Menarik handuk, melilitnya di tubuh kamudian segera keluar dari toilet dan berpakaian.
Mami sudah berada di kamar dan berbaring di sebelah Viera, sementara kedua putriku yang lainnya tengah asik bermain ponsel di atas kasur mereka.“Sayangnya Mama jangan main hape, ya. Nanti matanya sakit!” ucapku dengan intonasi sangat lembut, lalu mengambil ponsel Mami yang sedang dimainkan anak-anak.“Aku mau nonton yutup, Ma,” rengek Danisa membuatku tidak tega.“Ya sudah. Setengah jam saja ya. Habis itu Kakak main sama dedek. Mama mau makan dulu.” Mengusap rambut hitam Danisa kemudian keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan.Sayur bening bayam beserta jagung manis dan wortel sudah terhidang di atas meja, juga ikan gurame goreng yang menggugah selera. Sepertinya Mami sengaja memasak untukku, sebab aku paham betul rasa masakan perempuan yang telah melahirkanku itu.“Vani, keluar kamu. Keluar!!” Aku terperanjat ketika mend“Ma, Mama ini punya hati atau enggak sih? Mas Erlang itu lagi sakit. Mama sebagai orang tua harusnya mendoakan yang baik-baik buat anak Mama, bukan malah mempermasalahkan harta yang kami punya. Sebenarnya Mama ibunya Mas Erlang bukan, sih?” Menatap tajam wajah senja berbalut bedak tebal itu, mencoba mencari arti suamiku di hatinya.“Bilang saja kamu mau menguasai hartanya. Nggak usah sok-sokan nasihati Mama. Mama juga paham masalah mendoakan. Mama hanya antisipasi saja, karena Mama tau kalau kamu itu serakah dan pasti tidak mau berbagi hartanya sepeser pun dengan Mama jika tiba-tiba Erlang tiada!”Ya Allah. Sakit sekali mendengar jawaban ibu mertua. Hatinya sudah ditutup rasa serakah sampai lupa mendoakan yang baik-baik untuk putranya yang tengah terbaring koma. Semoga saja Tuhan segera memberikan hidayah dan membuka hati serta pikiran Mama, supaya tidak hanya harta yang bersarang di otaknya.“Kenapa diam. Bener kan, kamu mau menguasai harta Erlang?”
Pelan-pelan menatap wajah sendu laki-laki yang ada di sebelahku, menggigit bibir bagian bawah saat tangannya terulur mengusap lembut rambutku yang terikat rapi.Mungkin menurut orang-orang Bang Damian itu monster menyeramkan tapi, sebenarnya dia itu baik dan tidak pernah menyakiti perasaanku sama sekali. Mungkin karena saking sayangnya itulah yang membuat dia merasa ingin selalu menjadi pelindungku untuk selamanya, dan tidak membiarkan siapa pun memiliki diriku selain dia.Suasana lorong rumah sakit semakin hening karena kami saling diam. Aku memilih beranjak dari kursi, masuk ke dalam ruangan dan menemani suamiku yang terbaring tidak sadarkan diri di atas ranjang.“Mas, kapan kamu bangun? Aku kangen sama kamu. Apa kamu nggak kangen sama aku?” ucapku sambil menahan air mata yang sudah hampir menyeruak dari balik kelopak.Tidak lama kemudian terdengar suara derit pintu terbuka. Dokter ber-nametag Askana masuk dan menghampiri kami.
Karena diselimuti rasa penasaran aku berjalan menghampiri, menyapa papa mertua membuat mata laki-laki berusia lima puluh lima tahun itu membola sempurna.“Siapa perempuan ini, Pa?” tanyaku sambil menatap wajah wanita yang aku taksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan itu.“Saya istrinya Mas Ilman, Mbak. Mbaknya siapa?” Si perempuan menjawab dengan intonasi sangat lembut, bahkan dia menerbitkan senyuman manis kepadaku.“Saya menantunya, Mbak.”“Ealah .... kenalin, saya Wiena. Senang bertemu dengan kamu. Saya dari pertama nikah sama Mas Ilman sebenarnya sudah ingin berkenalan dengan anak menantunya, tetapi kata Mas Ilman anak-anak nggak ada yang mau nerima saya. Mereka melarang suami saya mencari pengganti almarhumah ibu mereka!”Hah? Almarhumah ibu? Mulutku menganga dibuatnya.Tega sekali papa mengatakan kalau istrinya sudah meninggal.“Sini ikut papa sebentar!” Dengan kasar laki-laki berperawakan persi
“Mama bobok sama kakak ya?” Danisa melingkarkan tangan di pinggang sambil menatapku.“Iya, Sayangnya mama.” Mengecup kening bidadari kecilku dan membantu dia membaca doa.“Papa kok duduk ngeliatin kita terus, Ma?”. Dia menunjuk ke arah meja rias, membuatku spontan langsung menoleh ke arah yang ditunjuk. Kosong.“Papa nggak ada di sini, Nak.”“Itu, Papa lagi liatin kita sambil tersenyum. Memangnya Mama ndak liat?”Tanpa dikomando buliran-buliran air bening meluncur begitu saja dari kedua sudut netra. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Erlangga benar-benar tidak mau lagi membuka matanya.“Mas, tolong kuat. Bertahanlah demi aku dan anak-anak. Aku tidak sanggup menghadapi semuanya sendiri. Aku butuh kamu, Mas!” jeritku dalam hati.Danisa semakin mempererat pelukannya, memejamkan mata ketika kuusap-usap dengan lembut punggungnya. Dan setelah semua anak-anak terlelap, aku mencoba memejamkan mata, menjemput lela
