namun, apa hubungannya aku dengan ratu dewi kebahagiaan?
“Ratu akan menurunkan kekuasaannya pada Geana.”
“Aku?” tanyaku bingung.
“Iya, kamu merupakan putri kandungnya.”
“Aku?” tanyaku lagi. Ini seperti sebuah candaan, aku dewi kesedihan? Bagaimana bisa menjadi seorang dewi kebahagiaan? “Apa kau sedang bercanda Ren?”
“Dia tidak bercanda,” ucap Amor lebih mengejutkanku.
“Ayahmu dewa kematian, tetapi ibumu adalah dewi kebahagiaan,” jelas Ren.
“Bagaimana bisa?”
“Ini merupakan aib kedua alam, karena masalah ini, ayahmu membawamu pulang ke alam kematian.”
“Aku bahkan hampir lupa masalah ini,” gumam Amor tersenyum meledek, sepertinya dia sudah mengetahui hal ini sejak awal.
Jadi selama ini Ren selalu mengatakan ingin membawaku pulang ke alam kebahagian itu benar, dia tidak membohongiku. Aku dapat melepas kesedihan ini.
“Jika begitu, kenapa kau menyegel kekuatannya?” tanya Amor.
“Itu karena kau!” bentak Ren kesel. “Dia tidak ingin ikut aku pergi karena kau!”
Karena Amor? Ada apa dengannya?
Amor yang merasa punya banyak pertanyaan pun menggunakan kekuatannya untuk memutar waktu dimensi, ketika kita sampai di sebuah tempat Amor langsung memuntahkan darah.
Aku segera berlari menghampirinya. “Mir sudah mengingatkan untuk tidak sembarangan menggunakan kekuatanmu, kamu akan mendapat serangan balik dari kekuatanmu,” ucapku. Aku sungguh mengkhawatirkannya, tetapi dia tidak memedulikanku, dia begitu fokus melihat gambaran yang muncul di sekitar kami.
Galaxy terasa ramai dan berisik, kami berdiri di tengah peperangan antara dewa kebahagian dengan dewa kematian. Aku melihat dirku memakai jubah peperangan berwarna hitam menghadapi seseorang laki-laki yang memakai topeng, aku tahu dia adalah Ren, walau wajahnya tertutup setengah namun dia tetap terlihat tampan dengan rambut putih panjangnya, makhota di atas kepalanya menujukkan jika dirinya memiliki kedudukan tinggi di alam kebahagiaan.
“Kau harus ikut aku kembali!”
“Tidak akan! ini alamku.”
“Tetapi ibumu menunggumu.”
Geana yang merupakan sosokku itu tersenyum geli. “Ibu?” sejak kapan aku memiliki ibu?”
“Dia membutuhkanmu.”
“Aku tidak peduli!”
“Geana!” teriakan itu, suara Amor yang berada jauh di sana, dia mati-matian menghadapi puluhan dewa kebahagiaan yang telah mencegatnya.
Geana menatap ke arah Amor membuat Ren mengerti sesuatu.
“Kamu menyukainya?”
“Itu tidak ada urusannya denganmu, aku tidak akan mengikutimu pulang, pergi sekarang sebelum aku membunuhmu.” Ketika Geana ingin pergi membantu Amor, Ren langsung menggunakan kekuatannya untuk menyegel Geana, Geana berusaha untuk memberontak hingga mereka tidak sengaja terjatuh ke arah bumi.
