.....
Keesokan harinya, ketika aku baru saja menyambungkan ponselku pada wifi restoran. Aku mendapatkan sebuah email yang mengejutkan.- From: Blue Light Entertaiment- Kepada : Elina Katarina- Subjek : Casting- Selamat! Kamu lolos dan berhak mengikuti tahapan selanjutnya. Datanglah ke Gedung XX di Roomie Street No 23, Buffalo, New York, pada 13 Desember 2020 pukul 03.09 p.m. Bertemu dengan Carla Hamilton. Berpakaian kasual dan jangan terlambat.Jantungku berdetak kencang saat membacanya. Tidakkah itu berarti aku memiliki harapan? Oh, aku merasa lega, tetapi juga takut, salah dan menyesal. Aku sadar kalau jalan yang kupilih ini akan membuatku terperosok jauh ke dalam kegelapan. Namun, tak ada jalan lain sekarang. Aku harus berani maju, atau kesempatannya akan hilang......Aku bersyukur Lucy tak menanyakan banyak hal saat aku meminta izin kepadanya agar bisa pulang cepat hari ini. Dia bilang dia baru saja sampai di bandara Buffalo dari perjalanan bisnis luar kotanya dan tak memiliki waktu menginterogasiku.Saat kupikir gedung XX adalah gedung perkantoran yang biasa kulihat di kota, maka aku salah. Itu adalah sebuah vila besar berlantai tiga. Dari depan terlihat sepi, dan setelah aku masuk-"Halo. Saya Janice. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita berpakaian formal dengan rambut dikuncir tinggi menyambutku dengan senyum bisnis yang ramah.Aku membalas senyum wanita itu dan menunjukan email yang kudapat. "Aku ingin mengikuti casting."Dia mengecek jam tangannya, kemudian kembali menatapku. "Ms. Elina?"Aku mengangguk."Senang bertemu denganmu. Kau bisa menunggu Ms. Hamilton di ruang tunggu sebelah sana. Beliau masih dalam perjalanan," tambahnya sambil menunjuk ruangan tanpa pintu di sebelah kanan."Terimakasih, Janice.""Dan cuaca mulai dingin sekarang. Aku akan menyiapkan cokelat panas untukmu. Atau kau mau sesuatu yang mengandung alkohol untuk menghangatkan badan?" tawarnya."Coklat panas saja," jawabku sambil berterimakasih.Blue Light Entertaiment, begitukah cara mereka memperlakukan kandidat? Bagiku sambutan barusan begitu sopan dan manusiawi. Pun bagaimana bangunan ini berdiri dengan segala interior bernuansa elegan di dalamnya, tempat ini begitu jauh dari bayanganku tentang sebuah sarang prostitusi. Gedung ini lebih pantas disebut sebagai galeri seni. Begitu indah, seperti rumah-rumah bangsawan di jaman dulu......Cokelat panasku tinggal setengah, tetapi belum ada satu pun orang yang menemuiku, kecuali Janice. Karena bosan, aku mulai mengelilingi rak buku. Toh Janice tak melarangku menjelajahi ruangan ini.Aku tak mengenal banyak tentang novel. Aku tak begitu suka membaca, tetapi satu novel bersampul terang di antara novel-novel bersampul gelap menarik perhatianku. Sebuah novel bersampul putih, tanpa ilustrasi apapun. Hanya ada tulisan timbul yang berwarna senada sebagai judulnya.INSIDER"Kau suka membaca?"Aku terkejut saat mendengar suara tegas dari seorang pria yang baru kusadari berdiri tak jauh dariku. Buru-buru aku meletakan novel itu kembali ke tempatnya dan berbalik. "Ma-maaf."Kutemukan hijau cerah di dalam tatapan mata yang menelisik. Aku langsung menurunkan pandanganku saat menyadari tatapan itu mengarah lurus kepadaku."Kau boleh membacanya kalau kau mau," tawarnya.Mata yang indah itu dimiliki oleh seorang pria yang terlihat berkarisma. Caranya bergerak begitu ringan, tetapi pasti. Dia bertubuh tinggi dan kekar. Berkulit kecoklatan dengan rona kemerahan saat ditimpa cahaya matahari. Di balik syal yang dia kenakan, aku bisa mengintip sedikit tato rumit berwarna monokrom. Apakah itu ular?"Hei, apa yang kau lihat?" Pria itu mendekatiku.Aku mundur sampai hampir tersandung karpet di bawahku. "Ma-maaf." Sentakannya barusan membuatku takut."Kau di sini, Will?"Seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan pria itu menghampiri kami. Dia terlihat elegan dengan rambutnya yang disanggul rendah ke belakang. "Oh, kau sudah datang, Elina," sambungnya setelah melihatku."Ms. Carla Hamilton?" tanyaku tak yakin."Itu aku," balas wanita itu. "Nah, karena kita bertiga sudah berkumpul, kurasa kita bisa memulai castingnya sekarang. Ayo, kita berpindah."Sekarang? Dengan dia? Aku melirik pria di hadapanku yang mulai mengikuti Carla. Ketika dia balas melirikku, kurasakan wajahku memanas. Bukan aku yang aneh di sini. Siapapun yang melihat wajah bak dewa yunani itu pasti juga akan bereaksi sama sepertiku......Carla