Bab 14"Val, di umur segini sebaiknya kamu udah punya aset atau tabungan." Ucap Kak Mel, kakak keduaku.Aku menghela nafas panjang mendengar pertanyaan itu. "Sayangnya aku belum punya aset apapun untuk sekarang, Kak." Aku berkata jujur."Begini, Val. Kalau kamu pengen dengerin saran Kakak, gaji kamu udah sepuluh jutaan, akan jadi lebih baik kalo kamu mikirin buat beli rumah.""Iya sih, aku juga udah mikir ke arah sana, Kak. Bosan aku ngontrak melulu." Aku menanggapi."Kemarin kakak udah dapet informasi di mana ada perumahan yang cocok buat kamu beli. Angsuran bulanannya juga nggak seberapa, sekitar 2 juta. Lokasinya lumayan lah. Kalo nggak gitu, susah rasanya buat kamu bisa beli rumah. Tiap bulan gajimu bakalan habis mulu. Kamu udah tahu kan kalo Rika nggak pandai nyimpalen uang."Aku diam mencerna ucapan Kak Mel."Ntar bisa kita liat dulu, Kak." sahutku.Pikiranku mulai bercabang, baru-baru ini pengeluaranku lebih banyak. Ada angsuran mobil yang harus aku pikirkan, jatah bulanan bua
Hari ini sungguh hari yang sangat beruntung bagiku. Hari yang telah membawakanku untuk mengenal Vina kembali. Tak kusangka, hari ini aku bisa mengantarnya pulang. Tentu saja aku dengan senang hati melakukannya.Sesuai arahan Vina aku menghentikan laju mobilku di depan rumah berwarna hijau. Rumah itu tidak terlalu besar. Tapi terlihat amat rapi di mataku. "Makasih banyak ya, Mas. Udah anter kami pulang." ujar Vina sebelum turun. Aku mempersembahkan senyum terbaikku. Tadinya sebenarnya aku sangat berharap ia menawariku untuk mampir ke rumahnya. Tapi, ah sudahlah. Jika kali ini tidak, mungkin di waktu yang lain aku akan mampir ke sana sebagai kekasihnya. Bercita-cita itu tak salah, kan?Tak lupa aku bantu membukakan pintu mobil untuk Claudia, dan menggendong anak itu turun. "Makasih, Om." ujar Claudia."Sebentar, Claudia Sayang. Om ada sesuatu buat kamu."Dengan cepat aku merogoh dompet. Kukeluarkan lima lembar uang merah, lalu kuselipkan ke tangannya. "Aduuh, kok banyak banget, Ma
Bab 16Entahlah rumah tangga seperti apa yang kujalani ini. Sejak pertengkaran kami kemarin, Mas Valdi jadi pulang ke rumah ibunya. Bahkan ketika Clara sakit saja sudah tak ia gubris lagi, jujur, ini yang paling miris.Tapi tak apalah, hitung-hitung pengeluaranku jauh lebih sedikit bila laki-laki itu tak berada di rumah. Terus-terang, rasanya keadaan rumah ini lebih adem bila tanpa dia. Ingin bilang bersyukur, takut dosa.Waktu demi waktu, lelaki itu tak kunjung pulang. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Apa harus aku untuk mengajaknya bicara serius? Maksudku, hubungan harus ada kejelasan bukan?Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum,"Suara dalam dari luar pintu. Langkah kedua kakiku membawa ku untuk melihat siapa gerangan yang datang. Terlihat dua orang dengan pakaian rapi di luar sana."Waalakumsalam, ada apa ini?" tanyaku."Pak Valdinya ada, Bu? Ada tagihan atas nama Pak Valdi Anugrah. Angsuran Mobilnya belum di bayar selama dua bulan! Jadi mohon kerjasamanya!" Lelaki itu terlihat
"Kamu habis darimana, Valdi? Kok pulangnya malem?" tanya ibu.Aku menanggalkan jaket."Kok jaketmu kayak jaket perempuan aja?" seloroh ibu. Rupanya Ibu memperhatikan jaket yang aku kenakan. Ya memang jaket yang aku pakai ini jaket wanita, bukan main-main ini adalah jaket yang dijamin oleh Vina sebelum aku pulang tadi katanya supaya aku tidak kedinginan di jalan. Akankah dia wanita yang perhatian? Tentu saja, tidak seperti Rika. Mau aku kehujanan sekalian pun ia tak pernah peduli."Ini jaket Vina, Bu. Tadi aku bantu dia buat nganterin anaknya ke dokter." Jawabku apa adanya.Tersenyum mendengar jawabanku."Iyalah sesama manusia kita emang udah seharusnya saling membantu. Vina emang udah nggak punya suami, jadi emang nggak ada yang bisa nganterin dia. baguslah kalo kamu bisa bantuin." "Iya, Bu. Mengingat Claudia anak yatim, jadi aku ngerasa wajib untuk nolongin dia.""Benar, anak yatim emang wajib untuk disantuni." Ujar ibu.Kurasa sepertinya ibu memberi respon positif. terlihat dari
