Share

4. Mengurai Masa Lalu

TRAGEDI CINTA BUNGA

Penulis : David Khanz

Bagian : 4

Episode : Mengurai Masa Lalu

Tergopoh-gopoh Abah Targa keluar dari dalam kamarnya usai menunaikan ibadah salat Magrib. Ribut-ribut suara dari arah luar, membuat Tetua Kampung Sarawu tersebut lekas bangkit dari atas hamparan sajadah, menunda kebiasaan wirid yang senantiasa dilakukan setelah melaksanakan kewajiban.

“Ada apa ini?!” seru laki-laki berusia 60 tahun itu bertanya dengan sorot mata tajam. Lantas melihat-lihat ke arah pekarangan rumah, dimana di sana berdiri sosok Juragan Mahmud, serta beberapa orang yang tergeletak sambil mengerang kesakitan. “Mahmud, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kembali begitu mengenali siapa yang balik memandang di depan sana, di antara bias cahaya lampu teplok di tiang beranda. 

Juragan Mahmud mendekat disertai belalak mata menggidikkan. 

Abah Targa segera menyadari bahwa kedatangan pesohor kampungnya itu bukanlah sebuah pertanda baik. Apalagi jika memperhatikan sebilah golok tersoren di pinggang dan juga beberapa anak buahnya jatuh bergelimpangan di halaman rumah.

“Mana anak muda jahanam itu, Targa?!” tanya Juragan Mahmud menyentak. “Aku akan menghabisi dia sekarang juga!”

Tetua Adat tersebut langsung mafhum, apa maksud dari kegaduhan yang telah ditimbulkan oleh sosok di depannya tersebut tadi. Namun dia berusaha untuk tetap tenang sambil merapal kalimat tertentu secara diam-diam. Lalu menghembus-hembuskan napas perlahan, dibarengi sedikit bantuan tenaga dalam.

“Hhmmm, kau masih juga mempermasalahkan tentang dia, Mahmud. Tidak bisakah kau datang secara baik-baik dan kita bicarakan hal itu dengan kepala dingin?” timpal Abah Targa sembari memutari pandangan ke sekitar tempat. Ada sosok-sosok lain memperhatikan mereka berdua dari balik kegelapan, sisanya membantu membangkitkan yang masih tergeletak kesakitan tadi. “Ayo, masuklah. Tidak elok rasanya kita berbicara dengan cara seperti ini, Mahmud. Setidaknya, kita bisa berbincang-bincang sambil minum kopi,” ajak lelaki tua yang selalu mengenakan jubah panjang hingga sebatas mata kaki tersebut.

Aneh sekali, bagai kerbau dicocok hidung, Juragan Mahmud yang semula tampak garang, mendadak manut tanpa memperlihatkan reaksi melawan sedikit pun. Padahal sebelumnya, raut wajah lelaki tersebut begitu menyeramkan.

“Duduklah ….,” ujar Abah Targa mempersilakan tamunya untuk bersila di atas hamparan tikar berbahan daun pandan. Tidak lupa memesan dua cangkir kopi hitam kental pada salah seorang anak buah dia yang ikut masuk. ”Tenangkan terlebih dahulu dirimu, Mahmud. Setelah itu, silakan kau mulai bicara.”

Niat semula hendak mencari-cari Syaiful dan membuat perhitungan dengan Tetua Adat Kampung tersebut, mendadak pikiran Juragan Mahmud seperti dilanda kebingungan. Lidahnya laksana sulit digerakkan untuk berucap. Sampai kemudian, hanya bisa terdiam sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

‘Sialan! Dari dulu, setiap kali berhadapan dengan Abah Targa, tiba-tiba saja semua dayaku merasa seperti melemah,’ membatin ayahnya Bunga itu dalam diam tafakur. ‘Aku sama sekali tidak kuasa melawan dia dan mendadak menjadi manusia dungu. Huh!’

“Sebenarnya … sehabis Isya nanti, aku berencana akan menemuimu, Mahmud. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan denganmu, terkait masalah anak perempuanmu dengan anak muda itu tadi,” ujar Abah Targa berimbuh di tengah kebisuan sosok tamunya. “Tapi … rupanya kau memang tidak pernah bisa sabar dari dulu, Mahmud. Nyatanya … kau malah lebih dulu datang membawa kegaduhan di rumahku.” Dia menggeleng-geleng sembari memandangi Juragan Mahmud.

Percakapan terhenti sejenak, ketika pesanan kopi tadi diantar ke hadapan mereka. Pada kesempatan itu, Abah Targa mempertanyakan kondisi anak buahnya yang berhasil dilumpuhkan oleh Juragan Mahmud tadi.