Aku menyukai Amor? Aku begitu terkejut menoleh ke arah Amor, di benakku tidak pernah kepikiran dapat menyukai seorang dewa kematian. Amor pun tersenyum. “Ternyata selama ini kamu tidak pernah melupakanku, Geana.” Kata-kata itu membuatku merasa geli juga tidak mengerti. “Baiklah, sudah tidak ada waktu, daripada mati di sini, aku akan mengirim kalian pulang, setelah keluar dari pintu dimensi ini, menjauhlah dari Mir,” gumam Amor melepaskan tanganku. Dia sungguh membuatku syok, apa yang ingin dia lakukan? Mengantarkan nyawanya demi memulangkan kami? “Tidak Amor, tidak! Kamu tidak boleh mati di sini!” Amor pun tersenyum menatapku. “Setimpal,” sebuah kecupan darinya membuatku membatu, begitu banyak banyangan yang muncul di benakku, namun bukan kesedihan, aku merasakan kebahagian berada di sisi Amor, rasa yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah sinar menyilaukan memulangkan kami ke depan pintu dimensi. *** “Geana,” panggil Ren segera membangunkanku. “Amor! Amor!” teriakku menatap
“Amor!” teriakku. Aku tersadar dari mimpi panjangku. Amor menatapku dengan dingin, dia duduk di pinggir kasurku. “Amor,” panggilku segera bangun dan memeluknya dengan erat. Aku berharap seluruh itu hanyalah mimpi dan tidak akan menjadi kenyataan. “Bodoh, kenapa sembarangan mengambil tindakan?” tanyanya. Dia mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus kepalaku. “Aku.. aku ingin pergi mencarimu.” Amor langsung mengetuk kepalaku pelan. “Kamu lupa jika kita saling terhubung, hanya kamu yang dapat mengumpulkan jiwaku, jika kamu datang mencariku, aku tidak akan kembali lagi bodoh.” Kata-katanya membuatku tersadar bertapa bodohnya diriku, kenapa aku tidak mengingatnya. Kami saling terikat, hanya aku yang dapat membangunkannya. “Amor,” panggilku lagi. Aku melepaskan pelukkanku dan menatapnya. “Bagaimana dengan kakak?” “Bajingan itu.., maksudku Mir, dia kabur.” “Ren, bagaimana dengan Ren? Apakah dia baik-baik saja.” “Kau.., sangat memerhatikannya,” gumam Amor terdengar dingin. Aku pun m
“Mama, aku ingin beli itu.” Seorang gadis dengan senang menujuk boneka di dalam toko dekat sekolah. Boneka tersebut merupakan keluaran terbaru minggu ini, anak-anak yang melewatinya selalu terhenti hanya untuk melihatnya, begitupun denganku. Setiap pulang pergi sekolah aku selalu terhenti di depan toko, melihat tembus ke dalam estalase mewah. Boneka teddy bear tersebut duduk manis di dalam sana. “Ayo kita masuk beli.” Sang ibu tersenyum manis mengandeng gadis munggil itu masuk. “Mama, aku lelah,” keluh seorang anak kecil yang melewatiku. “Sini mama gendong.” Tanpa basa-basi ibunya langsung mengendong putri munggilnya. Pemandangan di depanku sungguh membuat orang iri. Anak-anak itu memiliki umur yang sama sepertiku, enam tahun, tetapi.., hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan daerah sekolah. Aku sungguh iri dengan mereka, kenapa mereka memiliki ibu yang begitu menyayangi mereka, tetapi aku hanya dapat pulang ke rumah seorang diri. “Mila,” pan
Pagi telah tiba, kemarin malam adalah malam pertama aku dapat tidur dengan tenang setelah sejumlah kejadian menimpaku. Aku mengantarkan Ren ke gerbang perbatasan alam kami. “Sampai jumpa, jika bertemu masalah datanglah mencariku,” ucap Ren. Aku pun memeluknya, tidak disangka dari awal pertemuan kami hingga pelukan kali ini, dari musuh hingga menjadi teman, aku tidak pernah memikirkan dapat memiliki teman dari alam yang berbeda. “Kau juga, jika bertemu masalah jangan sungkan-sungkan, aku akan membantumu,” ucapku menatapnya dengan lekat. Seorang dewa kebahagian tertampan sejagat, Ren kini memakai kembali topengnya. Dia menyunggingkan senyuman di bibirnya yang tipis. “Jika begitu ikutlah aku pulang.” “Jangan bercanda lagi,” gumamku ikut tersenyum. “Baik-baik, sampai jumpa.” Aku melihat sosok Ren yang pelan-pelan menjauh. Jika aku tidak pulang untuk menjadi ratu kebahagian, Ren pasti akan menjadi raja, aku mengharapkan hari itu segera tiba. Setelah mengantarkan Ren, aku pun kemba
