I can't...I never can't show you my weakness
“Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan.
“Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.”
Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku.
“Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.”
“Aku nggak pengin ngelakuin itu.”
Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku rasakan. Ada saat di mana aku benar-benar ingin menunjukkannya semua rasa yang menggumpal di hatiku sejak peristiwa itu. Tapi aku tidak pernah berhasil melakukannya. Setiap kali aku ingin berteriak, logikaku seketika mengambil alih. Logikaku melarangku untuk marah atau berteriak karena itu tidak akan mengubah kenyataan. Sebaliknya hanya menimbulkan sakit yang lebih dalam untukku.
“Dhe, berhenti bohong, please,” aku baru menyadari kalau Ahsan sudah menghentikan mobil di bahu jalan bebas hambatan. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Ada kelelahan, kesedihan, juga kemarahan di sana.
“Gue nggak…”
“Setop! Kalau lo mau bilang lo nggak pernah pengin marah atau teriak ke Alena mending lo diam, deh. Gue capek ngelihat lo bohong.”
“Gue nggak bohong, San!” Kali ini aku berteriak, “Gue memang nggak baik-baik aja tapi bukan berarti gue marah apalagi benci sama Alena.”
“Berhenti bohong, Dhe. Sekali aja!”
“TERUS GUE HARUS APA, SAN?!” Napasku memburu tapi aku masih belum puas berteriak, “Gue harus ngomong apa biar lo puas? Apa, San?! Lo mau dengar gue ngomong kalau gue benci sama Alena? Benci sama semua yang dia punya? Benci karena hidup dia kayaknya mulus banget dan sempurna gitu?!”
Ahsan masih menatapku dengan tatapan yang sama. Tatapan yang membuatku merasa terintimidasi.
“Oke, seandainya gue ikutin saran lo, gue jujur ke Alena, gue marah, gue teriak, terus apa? Itu nggak akan ngubah apa pun, kan?! Jadi buat apa, HA?!”
“Mungkin nggak akan ngubah apa-apa. Tapi paling nggak mereka tahu apa yang lo rasain.”
“Mereka tahu. Gue yakin kalau selama ini mereka tahu apa yang gue rasain.”
“Mereka nggak tahu, Dhe,” Ahsan menarik napas panjang, “Gue juga nggak tahu. Yang bisa gue dan keluarga yang lain lakuin itu cuma nebak doang. Itu juga nebaknya cuma dari apa yang lo tunjukin selama ini. Sayangnya apa yang lo tunjukin itu cuma topeng.”
Aku mengusap air mata yang semakin deras dengan kasar. Saat ini aku tidak ingin menangis dan membuat Ahsan tahu kalau apa yang diucapkannya benar. Sepuluh tahun aku berhasil menyembunyikan apa yang aku rasakan. Berbohong selama beberapa jam, sepanjang perjalanan menuju Bandung seharusnya bukan hal yang besar, kan?
“Hubungan lo sama Alena dan Tante Rissa itu kayak jembatan yang udah rusak. Kalian harus ekstra hati-hati kalau nyebrang. Tapi nggak ada yang mau memperbaikinya karena sikap lo bikin mereka mikir kalau nggak ada yang salah dengan jembatan itu padahal sebenarnya jembatan itu nggak bisa diperbaiki lagi.”
“Marah, Dhe. Bakar sekalian jembatan itu biar lo sama Alena dan Tante Rissa bisa bikin jembatan yang baru. Jembatan yang lebih bagus, lebih kokoh. Hubungan kalian juga bakalan membaik karena masing-masing tahu apa yang dirasain pihak lain.”
Ahsan menghabiskan sebotol air mineral kecil sebelum melanjutkan ucapannya, “Lo tahu kalau dari kita masih bocah gue udah nggak suka sama Alena. Ada alasannya, intinya karena gue nggak cocok sama sifatnya Alena. Tapi kali ini gue nggak bisa nyalahin Alena sepenuhnya.”
“Alena memang nggak salah, San.”
“Alena salah. Tapi salahnya lo lebih besar lagi.”
“Gue?” Aku mulai tidak memahami apa yang ingin diutarakan oleh Ahsan.
“Ya. Gue yakin sekarang lo kaget dan nggak berhenti nanya kenapa Alena ngelakuin itu ke lo. Kenapa Alena harus ngumumin kehamilannya di pesta ulang tahun lo. Gue yakin lo nggak mau ngakuin, tapi di dalam hati lo nyalahin Alena untuk apa yang lo rasain malam ini. Iya, kan?”
Aku memilih untuk tidak menjawabnya. Mengakui sama saja dengan bunuh diri.
