Share

Bab 2

“Ugh lelahnya. Tubuhku rasanya remuk redam. Aku ingin cepat-cepat sampai kosan. Istirahat.” Nia menyeletuk sambil merenggangkan otot-ototnya yang kaku di depan restoran. Hendak pulang kerja.

Miranda yang berdiri di samping gadis itu mengangguk. Sependapat.

“Kapan, ya, aku punya kekasih seorang CEO? Lalu menikah dengannya. Hidupku pasti menyenangkan sekali. Aku tidak perlu capek-capek kerja lagi. Kerjaanku hanya mengurus suami, anak, dan shopping,” ucap Nia penuh harapan.

Mendengar celetukan temannya itu, Miranda menyeringai, “Kamu terlalu banyak baca novel dan nonton drama, Nya. Mimpi kamu terlalu tinggi. Sekekas CEO mana mau dengan gadis miskin seperti kita. Selera mereka pastilah harus selevel dengan mereka.”

Nia mengedikan bahu, “Siapa yang tahu, kan? Bisa saja mereka khilaf. Memang kamu tidak mau apa jika memiliki kekasih seorang CEO?”

“Terlintas saja tidak di benakku. Aku cukup sadar diri siapa aku. Cantik tidak, kaya jauh. Berharap bisa menikah dengan pria tampan dan kaya raya?” Miranda menggeleng, “Bagiku kisah klise pangeran tampan dan upik abu buruk rupa hanya ada di novel, dongeng, dan drama semata. Tidak terjadi di dunia nyata.”

“Jangan menyerah dulu, Mir. Kita tidak pernah tahu ke mana takdir membawa. Bagaimana hukum alam bekerja. Kadang apa yang kita anggap tidak mungkin bisa saja terjadi jika Tuhan menghendakinya.”

“Ya, ya, terserah kamu saja, Nya.” Miranda malas menanggapi, “Ngomong-ngomong aku mau ke supermarket dulu. Aku mau beli perlengkapan mandiku yang habis. Soalnya minggu ini aku shift pagi. Tidak sempat ke pasar. Kamu mau ikut tidak?”

Nia menggeleng, “Tidak, ah. Aku mau langsung pulang. Capek soalnya.”

“Ya sudah, kalau begitu aku sendiri saja. Sampai jumpa besok, Nya.” Miranda pamit undur diri, melambai tangan.

Nia mengangguk, “Sampai jumpa besok.”

Dua rekan kerja sekaligus bersahabat itu, yang berbeda arah tempat tinggal berpisah.

Namun Miranda tidak segera pulang seperti Nia. Seperti rencananya tadi, dia ingin ke supermarket yang ada di Pusat Perbelanjaan yang lokasinya tidak jauh dari restoran tempatnya bekerja. Bisa di katakan berdampingan. Masih di kawasan yang sama. Mungkin pemilik tanahnya satu orang.

Miranda berniat membeli perlengkapan mandinya yang habis. Pasalnya minggu ini dia shift pagi. Tidak sempat ke pasar. Sementara beli di warung kadang harganya lebih mahal dari pasar dan supermarket.

Setiba di sana, Miranda langsung menuju tempat benda yang dia cari. Tidak sulit baginya menemukan benda-benda yang dia butuhkan itu. Sering mengunjungi supermarket tersebut membuatnya hafal betul susunan barang-barang di sana.

Setelah mendapatkan semua benda yang dia butuhkan, Miranda lekas melakukan transaksi di kasa pembayaran. Tidak lama. Hanya butuh waktu kurang lebih dua menit. Karena memang belanjaannya tidak banyak. Setelah itu, Miranda mengucapkan terima kasih, mengambil kembalian.

Namun setelah semeter meninggalkan kasa pembayaran, Miranda berhenti ketika menghitung kembalian dari kasir itu lebih dua puluh ribu. Dia kembali lagi ke kasa pembayaran untuk mengembalikan kembalian yang lebih tadi.

Kasir itu sempat terpaku sejenak, berucap, “Terima kasih ya, Mbak.” .

Miranda mengangguk, kali ini benar-benar meninggalkan kasa pembayaran. Dia memang miskin tapi bukan berarti, dia harus mengambil yang bukan haknya.

***

Matahari sudah hampir kembali ke perpaduan ketika Miranda keluar dari Pusat Perbelanjaan. Jalan raya dipadati oleh kendaraan. Bunyi klakson bersahutan berebutan paling cepat. Maklum jam pulang kerja.