“Mereka hanya mengalami luka dalam, Bah,” jawab sosok yang ditanya baru saja sambil melirik diam-diam ke arah Juragan Mahmud, “tapi sejauh ini, semuanya baik-baik saja.”

Abah Targa manggut-manggut, lalu berujar pelan, “Aahh … syukurlah kalau begitu.” Kemudian memberi isyarat dengan mengibaskan jemari tangan, meminta pada anak buahnya itu agar segera meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu, lanjut mempersilakan Juragan Mahmud untuk menikmati hidangan yang ada.

Sesaat kemudian, kedua laki-laki tua yang berbeda usia 10 tahun itu, asyik menyeruput kopi hitam kental. Rasa manis yang berasal dari gula enau, seketika hangat membasahi tenggorokan di tengah desah cuaca alam yang mencucuk tulang.

Setelah dirasa kondisi hati tamunya sudah kembali tenang, Tetua Adat Kampung itu meneruskan percakapan mereka tadi. Menurutnya, saat ini Syaiful sedang dirawat balai pengobatan. Sambil menunggu kondisi anak muda tersebut pulih, Abah Targa berencana akan mengadakan pertemuan dengan warga dan pemuka masyarakat setempat lainnya.

“ … Tentu saja intinya akan membicarakan kejadian tadi,” tutur lelaki tua berjubah itu lebih lanjut. “Nanti … bersama-sama kita akan mencari tahu dan membuktikan, jika antara Bunga anak gadismu dengan Syaiful, apakah mereka telah melakukan perbuatan yang melanggar aturan agama dan adat kampung kita. Begitu, Mahmud.”

Entahlah, bagi seorang Juragan Mahmud, ucapan Syaiful tadi sore seperti mengisyaratkan bahwa pemuda tersebut memang telah mempedaya anak gadisnya. Ada gejolak kemarahan di dalam hati pada sosok anak muda tadi, tapi laksana tertahan oleh suatu kekuatan yang melemahkan jiwanya.

“Aku tahu, apa yang semestinya kau lakukan dengan tugas dan tanggung jawabmu sebagai Ketua Adat di kampung ini, Bah,” timpal Juragan Mahmud. “Tapi jika sampai benar mereka berdua telah melakukan… aahhh, aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Ini benar-benar bisa menghancurkan masa depan dan kehormatan Bunga anakku, Bah.” Laki-laki tua berkumis putih itu mulai terguguk sendiri dengan kepala tertunduk pilu.

Abah Targa menghela napas dalam-dalam. Dia memahami apa yang dirasakan oleh tamunya itu. Untuk sementara, tidak ingin menyela sampai pesohor Kampung Sarawu tersebut selesai berungkap.

Menurut Juragan Mahmud, rencananya Bunga akan dijodohkan dengan seorang pemuda pilihan. Namun dengan kejadian sore tadi, harapan tersebut pun seketika musnah seketika. Tidak ada lagi kebanggaan serta kehormatan yang bisa dipersembahkan oleh anak gadisnya itu teruntuk sang calon menantu.

“ … Dan ini semua gara-gara kau juga, Abah Targa!” rutuk Juragan Mahmud tiba-tiba seraya melotot geram dan langsung direspons oleh Tetua Kampung tersebut dengan bertanya, “Mengapa jadi aku?”

“Karena kau yang dulu meminta anak muda itu untuk dipekerjakan padaku!” jawab Juragan Mahmud dengan helaan napas memburu dipacu nafsu. “Kau masih ingat ‘kan itu, Abah Targa? Kalau saja bukan karenamu, aku tidak akan pernah sudi menerima dia sebagai pekerjaku! Kau masih ingat itu, hah?!”

Abah Targa lekas menenangkan tamunya. Sebentar-sebentar lelaki tua berjubah itu menengok ke empat penjuru ruangan rumahnya. Seperti mengkhawatirkan sesuatu atau ada seseorang yang turut mendengarkan pembicaraan mereka berdua.

“Tenanglah, Mahmud. Tidak usah kau berteriak-teriak macam itu,” ujar Tetua Kampung Sarawu tersebut seraya menepuk-nepuk bahu sosok di hadapannya. “Aku bilang juga tadi, semua bisa kita bicarakan dengan kepala dingin. Tidak perlulah kau sampai berseru-seru, Mahmud.”

“Aku tidak peduli, Targa!” timpal Juragan Mahmud menyentak lisan. “Aku sudah benar-benar … aaahhh!”

Tiba-tiba Juragan Mahmud mendekap dada. Dia melenguh kesakitan, hingga ringis di wajah tertampak jelas.