“Menurut gue, apa yang dilakuin Alena tadi itu karena kesalahan lo. Kalau aja lo lebih jujur sama diri lo sendiri, sama Alena dan Tante Rissa, mungkin kejadian malam ini bakalan beda. Alena memang pencari spotlight tapi kalau seandainya dia tahu yang sebenarnya lo rasain dia pasti nyari spotlight dengan cara yang beda.”
Aku berusaha mencerna apa yang diucapkan oleh Ahsan. Hati kecilku menyetujui ucapannya. Tapi aku masih tidak ingin mengakuinya. Bagaimana pun aku tidak melakukan apa pun. Alena memang selalu berdiri di tengah spotlight. Jika tidak, maka dia akan mecari cara untuk mendapatkan sorotan sekalipun dengan menyakiti orang lain.
“Alena sayang sama lo. Tante Rissa juga walau sejak dulu kalian nggak pernah bisa akur,” Ahsan menggenggam tanganku lembut, “Bakar jembatannya terus perbaiki. Lo berhak untuk dapatin hubungan yang lebih sehat dengan mama dan kakak kandung lo.”
Ahsan dan Let My Heart yang dimainkan Yiruma berubah menjadi perpaduan yang menyesakkan malam ini. Saat ini hatiku menghangat dengan berbagai kenangan masa kecil yang selama ini terlupakan karena tertumpuk oleh amarah dan kebencian.
Alena yang menyayangiku.
Alena yang selalu menungguku tertidur.
Alena yang selalu menguatkanku ketika melakukan kesalahan.
Alena yang berbohong kepada Mama untuk melindungiku.
Alena yang….
“Gue sayang sama lo,” Ahsan menggenggam kemudi dengan erat, “Lo lebih dari sepupu buat gue. Selama ini gue ngerasa kalau kita berdua mirip. Gue kabur dari rumah karena bokap nggak setuju sama masa depan pilihan gue dan lo karena rumah udah bukan tempat yang nyaman. Lo tahu kenapa gue langsung mengiyakan permintaan lo buat tinggal bareng gue di Jakarta?”
“Kenapa?” Aku bertanya di sela tangis.
“Sorot mata lo sama dengan sorot mata gue. Gue kayak ngelihat diri gue di lo. Perasaan sedih sekaligus marah karena ngerasa dunia yang mau ngertiin apa yang kita rasain. Waktu itu gue berharap kita bisa saling nyembuhin. Paling nggak, bikin kita ngerasa nggak sendirian. Setiap kali gue mau nyerah, gue ingat kalau gue punya lo.”
“Tiap kali gue mulai terpuruk, gue selalu inget lo, San.”
“Malam ini gue baru sadar kalau setelah sekian lama gue nggak berarti apa-apa buat lo. Lo masih Dhe yang sama yang berdiri di depan pintu apartemen gue.”
“Gue berubah, San,” ketika mengucapkan kalimat ini aku tersadar kalau kalimat ini tidak benar.
“Lo masih dipenuhin kesedihan dan kemarahan yang sama dengan sepuluh tahun yang lalu,” tatapan Ahsan penuh dengan perasaan terluka, “Lo masih terus-menerus nyakitin diri lo sendiri.”
“Gue udah nggak…”
“Bukan secara fisik, Dhe,” Ahsan kembali menarik napas panjang, “Lo ngebohongin diri lo sendiri tapi berharap orang lain tahu apa yang sebenarnya lo rasain. Buat gue, lo yang sekarang lebih menyedihkan daripada dulu.”
Aku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui
Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi
Maybe if I fall in love with my depression it will leave me too“Halo, kamu Dhe, bukan?” seorang gadis berpenampilan tanpa cela bertanya sambil berdiri di samping mejaku dan aku refleks memutuskan sambungan telpon yang untungnya belum diangkat oleh Alena.Gadis berwajah sedikit oriental menatapku dengan penasaran. Rambut hitamnya tergerai sempurna seakan dia baru saja melangkah keluar dari salon. Gaun yang dikenakannya seakan memang dirancang dan dijahit khusus untuknya. Pas tanpa ada lipatan berarti yang menganggu. Melihat dari desainnya tebakanku gaun itu keluaran rumah mode Herve Leger. Sepasang sepatu dengan warna senada gaun dan oversized bag dari Bottega Veneta melengkapi penampilannya. Penampilannya membuatku sedikit terintimidasi tapi senyum yang terulas di bibirnya membuatku lebih rileks.“Hai. Iya, aku Dhe,” aku menjawab sambil berdiri dan mengelap ujung jariku menggunakan tisu.&ld
