Share

Bab 3

Bruk.

Miranda menghempaskan tubuhnya dengan kasar di tempat tidur setiba di kosannya. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu seperti yang biasa lakukan. Dia sudah tidak tahan lagi, tubuhnya terlalu penat untuk melakukan hal tersebut. Restoran tempatnya bekerja begitu ramai. Dia ingin merilekskan sejenak tubuhnya.

Selagi menyantaikan diri, Miranda menerawang langit kosannya. Mengingat kejadian yang terjadi hari ini. Ingatan Intan terjadi saat dia melayani empat pria tampan tadi di restoran. Masih terngiang jelas dalam ingatan Miranda bagaimana salah satu pria itu menghinanya tadi. Meremehkan dirinya.

Miranda rasanya kesal sekali jika mengingat kejadian itu. Memang apa salahnya jika orang jelek sepertinya bekerja di tempat yang elit? Apa orang yang bekerja di tempat yang bagus hanya boleh orang yang cantik dan tampan saja? Orang jelek sepertinya tidak layak. Tidak peduli seberapa bagus kinerjanya. Lantas di manakah tempat yang layak untuk orang jelek sepertinya? Dan apa pekerjaannya? Petani? Tukang cuci? Art?

Huft.

Miranda menghela napas panjang. Memikirkan itu membuat tubuhnya yang sudah letih semakin letih. Tidak ingin lebih malas lagi, Miranda beranjak dari tempat tidur. Membersihkan diri.

Usai makan malam, Miranda memainkan ponselnya sejenak. Tepat pukul sepuluh malam, dia memutuskan untuk berselancar ke alam mimpinya. Entah itu indah atau tidak. Dia tidak ingin terlambat berangkat kerja besok.

Esok pagi harinya, Miranda terbangun dengan tubuh remuk redam. Efek kerja kemarin. Rasanya dia malas sekali bekerja hari ini. Tapi, mengingat ada tiga orang yang dia kasih di kampung harus diberi nafkah, Miranda mengesamping lelahnya. Beranjak dari tempat tidur.

Tiga puluh menit kemudian, Miranda sudah rapi. Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, dia melirik sekali lagi kelabatnya di cermin. Memastikan penampilan. Setidaknya walau tidak cantik, dia harus rapi.

Matahari bersinar cerah, langit biru dengan awan putih mengepul sejauh mata memandang saat Miranda keluar dari kosannya. Hari yang cerah untuk memulai aktivitas. Dengan semangat Miranda menggayuh kakinya menuju tempat kerjanya. Jarak kosan dan tempat kerjanya memang tidak jauh, dia hanya butuh waktu sepuluh menit hanya dengan berjalan kaki.

Miranda datang ke kota ini lima tahun silam. Sebagai sulung tiga bersaudara, dia nekat merantau ke kota untuk membantu sang ibu mencari nafkah. Menyusul temannya Tika - yang sudah merantau lebih dulu darinya - dan sekarang temannya itu sudah menikah, tinggal bersama suaminya. Sementara sang ayah sudah meninggal saat dia kelas dua sekolah menengah atas.

Di usianya yang masih belia, Miranda harus merasakan beratnya hidup. Tapi gadis itu tidak pernah mengeluh, ikhlas menjalani hidup.

***

Tidak seperti kemarin, Restoran hari ini tidak begitu ramai walau sudah jam makan siang. Maklum bukan akhir pekan, pengunjung yang datang tidak seramai akhir pekan. Hanya ada beberapa meja yang terisi. Cukup membuat para karyawan bersantai sejenak. Apalagi mereka tidak dalam pengawasan sang manajer.

Termaksud Miranda dan Nia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka mengobrol di depan pantry. Namun obrolan menarik mereka harus terhenti ketika ada pengunjung yang datang.

Nia yang menghampiri pengunjung itu.

Tidak lama pengunjung baru datang, Miranda bersiap menyambutnya. Namun ketika merasa tidak asing dengan pengunjung itu, dia terpaku sejenak. Pria itu adalah salah satu teman pria yang menghinanya kemarin.

Miranda tidak menyangka salah satu empat pria kemarin itu datang. Apa tidak ada tempat lain yang harus mereka datangi? Kenapa harus restoran ini lagi?

Untungnya pria itu datang sendirian, tidak datang bersama teman-temannya kemarin. Namun Miranda tetap merasa waspada. Dia takut pria itu menghinanya sama seperti teman pria itu kemarin. Rasanya enggan sekali dia menghampiri pria itu.

Akan tetapi, karena hanya dia yang menganggur, Miranda tidak punya pilihan. Dengan berat hati, dia menghampiri pria tersebut.

“Mau pesan apa, Mas?” Miranda bertanya dengan ramah setiba di hadapan sosok pria tersebut dengan gugup.

Pria tersebut – yang tidak lain adalah Armand yang sedang memulai aksinya mengangkat wajah setelah membaca buku menu.

Seketika tatapannya mereka bertemu dengan tatap Intan. Dia menatap Miranda cukup dalam.

Miranda yang gugup semakin gugup ditatap begitu dalam orang Revan. Jantungnya berdebar kencang. Cemas pria itu akan menolaknya. Lalu menghinanya seperti teman pria itu kemarin. Sebenarnya, dia tidak takut jika pria itu menghinanya, tapi dia tidak ingin berdebat. Takut kehilangan pekerjaan.

