Wilzton merasakan kesunyian cukup mencekam, saat masuk ke dalam kamar tidur Sarla. Sedangkan, suasana juga gelap. Tanpa ada nyala lampu yang menerangi.
Namun demikian, ia masih tak menemukan kendala berjalan ke ranjang tidur wanita itu dengan langkah santai saja. Seringaian dibentuknya pada wajah. Tatapan lurus ke depan.
"Miss Sarla!" Wilzton berseru kencang, sengaja.
Salah satu sudut bibir semakin dinaikkan. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur yang digunakan oleh Sarla.
Arah pandang pun telah terpusat penuh ke sosok wanita itu. Tak ada tanda-tanda respons dari Sarla. Walau, volume suaranya terbilang keras. Ia begitu yakin sudah didengar. Tak mungkin tidak.
"Aku kira kau tidak akan malas lagi. Ternyata, masih saja kau lakukan kebiasaanmu. Cepat bangun! Kau tidak boleh menjadi pemalas."
Telinga Sarla langsung memanas karena seruan begitu kencang nan penuh sindiran diucap oleh seseorang.
Sangat dikenalinya dengar benar pemilik suara berat tersebut. Dada pun seketika menjadi panas. Emosinya pun ikut terpancing.
Sarla tetap memejamkan mata dan tidak bergerak dalam posisi berbaring. Selimut menutupi hingga bagian kepala.
Napas teratur karena tidak ingin Wilzton tahu jika dirinya pura-pura tidur. Ia pun enggan untuk segera menanggapi pria itu.
Tentang seruan bernada kencang sarat perintah dari Wilzton, tentu menimbulkan kekesalan untuk dirinya. Ia diperlakukan seperti pelayan.
Tak bisa diterima hal tersebut hingga detik ini. Walau, kesalahan juga terletak padanya yang menyetujui kesepakatan ditawarkan oleh pria itu semalam.
"Cepat bangun, Miss Sarla! Kau harus masak sesuai dengan kontrak yang kau setujui kemarin. Kau harus melaksanakan semua mulai pagi hari!"
"Miss Sarla, kau tidak mendengar ucapanku? Kau tidak mungkin tuli. Kedua telinga yang kau miliki pasti masih bisa berfungsi dengan baik."
Sarla memilih tetap diam. Pergerakan sama sekali tak dilakukan pada tubuhnya. Penarikan napas pun seteratur mungkin, meredamkan gejolak dari emosinya yang semakin bertambah karena kalimat sindiran dilontarkan santai oleh Wilzton.
Namun, ia tetap menangkap dalam nada sarat kesinisan. Tak akan pernah bisa dibayangkan pria itu berbicara dengan intonasi suara yang manis dan lembut.
"Miss Sarla …,"
Kedua telinga kian memanas mendengar panggilan dari Wilzton Devins untuk kesekian kalinya. Dan, ia tetap memilih tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Tentu memiliki tujuan agar pria itu segera pergi dari kamar. Lalu, tidur yang terganggu bisa dilanjutkan dan tak perlu melakukan perintah Wilzton Davis.
"Miss Sarla, aku tidak menyangka jika kau akan berani melanggar perjanjian."
"Ah, kau juga berani tidak mematuhi perintahku sebagai tuan rumah di sini. Kau pantas mendapatkan hukuman dariku."
"Baiklah, aku tidak akan memperpanjang waktuku lagi memberikan kau toleransi."
Sarla merasakan keterkejutan yang begitu besar, saat selimut digunakan menutupi seluruh tubuhnya disingkap oleh Wilzton.
Sarla pun langsung membuka mata. Dapat dilihatnya nyata seringaian pria itu di wajah, ketika sudah berada di atasnya. Benar, ditindih. Walaupun, tubuhnya tidak ditekan.
Namun, tetap risi akan posisi pria itu yang tak semestinya. Tentu, perlawanan segera dilakukan. Sayang, tidak membuahkan hasil karena kedua tangan dipegang.
"Yahh! Lepaskan!" Sarla berseru kencang sembari badannya digerak-gerakan, bermaksud berontak.
"Jangan berani macam-macam kau, Berengsek! Aku akan membuat perhitungan!" Sarla semakin mengencangkan suaranya. Delikan maut dilempar.
Lantas, secara refleks, matanya dipejamkan saat wajah Wilzton Davis mendekat. Ia bahkan dapat merasakan embusan napas pria itu dengan begitu nyata di bagian lehernya. Membuat merinding dan juga menimbulkan sensasi yang sulit terdefinisi.
"Sudah aku bilang jangan macam-macam dengan pria sepertiku. Lakukan apa yang aku tadi berikan perintah padamu. Paham tidak?"
Sarla memberanikan diri untuk membuka mata. Ia enggan dicap penakut. Lebih baik menunjukkan perlawanan kepada Wilzton Davis. Delikan yang cukup tajam diarahkan ke sepasang mata pria itu. Seringaian Wilzton dilihat dengan jelas.