Miranda mendesah kecewa. Niat hati dia berniat menyeberang jalan raya melanggar aturan lalu lintas yang tidak memiliki tanda pejalan kaki untuk menyeberang untuk pertama kalinya tidak jadi. Terpaksa menaiki jembatan penyeberang. Padahal dia lelah sekali hari ini. Tapi apa boleh buat. Dari pada ke tabrak, dia masih sayang nyawa.

Namun langkah Miranda yang hendak menaiki tangga penyeberangan terhenti. Ketika melihat seorang kakek menyeberangi jalan. Nekat sekali. Dia sendiri saja tidak berani, tapi kakek itu...

Miranda mendesa. Tidak tega melihat kakek itu tampak kesulitan menyeberangi jalan raya, dia akhirnya terpaksa menyeberangi jalan raya. Bergegas menyusul kakek itu, berjalan bersisian. Dia merentangkan tangan, memberi isyarat kepada pengendara kendaraan agar memelankan laju kendaraan mereka.

Walau harus menerima banyak makian dari pengendara karena dia dan kakek itu nekat menyeberangi jalan raya yang ramai, Miranda dan kakek itu sampai dengan selamat.

Kakek itu mengulas senyum pada Miranda, “Terima kasih, ya, Nak.” Walau tanpa tersirat, dia tahu gadis muda itu telah menolongnya menyeberang.

Miranda mengangguk, membalas senyum.

Namun tanpa Miranda sadari di seberang jalan raya, yang tidak jauh dari halte, seorang pria yang mengikuti perempuan itu sejak di kasa pembayaran tersenyum penuh arti kepada gadis itu. Dia cukup terkesan dengan Miranda. Gadis itu tidak hanya jujur, tapi juga berhati lembut. Ah, dia jadi semakin tertantang mendekati Miranda. Dia penasaran bagaimana kehidupan gadis itu.

***

Setelah hampir tiga jam mereka mengobrol di restoran tempat mereka makan siang, Armand dan teman-temannya meninggalkan restoran tersebut.

Namun ketika teman-temannya memilih nongkrong ke lokasi berikutnya, Armand memilih untuk meninjau Pusat Perbelanjaan yang merupakan salah satu usaha keluarganya secara mandiri. Yang lokasinya tidak jauh dari restoran tersebut. Bisa dikatakan masih sekawasan tanah milik keluarganya.

Setelah hampir satu jam lebih berkeliling, Armand merasa haus. Dia memutuskan untuk membeli air mineral di Supermarket di pusat perbelanjaan tersebut.

Tidak butuh waktu lama, Armand menemukan apa yang dia cari. Dia lekas menuju kasa pembayaran yang penuh oleh pengunjung. Mau tidak mau dia harus mengantre walau pewaris gedung itu. Mengikuti kebijakan aturan supermarket itu. Dahulukan yang lebih.

Setelah beberapa detik menunggu, Armand tertegun sejenak menyadari pengunjung yang sedang melakukan transaksi di hadapannya. Yang tidak lain gadis yang menjadi bahan taruhannya dengan Gio tadi di restoran. Entah kebetulan apa ini? Namun sayangnya gadis itu tidak menyadarinya sampai usai melakukan transaksi.

Saat gilirannya yang hendak melakukan transaksi usai gadis itu, Armand terkejut saat gadis itu kembali lagi. Mengembalikan kembalian yang lebih kepada kasir. Dalam hati dia berdecak kagum dengan kejujuran gadis itu. Biasanya kebanyakan orang pura-pura tidak tahu saja jika kembaliannya lebih. Lain hal jika kembaliannya kurang, mereka protes, meminta.

Karena belanjaannya hanya satu, tidak lama bagi Armand melakukan transaksi. Pria itu bergegas menyusul gadis yang menjadi taruhannya dan Gio itu. Entah dapat dorongan dari mana, dia diam-diam mengikuti gadis itu. Langkahnya barulah berhenti setelah gadis itu hendak menaiki tangga penyeberang.

Namun ketika melihat gadis itu tidak bergerak selama beberapa detik kaki anak tangga, dahi Armand mengernyit. Kenapa gadis itu diam saja? Pikirnya.

Armand mengikuti arah pandang gadis itu yang menatap jalan raya. Di mana seorang kakek terlihat kesulitan menyeberangi jalan raya.

Tidak lama gadis itu menyusul kakek itu menyeberangi jalan raya, berjalan bersisian.

Armand yang sadar jika gadis itu menyeberangi jalan raya untuk membantu kakek itu menyeberang bergumam, “Benar-benar gadis yang unik. Tidak hanya berani, jujur, tapi dia juga berhati lembut. Aku semakin tertantang menaklukkannya. Penasaran seperti apa dia? Benarkah dia gadis yang susah ditaklukkan? Mari kita lihat, aku atau dia yang kalah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status