“Ada apa dengan suami saya, Dokter?” tanyaku ketika salah seorang tenaga medis keluar.“Tadi Bapak sempat kejang dan ritme detak jantungnya tidak beraturan. Tapi sekarang alhamdulillah sudah kembali normal. Ibu banyak-banyak berdoa ya?” sahut pria berkacamata itu sambil menatapku sendu.Aku mengangguk pelan, menahan getir luar biasa dalam sanubari. “Ya sudah. Sekarang saya permisi dulu. Pak Erlangga sedang ditangani oleh Dokter Dilan. Dokter baru di rumah sakit ini. Beliau itu dokter ahli syaraf terbaik. Semoga saja Allah memberikan kesembuhan kepada Pak Erlang melalui tangan beliau!”“Aamiin...Terima kasih, Dokter!”“Sama-sama, Bu.” Aku lekas mengenyakkan bokong di kursi panjang setelah dokter tersebut pergi. Kini, air mata berlomba-lomba lolos dari balik kelopak melewati pipi, jatuh di dada membasahi baju yang sedang aku kenakan.Bayangan kepergian tiba-tiba berkelebat dalam angan, rasa takut kehilangan terus saja membayang. Bolehkah aku mengeluh, Tuhan. Tidak salahkah jika aku
Emosiku berada di ubun-ubun membaca pesan dari Linda.[Berapa uang yang diambil mertua saya, Lin?] Send, Linda Toko.[Tiga belas juta dua ratus]Aku mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, mencoba sabar menghadapi segala cobaan.Mama, kenapa mama selalu saja mengajakku berperang. Aku diam tapi dia selalu menyerang.Dengan perasaan kesal kusambar tas yang tergeletak di atas nakas, mengambil ponsel yang biasa aku pakai untuk berbisnis lalu mengirimkan foto papa saat bersama seorang perempuan. Biar dia tau rasa.Keterlaluan memang. Tetapi apa boleh buat. Dia selalu mengusik ketenangan hidupku, dan kini giliran diriku yang membuat hidupnya tidak tenang. Aku juga akan mengajak Bang Damian untuk datang ke rumah, mengambil semua yang seharusnya menjadi hakku juga anak-anak. Enak saja dia main ambil-ambil uang orang.Ponsel dalam genggaman terdengar berdering. Mama mertua memanggil ke nomer yang
“Abang tadi cuma bercanda kan?” tanyaku ketika sudah berada di dalam mobil.“Soal menembak mertua kamu?” Dia balik bertanya.“Soal Ariesa!”“Oh, dia memang sering datang ke rumah abang dan menawarkan tubuhnya untuk dijamah. Mungkin Daffo tidak bisa memuaskan dia. Entahlah! Abang tidak suka dengan cara dia ingin mendapatkan hati Abang!”“Nekat juga dia ya? Sama kaya Abang!” Aku terkekeh.“Jangan samakan abang dengan orang lain, karena sudah pasti berbeda!” Bang Damian terlihat tidak suka.“Maaf!”“Hei...kenapa malah murung? Abang tidak marah sama kamu.” Dia membingkai wajahku, mendekatkan wajah hendak mendaratkan ciuman, namun, cepat-cepat kupalingkan wajah darinya.“Kita kembali ke rumah sakit, Bang!” “Ya!”Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari pekarangan rumah. Suasa di dalam mobil begitu hening, karena kami berdua saling diam dalam pikiran masing-masing.
“Mbak, nanti tagihan rumah sakit yang belum dibayar tolong, kasih ke ibu-ibu yang nungguin suami saya ya. Kalo Mas Erlangga butuh sesuatu yang darurat, minta juga uangnya sama beliau. Kalau bisa besok pagi ditangih, biar tidak membengkak. Ini nomer ponselnya beliau.” Aku sengaja mampir ke bagian administrasi terlebih dahulu, supaya masalah pembayaran dan lain-lainnya ditagih ke Ibu. Aku pengen liat, sejauh mana dia bertahan menjaga anaknya yang terbaring koma dan membutuhkan biaya begitu banyak.“Baik, Bu,” jawab perempuan berhijab satin itu dengan intonasi sangat lembut.“Ya sudah. Saya permisi dulu. Terima kasih, ya Mbak!” Mengulas senyum tipis kepadanya, lalu segera beranjak meninggalkan rumah sakit dengan perasaan berat.Tapi sudahlah. Biar ibu merasakan lelahnya mengurus orang sakit, apalagi jika tanpa sengaja nanti malah bertemu dengan papa. Rasanya akan bertambah indah drama kehidupan mereka.Sekali lagi menatap pintu masuk rumah sakit yang sudah menjadi tempat persinggahanku s