"Jika aku tidak mau melakukannya? Apa yang kau ingin lakukan? Aku tidak akan gentar." Sarla pun berujar dalama nada tegas. Menolak nyata.
"Konsekuensi? Bagaimana aku memakan tubuhmu saja?"
"Aku lebih suka sarapan dengan menciumi bagian dada dan lainnnya yang kau miliki, Miss Sarla."
"Lebih memuaskan daripada sepiring salad dan segelas susu hangat. Kau juga akan suka."
Sarla mendorong keras Wilzton. Kali ini, ia sukses membuat pria itu menyingkir. Segera pula, bangun. Berdiri di dekat tempat tidur.
"Ckck, busuk sekali idemu. Tidak akan terjadi seperti kau mau!"
Sarla membutuhkan waktu selama lebih dari satu jam untuk menyelesaikan dua pancakes berukuran sedang untuk menu sarapan dirinya dan Wilzton.Ditambah dengan dua gelas jus strawberri yang diminta secara khusus oleh pria itu kepadanya tadi.Semua sudah terhidang di meja makan berbentuk bulat yang cukup besar. Tak ada makanan lainnya tersaji.Dan secara tiba-tiba saja, Sarla mengingat momen sarapan di rumah bersama ayah, ibu, serta sang kakak dengan menu beragam dibuatkan oleh para pelayan. Semua sangat enak, ia rindu.Penyesalan pun juga menyelimutinya atas sikap dan gaya hidup glamour selama ini sudah dijalani. Namun, tak akan berlaku permohonan maaf dari dirinya.Dan, tetap harus menjalani hukuman sebagaimana mestinya yang sudah ditetapkan oleh ayah dan sang ibu. Entah sampai kapan, tak ada kejelasan yang diberitahukan Wilzton.Pria itu masih ingin menunjukkan kemisteriusan pada dirinya. Ia enggan untuk lebih terpancing lagi.Ta
"Kenapa sangat sulit?" gerutu Sarla dalam intonasi yang rendah saja, namun sarat akan penekanan."Kenapa aku tidak bisa menemukan pemecahan? Aku yang bodoh atau bagaimana? Ya ampun!"Sarla memukul kepalanya. "Ayo, berpikir."Sementara, kedua matanya terpusat memandang ke arah tablet dan juga laptop terletak di atas meja. Lebih tepat pada pekerjaan menghitung gambar hotel yang tengah dilakukan.Belum selesai dirinya kerjakan semua. Baru setengah lebih saja berhasil dituntaskan dengan hasil yang tidak diyakini benar."Kenapa dia harus memberikanku pekerjaan yang sulit?""Apakah mau membuatku terlihat semakin bodoh saja, ya? Cih, dia pembullying sejati."Kepala sudah pusing bukan main. Tentu efeknya harus demikian karena kebingungan yang sedang melandanya pun begitu besar. Perlu beristirahat sejenak.Namun, tidak mungkin bisa dilakukan. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan diberikan oleh Wilzton Davis.Waktu
Wilzton masih tidak menyangka jika Sarla akan mampu menghabiskan dua botol wine hanya dalam waktu dua jam saja. Di matanya, wanita itu seperti tidak kuat mengonsumsi minuman beralkohol dengan jumlah yang banyak, paling hanya akan beberapa gelas saja.Ternyata, dugaan meleset. Namun memang tak semua. Ya, kecuali ketahanan Sarla terhadap efek wine yang diminum.Wanita itu mabuk berat dan kehilangan kesadaran, tidak sampai pingsan atau tertidur memang. Tetapi, diajak berkomunikasi mulai sulit."Miss Sarla, apa kau masih terjaga?" tanyanya basa-basi, sebagai pembuktian.Ya, ingin melihat reaksi dari Sarla akan sesuai akan prediksi ataukah tidak. Jika bisa memberi balasan yang tepat, maka kesadaran wanita itu masih bisa bekerja.Tidak perlu repot-repot melibatkan diri untuk mengurus Sarla, dalam artian mengantar ke kamar tidur."Miss Sarla, kau baik-baik saja bukan?" tanyanya ulang, suara lebih dikeraskan.