Namun kecemasan Miranda tidak terjadi, Armand memutus kontak mata mereka lebih dulu. Menunjuk beberapa gambar di buku menu, “saya pesan ini, ini, dan ini.”

dalam hati, Miranda mendesah lega. Dia lekas mencatat pesanan pria tersebut di captain order. Setelah itu melafazkannya.

Merasa yang disebutkan Miranda benar, Armand mengangguk.

“Baiklah, kami akan siapkan pesanan, Mas. Mohon ditunggu sebentar.” Miranda pamit undur diri.

“Tunggu sebentar!” Armand menyergah langkah Miranda yang sudah hendak pergi.

Jantung Miranda kembali berdetak kencang ketika pria itu menyergahnya. Dengan terbata dia bertanya, “Iya – Mas? Ada apa? Apa ada yang masih mau di pesan?”

Armand mengulum senyum melihat Miranda yang gugup. Dia pikir perempuan itu gugup pasti karena terpesona dengannya. Seperti gadis pada umumnya. Dia lantas menggeleng, berucap, “Saya ingin minta maaf atas ucapan teman saya kemarin. Apa yang diucapkan tentang kamu kemarin sangat kelewatan. Atas namanya saya minta maaf.

Miranda tertegun mendengar pernyataan pria itu. Dia tidak menyangka pria itu meminta maaf untuk hinaan teman pria itu kemarin. Ternyata pria itu berbeda dengan temannya. Dia sudah salah menduga.

“Kamu mau memaafkannya, kan?” Armand bertanya kala tidak segera mendapat tanggapan dari Intan.

Miranda mengangguk, “Iya, saya maafkan. Tapi tolong sampaikan pada teman Mas. Tidak ada manusia di dunia ini yang ingin terlahir jelek. Semua orang di dunia ini pasti ingin terlahir sempurna. Berparas menawan dan banyak uang. Tapi, sayangnya tidak banyak orang seberuntung dirinya. Tapi meski begitu, kita di mata sang pencipta sama saja. Tidak ada perbedaan. Jadi tolong sampai padanya untuk menjaga lisannya. Saat dia menghina seseorang itu sama saja dengan dia menghina Tuhan – sang pencipta.”

Armand terpaku dengan penuturan Miranda, Untuk pertama kalinya, dia tergagu, mengangguk, “Iya, akan saya sampai, kan?”

“Baiklah kalau begitu permisi.”

Armand mengangguk lagi.

***

“Bukankah pria itu salah satu teman pria yang menghinamu kemarin, Mir?” Nia sudah lebih dulu kembali ke pantry bertanya. Dia sempat memperhatikan Miranda cukup lama berinteraksi dengan pria itu.

Miranda mengangguk, “Iya.”

“Lantas apa dia mengatakan sesuatu, Mira? Aku perhatikan tadi kalian mengobrol cukup lama? Dia tidak menghinamu seperti temannya kemarin, kan?” Nia bertanya cemas takut sahabatnya itu sakit hati.

Miranda menggeleng, “Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia justru meminta maaf untuk perkataan temannya kemarin.”

“Sungguh?”

Miranda mengangguk.

Nia mendesa lega, “Syukurlah kalau begitu. Itu artinya, dia berbeda dengan temannya.”

Miranda mengangguk lagi membenarkan. Mereka kembali bekerja ketika untuk membersihkan meja yang ditinggal pengunjung.

selegi menunggu pensanannya tiba, Armand diam-diam memperhatikan Miranda yang sedang bekerja.

Dalam hati, dia bergumam, “Dia sangat tekun dan cekatan. Pantas saja dia sangat marah kemarin ketika Gio meragukan kinerjanya hanya tidak berparas cantik.”

***

Lima belas menit kemudian, pesanan Armand siap. Entah kebetulan macam apa? Miranda yang lagi-lagi luang mengantarkan pesanan pria itu. Dengan hati-hati, dia meletakan pesanan Miranda di atas meja.

“Terima kasih,” ucap Miranda

Miranda mengangguk, “Selamat menik – “

“Nama saya Armand.” Armand berujar lebih dulu sebelum Intan sempat menyelesaikan kalimatnya.

Dahi Miranda berkerut melihat tangan pria yang bernama Armand itu terulur ke arahnya. Dalam hati, dia bertanya, “Maksudnya apa ini? Dia mengajakku berkenalan?”

“Nama kamu siapa? Kita mungkin bisa berteman baik.” tanya Armand kala mendapati Miranda diam saja. Keherannya tergambar jelas di wajah gadis itu.

Miranda melirik wajah dan tangan Armand bergantian. Dengan ragu, dia menjabat tangan pria itu, “Miranda. Nama saya Miranda."

Miranda mengangguk-angguk, mengulas senyum di wajah tampannya. "Nama yang bagus, Senang berkenalan denganmu, Miranda."

Miranda juga mengulas senyum – tipis.

Dengan tangan bertaut, Mereka saling menatap untuk beberapa detik. Menyelami sosok satu sama lain. Membuat waktu seolah berhenti sejenak. Restoran itu mendadak senyap. Seolah hanya ada mereka berdua di dalam ruangan itu.

Miranda yang tersadar sempat terpanah dengan pria itu segera memutus pandangan lebih dulu. Menarik tangan. “Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Saya harus kembali bekerja.”

Armand mengangguk. Seulas senyum culas terbit di wajahnya setelah Miranda pergi. Tahap pertama telah terlewati. Gadis itu pasti sudah mengira dia tertarik dengannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status