“Tenanglah, Mahmud. Sudah kubilang dari tadi, bukan? Kau harus bisa mengendalikan amarahmu itu. Beginilah sekarang kau jadinya. Huh!” ujar Abah Targa menggerutu.

Lekas laki-laki tua tersebut menggerakkan lengan ke atas, lantas menyalurkan separuh dari tenaga dalamnya untuk dialirkan ke bagian pergelangan hingga bergetar hebat. Setelah itu menempelkan telapak tangan tadi ke dada Juragan Mahmud sambil menekan kuat-kuat pada barisan tulang iga.

Perlahan-lahan rasa nyeri yang mendera tadi berkurang, sampai akhirnya menghilang sama sekali. Juragan Mahmud pun bisa kembali bernapas dengan lega kini.

Setelah melihat tamunya tenang, Abah Targa pun lanjut mendekatkan mulut ke telinga sosok di hadapan. Bisik dia kemudian, “Kau juga harus ingat pada satu hal, Mahmud, dulu … kau pun mempunyai masalah pelik dengan seorang perempuan. Apa kau juga lupa tentang itu, heh?”

Kekeh kecil Tetua Adat Kampung itu pun menyusul, seraya menjauhkan kepala dari dekat Juragan Mahmud. Sontak ayah Bunga itu pun termangu dibuatnya.

“Maka dari itu, kau harus berhati-hati dalam setiap kali berucap tentang masalah khusus yang satu itu, Mahmud,” imbuh kembali Abah Targa bersuara pelan. “Apa kau ingin, masa lalumu itu terungkap akibat kecerobohanmu sendiri? Tentu tidak mau, bukan? He-he.”

Juragan Mahmud menghela napas dalam-dalam sembari pegangi dada.

‘Sialan, ternyata dia masih mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu,’ gerutu pesohor Kampung Sarawu tersebut diiringi kelopak mata menyipit. ‘ … Dan hal itu pula yang dia jadikan alasan kuat agar aku bisa menerima kehadiran anak muda jahanam itu! Bedebah laknat!’

Juragan Mahmud merasa—seperti—ditumbalkan kini. Dulu  dipaksa untuk menerima Syaiful agar diterima bekerja padanya, dengan satu alasan yang dia takutkan selama ini.

“Dia sudah tidak lagi memiliki sanak keluarga, Mahmud. Hidupnya kini sebatang kara dan tiada tempat lain yang bisa dijadikan sandaran, terkecuali … bekerja padamu,” ucap Abah Targa kala itu.

Semula Juragan Mahmud  hendak menolak, tapi lekas sosok Tetua Adat tersebut menukas. “Aku tahu, kau pasti tidak menyukai anak itu karena masa lalumu, ‘kan? Tapi harus kau sadari pula, Mahmud, kau memiliki andil besar … sebagai salah satu dari penyebab takdir yang dia alami sekarang. Kau tidak boleh memungkiri itu.”

Juragan Mahmud mendengkus gusar. Di satu sisi dia tidak ingin menerima kehadiran Syaiful karena rasa kebencian, tapi di sisi lain harus memenuhi permintaan Abah Targa tersebab kekhawatiran.

Di saat yang bersamaan, timbul pertanyaan lain di dalam diri Juragan Mahmud terkait hal tersebut.

“Aku jadi bingung, mengapa kau seperti sangat menginginkanku untuk menerima anak muda itu, Bah? Padahal di antara kalian, sama sekali tidak kaitan hubungan kekeluargaan sedikit pun.” Kening Juragan Mahmud sampai berkerut hebat.

“Pertanyaan bodoh macam apa kau itu, Mahmud?” seru Abah Targa. “Tentu saja aku melakukannya karena Syaiful juga merupakan warga adat kampung ini! Aku yang juga sebagai Ketua Kampung, apa mesti menutup mata melihat nasib anak muda itu, hah?! Kalau saja kau bukan salah satu dari pesohor di sini, sudah lama kau kubiarkan tergantung hidup–hidup di tempat pengasingan! Ingat itu selalu, Mahmud!”

Setelah berkata-kata, Abah Targa pun meninggalkan sosok Juragan Mahmud. Sambil melangkah jauh, batin lelaki berjubah itu berbisik culas, ‘He-he … kau pikir dengan sejumlah kekayaanmu itu, kau bisa turut memperdayaku, Mahmud? Tidak. Aku bukan bukan jenis manusia bodoh layaknya si Sukatna itu. Bukan pula seperti dirimu yang tidak pernah berhasil mendapatkan cinta seorang Warsih. Ha-ha-ha!’

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status