Sarla sudah merasakan pusing yang teramat pada bagian kepala sejak beberapa menit pasca bangun dari tidurnya.Namun, ia tak bisa membuka kedua kelopak mata yang rasanya begitulah berat. Dipilih untuk tak berusaha lebih keras. Akan sia-sia saja.Sarla pun sudah tahu penyebab dari rasa pusing hebat yang menyerangnya. Ya, karena mabuk.Jika tak salah ingat, ia menghabiskan lima gelas lebih yang berukuran besar. Tidak mengherankan dirinya seperti ini.Namun, tak akan ada penyesalan. Meski juga masalah menimpanya harus tetap dijalankan hingga akhir. Kenyataan yang enggan diingatnya.Hanya akan menimbulkan rasa bersalah dan sesal di dalam dirinya. Teringat pula dengan ayah serta sang ibu.Kerinduan semakin besar. Masih tak ada komunikasi bisa dilakukan, walau lewat telepon. Entah sampai kapan waktunya menghubungi."Siapa yang memelukku?" Sarla pun melontarkan kalimat tanya dengan nada yang begitu terkejut. Bahkan, me
"Jadi, Wilzton sedang tidak ada di kantor? Dia libur atau hanya datang terlambat?"Christoper menaikkan kedua ujung bibirnya secara bersamaan, saat menyaksikan Varoline Roberts yang tertawa. Ia senang melihat ekspresi sekretaris dari sang sahabat, Wilzton Davis.Varoline pun kian memesona di matanya. Kekaguman bertambah. Ia harus mengakui juga ketertarikannya semakin kuat pada Varoline. Ya, sebagai pria dewasa."Maaf, aku tertawa. Maaf juga jika terlihat tidak sopan sikapku ini, Mr. Parker."Christoper ikut tergelak. Tangan kanan dikibaskan dengan gerakan ringan. "Tidak masalah. Kau bebas tertawa tentang apa pun kau inginkan," jawabnya dalam nada menggoda."Kau membalas seperti ini, seolah menegaskan aku tidak punya kesopanan. Tapi tadi kau juga salah, ucapanmu meragukan apa yang aku sampaikan. Kau membalas dengan nada ejekan."Christoper masih tertawa. "Begitulah. Baiklah. Apa kau mau memaafkanku?" tanyanya dalam nada serius. Sudah di
Wilzton tidak bisa menolak ajakan Varoline Roberts untuk makan siang bersama di restoran yang telah cukup sering mereka berdua kunjungi, walaupun jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.Lagi pula, ia sedang tidak merasa lapar sama sekali. Namun, masih dihargainya Varoline. Akhirnya ajakan wanita itu diterima. Tentu, dengan rasa curiga muncul.Meski demikian, Wilzton memutuskan untuk tidak bertanya lebih dulu. Mengikuti saja permainan yang disiapkan Varoline.Maksudnya adalah serangkaian pertanyaan akan diajukan oleh wanita itu kepada dirinya. Sudah siap untuk dijawab semuanya tanpa terkecuali. Ia sudah terbiasa untuk bersikap jujur."Jadi, kau tetap tidak mau memberitahuku? Sampai kapan kau akan merahasiakan semua? Ah, tidak seru. Aku tidak suka cara mainmu."Wilzton mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Aku sungguh tidak paham apa ucapanmu, Kak," jawabnya dengan jujur. Sesuai dengan isi pikirannya sekarang."Kau senang sekali bermain r
Wilzton merasakan konsentrasi bekerja sudah menurun sejak selesai pertemuannya dengan Gerret. Ia ingin segera kembali ke rumah, hendak melihat Sarla. Entah mengapa timbul rasa rindu yang besar kepada wanita itu.Namun, harus ditahan niatan tersebut karena sejumlah dokumen harus diperiksa. Memakan waktu hingga pukul sepuluh malam, baru semuanya bisa dituntaskan. Setelah selesai, ia bergegas meninggalkan kantor ke mansion.Tak dibutuhkan waktu tempuh yang lama. Dan, ketika sudah sampai, tempat yang dituju adalah lantai tiga, di mana kamar tidur ditempati oleh Sarla berada. Ingin ditemuinya wanita itu. Dorongan sangat kuat untuk berjumpa langsung."Aku pikir kau tidak akan kembali, Mr. Davis."Wilzton menghentikan kaki-kaki panjangnya berjalan karena mendengar lontaran pertanyaan dari Sarla. Ia kenal betul jenis suara wanita itu, tidak akan salah menebak.Segera diedarkan pandangan guna menemukan keberadaan Sarla. Tak memakan waktu lama, kurang dari s
Sarla tahu bahwa sikapnya sangat tidak sopan mendatangi Wilzton saat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, terlebih lagi ke ruangan tidur pribadi utama pria itu.Tidak ada pilihan lain. Ia menemui Wilzton Davis bukan untuk mengajak pria itu bercinta. Hanya ingin mengambil tablet yang dijanjikan Wilzton, berisi beragam dokumen dan rahasia guna membantu meningkatkan kemampuan berbisnis.Sarla percaya akan perkataan pria itu, tidak akan mungkin berbohong untuk hal seperti ini. Walau, Wilzton mempunyai sifat suka mengejek dirinya. Membuat ia emosi juga.Sarla pun harus mengakui jika ciuman yang telah mereka lakukan tadi mampu langsung mengenyahkan keseluruhan penilaian buruk pria itu di matanya. Justru terjadi sebaliknya."Selamat malam." Diloloskan sapaan dengan sopan. Ia mengulas senyuman juga ke arah Wilzton. Dengan ekspresi ramah.Pria itu menjulang di depan pintu kamar. Ia pun harus sedikit mendongak agar bisa beradu pandang dengan pria itu.