I'm tired. I want to give up“Boleh email foto ini ke aku?” Aku mengembalikan smartphone Julia.Dia menerima smartphone dengan tatapan bingung.“Itu bisa jadi inspirasi untuk cincin kalian,” aku tidak berhasil menahan godaan untuk menikmati sepotong éclair lagi.“Done,” Julia kembali menyimpan smartphone-nya, “Apa lagi yang kamu butuhin sebelum bisa mulai proses pengerjaan? Kalau masalah budget nggak usah kamu pikirin. Anggap aja unlimited.”“Serius?” Mataku melebar. Bukan pertama kali aku mendapatkan klien yang memiliki budget tidak terbatas tetapi tetap saja tidak membuatku terbiasa.“Serius. Selama aku suka desainnya, no probs.”“Hm, oke,” aku bergumam dan menghabiskan éclair sebelum melanjutkan ucapanku, “Dari obrolan kit
Sometimes, one person can make your world up and down“Jadi, kenapa desainer perhiasan?” Bernard, pria kharismatik dengan penampilan sempurna walau geraknya terkesan kemayu, melemparkan pertanyaan berikutnya.Ya, aku sedang diwawancarai oleh salah satu majalah lifestyle ternama Indonesia. Seperti biasa, mereka memilihku untuk mengisi rubrik “Inspiring Woman”. Sebenarnya aku hampir saja melewatkan janji wawancara ini. Untung aku memiliki asisten seperti Ann yang selain cekatan juga tidak pernah ragu untuk memaksaku jika dibutuhkan. Tadi pagi telpon bertubi-tubi darinya membangunkanku. Setelah itu hanya hitungan menit dia sudah berada di rumah merangkap workshop-ku. Sambil berteriak menyuruhku bersiap dia memilih pakaian yang harus aku kenakan juga menyiapkan koleksi yang dibutuhkan untuk mengisi rubrik “Hot Items” majalah ini. Tidak peduli sudah sebesar apa jenama yang aku miliki, sedik
Life is so full of unpredictable beauty and strange surprises “Sebenarnya kami tidak pernah melakukan photoshoot di akhir pekan kayak hari ini. Ini spesial.” “Oh ya? Kenapa? Jangan bilang ini karena aku,” seingatku, Ann memang mengajukan akhir pekan untuk wawancara dan pemotretan karena jadwalku minggu ini cukup padat. Selain tambahan pekerjaan dari Julia, aku juga baru saja menerima pesanan dari salah seorang selebritas untuk merancang head piece kembar yang akan dikenakan di photo session pertama bersama bayinya yang akan lahir empat bulan lagi. “Tentu saja karena Anda,” dia tertawa, “Selain itu karena fotografernya juga hanya bisa melakukan pemotretan di akhir pekan. Dia termasuk fotografer terbaik di bidangnya. Sayangnya dia cuma menerima order di akhir pekan.” Aku menaikkan kedua alis. Setengah tidak percaya kalau fotografer yang dibicarakannya sebagus itu dan karena menurutku dia terlalu
Some good, some not too goodSatria.Demi apa kalau fotografer ini adalah Satria?!Sedikit pun aku tidak pernah menduga kalau fotografer ini adalah Satria. Dia terlihat berbeda dengan Satria yang aku temui seminggu yang lalu di Huize Van Wely. Dan itu membuat tubuhku bereaksi. Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tertarik. Bukan pertama kalinya aku merasakan ketertarikan fisik sekuat ini tetapi sekarang dia bahkan tidak berhasil mengingat kapan dia mengalaminya.Jika minggu lalu dia terlihat fashionable dengan kemaja biru yang dilapis cardigan biru dongker dan celana jeans hitam dengan sepatu oxford berwarna cokelat, saat ini dia memang mengenakan pakaian yang lebih santai tapi entah bagaimana, dia yang saat ini lebih menarik perhatianku. Seakan ini adalah apa adanya dia.Minggu lalu Satria memancarkan aura maskulin yang kuat walau aku tidak terlalu memperhatikannya karena
My heart is right in my hands. Not yours. Aku mematikan laptop sambil memejamkan mata lalu memijit batang hidungku pelan. Walau sudah bertahun-tahun menggunakan komputer dan laptop tapi sampai sekarang aku masih tidak terbiasa menggunakannya dalam waktu lama. Mataku akan perih setelah bekerja selama beberapa saat di depan laptop, seperti sekarang. Sejak pagi aku disibukkan dengan membuat jadwal dan linimasa pekerjaan agar para pengrajin dapat memenuhi tenggat waktu dan seluruh pekerjaan berjalan dengan sempurna. Mengecewakan klien, baik karena desain yang tidak cocok atau tidak berhasil menepati tenggat waktu adalah sesuatu yang tidak aku inginkan sampai terjadi. Sekuat tenaga aku berusaha agar hal itu tidak terjadi. Dan bulan ini membutuhkan usaha ekstra keras untuk memenuhi seluruh pekerjaan yang masuk. Beberapa pekerjaan memang sudah bisa mulai dikerjakan oleh para pengrajin tapi aku masih harus menyelesaikan setidaknya empat rancan