Hari demi hari kedekatan antara Valdi dan Vina kian terjalin. Komunikasi di antara keduanya semakin intim. Di tambah Claudia yang sudah semakin dekat pada Valdi. Bahkan hampir seminggu sekali Valdi pasti menyisihkan dua sampai tiga kali waktu untuk mengajak Claudia jalan-jalan. Seperti sore ini, di sebuah toko yang menjual aneka mainan anak-anak, Valdi sibuk memilihkan beberapa mainan khusus untuk Claudia. Claudia nampak bahagia dengan sikap Valdi."Mas, makasih ya, udah baik banget sama Claudia. Dia jadi kayak nemuin papanya kembali." ucap Vina terharu."Nggak apa, Vin. Aku juga suka anak kecil. Jadi ga ada masalah. Aku udah lama pengen punya anak perempuan, tapi yaa, dulu istriku nggak bisa kasih keturunan. Dia cuma bisa ngasih anak hasil selingkuhan." jawab Valdi dengan nada sedih."Lho, kok tega banget dia nyelingkuhin kamu yang baik banget gini?""Namanya manusia, Vin. Aku udah anggep itu nasib naas buat aku. Senagai laki-laki tentu aku ngerasa sangat kecewa ketika tahu dia sel
Tentu saja aku muak dengan kedatangan Rika yang tiba-tiba. Sebaiknya aku apakan wanita itu ya? Apa harus aku ceraikan sekarang? Tapi kasihan sekali dia kalau aku ceraikan sekarang? Bagaimana bisa dia membesarkan Clara tanpa aku? Ah lagi-lagi anak itu yang jadi penghalang. Hmmm, tapi bukankah kayaknya Clara itu benar-benar bukan anak aku? Habis emang nggak ada mirip-miripnya sih masa aku yang ganteng gini bisa punya anak kayak gitu? Kurus dan nggak nampak sama sekali gurat-gurat gen-ku pada wajahnya.Sering kali waktuku habis hanya buat mikirin mereka. Rika sih nggak tahu diri, udah untung sekali aku mau mempertahankan dia, kalau aku menceraikannya belum tentu dia bisa mendapatkan laki-laki setampan aku. Di layar ponsel aku membuka sebuah akun media sosial dari wanita yang membuatku meleleh. Aku tersenyum melihat foto yang terpampang pada profil. Seraut wajah cantik dengan pesona yang sangat sempurna. Di tengah-tengah konsentrasiku, pesan Rika kembali mengganggu.[Mas, kapan pulang
Seorang anak kecil yang masih menatap lesu ke arah layar ponsel ibunya."Ma, panggilan Clara di tolak sama Papa. Papa kemana sih, Ma? Kok nggak pake pulang-pulang?" Anak yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak tersebut merunduk. Tatapan matanya kosong. Rika menghela nafas panjang. Sama sekali ia tak menyangka jika tadi Clara menghubungi Papa-nya."Nak, Papa mungkin masih sibuk kerja. Udah, Clara nggak usah ngehubungin Papa dulu, ya." Rika membujuk dengan kasih sayang."Tapi, Ma, ini hari udah sore, masa Papa belum selesai kerjanya? Udah lama lho papa nggak balik ke rumah. Apa papa marah sama Clara? Sampe-sampe nggak mau dateng ambil raport Clara?" Rika melihat setetes dua tetes air mata jatuh dari sudut mata anak kecil itu. "Nak, Clara kan masih punya mama? Sini, peluk sama mama." Rika memeluk putrinya.Clink!Satu pesan masuk. [Hai Mbak, majikanmu lagi nggak bisa di ganggu. Mohon pengertiannya ya! Nggak usah nelpon mulu.]"Majikan? Siapa majikan? Siapa yang ngirimin ini pesa
Sengaja aku bawakan semua baju kotorku dari rumah ibu. Maklum, selama di rumah ibu, baju-bajuku tidak pernah di setrika, jadi gak rapi. Maklum, ibuku yang sudah tua mana bisa menyetrika. Kasihan juga. Masa punya istri tapi nyetrika baju nyuruh orang tua, he ... he ...Kulihat Rika diam saja melihat kepulanganku."Apa itu, Pa?" tanya Clara."Ini baju kotor papa." jawabku."Rik, ntar tolong cuciin dikit ya bajunya! Tolong setrikain juga! Malu mah bajuku kusut semua." Ucapku.Rika masih diam saja. Apa sih maunya? "Aku taruh di sini ya bajunya," ujarku."Taruh saja." jawabnya.Aku menuju balkon untuk mengusir hawa panas."Pa, aku udah mau masuk SD, baiknya aku sekolah dimana ya, Pa?" Seorang anak kecil berlari menuju ke tempat dimana aku duduk. Uh, inilah hal yang terkadang membuatku malas pulang, kalau saja karena tidak ingin mengambil berkas yang tertinggal dan mengantar baju kotor, tentu saja aku malas untuk pulang ke rumah. "Pa!" Clara kembali mengulang."Apalagi, Clara?" Kadang