Kami sampai di taman bermain. Waktu menjadi Mila, hal yang begitu aku inginkan adalah datang ke taman bermain, bermain roller coaster, komedi putar, bianglala, bagaikan cerita dongeng. “Ayo kita main itu!” tunjukku ketika melihat wahana tornado, tetapi Amor langsung menarikku, membuat langkahku terhenti. “Tidak, tidak, permainan itu terlalu berbahaya,” cegatnya. Aku pun mengangguk-angguk menyetujui, kematian karena permainan itu tidaklah sedikit. “Baiklah, kalau gitu kita main yang itu,” tunjukku ke arah lain, di saat aku ingin berjalan pergi, Amor kembali menarikku. “Tidak, itu juga berbahaya,” cegatnya lagi. Aku pun menatap Amor dengan kesal. “Amor, kamu lupa jika kamu adalah dewa kematian?” tanyaku mengingatkan. “Iya juga,” angguk Amor menyadari. Akhirnya kami memutuskan untuk bermain roller coaster yang tidak jauh dari kami. Di bumi permaian ini adalah permainan yang paling terkenal, banyak orang yang akan mencoba menaikinya, aku tentu penasaran. Kini kami duduk bersebelah d
Kini langit memancarkan cahaya matahari sebelum terbenam, warna langit menjadi begitu indah, pink jingga. Seiring matahari yang menghilang dari depan mataku, warna langit pelan-pelan mengelap, seperti kekosongan di hatiku sekarang. Aku dan Amor duduk di atas bianglala tertinggi di bumi ini. Aku memakai sihirku menghentikan bianglala, menikmati pemandangan luar dari ketinggian sini. “Tidak ada gunanya kamu memikirkan dia,” gumam Amor menghampiriku. Walau tidak membuka pintu hati, Amor tetap dapat mengerti diriku dengan baik. Dari mata Amor aku dapat merasakan jika dia sudah membuat keputusan. “Amor, apakah ada cara untuk tidak membunuhnya?” Amor tidak menjawabku, Mir kakakku telah melakukan kesalahan yang begitu besar, hukuman ringan saja tidak cukup untuknya, walau aku membencinya yang sekarang, namun dari dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin mengakhiri hidupnya. “Bagaimanapun dia adalah keluarga satu-satunya yang aku miliki sekarang,” lanjutku. Amor terdiam cukup lama menatap ke
Sebuah bar di tengah kota, aku dan Amor menelusuri tempat tersebut dengan kekuatan kami, sehingga tidak akan ada yang menyadari keberadaan kami. “Akhirnya ketemu.” Begitu puasnya diriku ketika melihat segerombolan manusia yang aku cari. “Manusia jahat seperti inilah yang harus di beri pelajaran olehku. “Amor hanya tersenyum meledek di sampingku. Dia mengerti diriku, jika ada dendam maka harus dibalas. “Lakukanlah,” gumamnya.Aku pun tersenyum melihat kakak-kakak kelasku yang menikmati bir dengan sejumlah lelaki, sungguh hancur hidup mereka. Aku mulai mengerakkan tanganku, memindahkan seluruh kesedihan berlebihan di jiwa orang-orang sekitar sini dan memasukan ke mereka, dengan ini mereka akan menanggung kesedihan berlebihan di hidup mereka. Aku ingin mereka merasakan bagaimana hidup orang-orang yang ditindas oleh mereka, Mereka telah memperburuk hidupku di bumi, balasan seperti ini tidaklah keji untuk mereka.Salah satu kakak
Kami kembali berpijak di atas bumi, kali ini tidak untuk bermain-main. Kami harus menempuh misi yang belum ada titik terang ini. Seingatku ayah tidak pernah turun ke bumi dan juga dia sudah meninggalkan orang yang menyebut dirinya ibuku itusejak aku lahir. Aku sungguh tidak tahu ke mana busur itu pergi? Sedangkan sehari sebelum kematian ayah,aku masih melihat busur itu.“Ke mana kita harus pergi, Amor,” tanyaku melihatnya dengan bingung.Angin kencang berhembusmembawa pergi pasir-pasir di padang gurun ini melewati kami. Aku menatap Amor dengan penuh tanda tanya, dia terlihat sibuk merasakan sesuatu di sampingku.“Apakah ada sesuatu di sekitar sini?” tanyaku.Amor mengangguk pelan, mata dan tangannya masih tidak berhenti merasakan hawa di sekitar. “Beberapa tahun lalu saat mencarimu aku pernah melihat blackhole di sekitar sini, namun kenapa..”“Blackhole?”Amor kembali mengangg