Share

10

Hari-hari pertama masih kulewati dengan upaya adaptasi. Tidak kudapati lagi suara Rita yang dengan lembut membangunkanku di waktu subuh. Sekarang Mama dan Papalah yang melakukannya.

Malam-malam pertama tidurku juga diselingi dengan mimpi-mimpi tentang kehidupanku di tahun 2020. Semua politik kantor, para penjilat, dan tekanan birokrasi yang menghiasi hari-hariku. Hal-hal yang langsung menguap hilang setiap kali aku mencapai rumah.

Itu adalah mimpi-mimpiku di beberapa malam pertama.

Tidak ada lagi suara Narendra dan Maisha menghiasi setiap pagi hariku. Mereka yang dulu terkadang kuminta untuk tidak berisik, kini suara nyaringnya justru kurindukan.

Sedikit-banyak aku merasa kehilangan.

Pagi hari ini aku teringat sesuatu.

Tentang kenapa teman-temanku saat taman kanak-kanak tidak pernah bermain denganku saat istirahat. Mereka semua berkumpul di kedai bubur ayam. Di sana mereka bercanda dan bermain-main.

Sementara aku yang pemalu selalu menyendiri di dalam kelas. Yang kulakukan setiap hari pada jam istirahat adalah duduk-duduk di bangku kelas. Jika bosan, aku baru pergi ke luar untuk bermain perosotan atau panjat-panjatan. Semua kulakukan sendirian. Karena teman-temanku bermain bersama setelah mereka mengobrol di kedai bubur ayam.

Aku yang baru bergabung setelah mereka selesai makan bersama, tentu tidak diacuhkan. Pada masa itu aku merasa sendirian.

Maka pagi ini sebelum berangkat sekolah, aku meminta uang seratus rupiah kepada Mama untuk membeli bubur ayam yang dijual di luar pagar sekolah. Dulu aku tidak menyadari bahwa syarat untuk diterima di pergaulan taman kanak-kanak ini adalah bubur ayam. Mereka yang suka jajan bubur ayam dianggap bagian dari geng.

Dulu aku tidak tahu akan hal ini. Baru kusadari setelah aku lulus dari taman kanak-kanak.

Teman-teman menyambutku saat aku datang dan ikut memesan bubur ayam.

“Eh, Ferre!”

“Ferre, beli jugaaaa!”

“Sini...sini di sebelah sayaaa!”

Begitulah suara teman-teman yang menyambutku.

Kami duduk di bangku tanpa meja, mengobrol, tertawa-tawa, dan berkelakar sambil makan. Di sini ternyata pergaulan taman kanak-kanak terbentuk. Di bangku penjual bubur ayam.

Mereka tidak lagi mengabaikanku.

Kini aku pun termasuk geng, setelah membeli bubur ayam dan makan bersama yang lainnya. Aku tidak pernah lagi membawa bekal roti dari rumah. Hanya seratus rupiah yang kuminta, untuk bekal makan bubur ayam di gerobak bertuliskan “Bubur Ayam Mang Oyo”.

Aku tidak lagi dikucilkan, bahkan teman-teman mulai segan padaku. Sepertinya juga karena kejadian dengan Dimas. Tapi tak lama kemudian aku pun merasa bosan.

“Saya kemarin beli robot robokop!”

“Kemarin saya sih beli barbie!”

“Eh ada transformer baru!”

Pembicaraan-pembicaraan seperti itulah yang mendominasi kedai bubur ayam. Aku jadi merasa bodoh karena telah terlalu serius menginginkan bergabung di pergaulan ini. Rasanya aku lebih bahagia menjadi penyendiri lagi. Mereka bukanlah levelku.

“Sudah makannya dek?” tanya penjual bubur ayam.

Aku terkesiap, menyadari bahwa aku telah melamun terlalu lama.

“Ayo masuuuuukkk!!!” suara Bu Elly terdengar sambil membunyikan lonceng kecil di tanganya.

Semua anak langsung berhamburan masuk ke dalam kelas, kecuali aku yang dengan santainya memberikan mangkuk ke penjual bubur dan berjalan biasa ke pintu masuk. Kami pun memulai pelajaran kembali. Di kelas yang berbangku warna-warni. Kudapati di depan kelas ini terdapat sebuah lambang Garuda Pancasila. Lambang yang besar dan luar biasa mengagumkan bagiku.

Kupandangi gambar Garuda Pancasila di depan kelas tersebut, diapit oleh gambar Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudarmono. Sejak dahulu sampai sekarang pun aku sangat mengagumi lambang tersebut, sampai-sampai kuminta Papa mencarikan yang persis demikian.

Namun kami tidak pernah tahu di mana bisa membeli lambang seperti yang tergantung di depan kelas. Akhirnya bu Elly yang membuatkan gambarnya untukku, di atas kertas A5. Kupikir saat itu ia sangat baik, mau membuatkanku gambar demikian dengan susah payah.

Tapi setelah kuingat-ingat, justru ia pada hari itu sama sekali tidak bekerja. Bu Ivonne yang mengambil alih tugas mengajar mereka berdua, sementara ia menggambarkan Garuda Pancasila untukku sepanjang hari. Lucu juga jika kuingat. Beberapa pekan ini semua memori itu berulang. Hari-hari yang tak pernah kuduga akan datang kembali.

Hari ini, aku juga sedang mengingat semua memori, sambil bernyanyi-nyanyi bersama yang lain.

Sebelum sebuah kegaduhan di luar mengalihkan perhatianku.

Elly dan Ivonne berlari ke arah pintu. Anak-anak berhamburan melihat dari arah jendela, termasuk aku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status