menggiring kami ke suatu ruangan yang lebih privat. Ada tulisan 'casting only' di depan pintu. Dia memintaku duduk di single sofa, sedangan pria itu dan dirinya sendiri duduk di seberangku.Melihat mereka membuat kepercayaan diriku goyah. Kesan yang mengular dari mereka begitu mewah dan mahal, berbanding terbalik denganku yang biasa saja. Namun, aku tak boleh mundur, apapun yang terjadi, aku harus menghadapinya. Ini semua demi nyawaku sendiri di masa depan."Will, ini Elina Katarina, yang resume-nya kukirim padamu semalam. Elina, ini William Adler, kepala produser Blue Light Ent. Aku tak suka membuat casting ini menjadi kaku, jadi ayo kita lakukan ini dengan santai." Carla memperkenalkan kami secara kasual."Salam kenal, Mr. Adler," ujarku dan dibalas anggukan oleh pria itu. Di balik permata hijaunya yang cerah, ternyata kepribadiannya cukup dingin."Elina, Bisakah kau memperkenalkan dirimu terlebih dahulu?" pinta Carla.Aku mengangguk dan menarik napas panjang. "Baik. Terimakasih sudah memberiku kesempatan. Namaku Elina Katarina. Usiaku 24 tahun. Saat ini aku bekerja sebagai pelayan di restoran.""Apa yang kau ketahui tentang perusahan kami?" tanya Carla.Aku berpikir sejenak. Haruskah kukatakan secara gamblang kalau tempat ini adalah sarang prostitusi? Tidakkah itu terlalu kasar? "Yang aku tau, tempat ini adalah perusahaan hiburan yang bergerak di bidang perfilman. Khususnya film dewasa." Kuperhatikan tak ada perubahan dari wajah mereka, atau mereka memang pintar menyembunyikannya? Aku lantas melanjutkan, "Dan website kalian dikunjungi jutaan orang setiap tahunnya."Carla tersenyum. "Kau benar. Tempat ini memang memproduksi film dewasa, tapi kami tak memproduksi sembarangan film. Itulah mengapa kami melakukan casting. Pemain yang hanya bisa melakukan sex tak akan cukup bagi kami. Jadi Elina, apakah kau bisa berakting?" tanyanya kemudian.Ekspresi wajahku memang selalu seperti ini. Ketika aku begitu senang ataupun begitu sedih, tak pernah ada yang benar-benar mengetahuinya sebab wajahku tak pandai menunjukannya. Kerap kali wajah ini membuat orang lain salah paham. Ditambah lagi, aku tak begitu padai bicara di depan umum. Aku hanya pandai bicara di dalam kepalaku sendiri. Selalu saja orang-orang yang kutemui menganggapku pecundang dengan wajah ini."Bisakah kau menangis sekarang, di hadapan kami?" William yang sedari tadi diam, kini bersuara.Aku menatap Carla yang menganggukkan kepalanya antusias. "Berusahalah!" semangatnya padaku.Aku mengambil aba-aba sebentar. Kemudian mulai berusaha fokus untuk menangis. Lama menunggu, tetapi air mataku tak kunjung turun. Ternyata sesulit ini menangis kalau niatnya disengaja. Biasanya aku mudah menangis, tetapi itu karena aku benar-benar merasa sedih, atau takut. Bagaimana ini? Apakah aku akan gagal?Aku berusaha melotot dan tak berkedip agar mataku berkaca-kaca, tetapi itu adalah cara paling bodoh saat kusadari Carla berusaha menahan tawanya, disusun William yang menghela napas panjang. Konsentrasikan seketika buyar. Aku menahan maluku dengan terus menatap ke satu titik tanpa berkedip agar air mataku turun."Konyol." Kudengar William bergumam.Aku tak punya pembelaan untuk kegagalanku yang pertama. Aku menghela napas panjang. "Tolong beri aku waktu sedikit lagi," pintaku.William melempar berkas di tangannya ke atas meja. Dia lantas melipat tangannya di depan dada. Wajahnya berkali-kali lipat lebih serius sekarang. "Aku tak punya banyak waktu untuk omong kosong ini. Katakan. Berapa ukuran penis yang bisa kau toleransi?"Pertanyaan itu hampir membuatku lompat dari tempatku dan pulang. "Ti-tidak ada, Mr. Adler.""Apa kau pernah berkencan?" Aku menggeleng. "Tidak." "Berciuman?" "Tidak." "Berpelukan?" "Per-" "Dengan orang yang kau sukai?" Aku menelan kembali ucapanku saat ingin
.....Setelah casting selesai, aku ditinggal sendiri di ruang baca lantai dua. Carla pergi menyiapkan Medical Check-Up dan mengurus kontrak kerja. Sedangkan William, pria itu terakhir kali masih berada di ruang casting. Dia tak bangkit dari kursinya saat kami pergi. Novel Insider berada di hadapanku, masih terbuka di atas meja. Belum selesai kubaca. Aku berhenti membacanya beberapa menit lalu. Bukan karena novel itu terlalu vulgar, melainkan karena novel itu terlalu 'sakit'. Secara singkat Insider bercerita tentang Rex Lender, seorang pria dari keluarga agamis yang memiliki apa yang disebut 'monster' di dalam dirinya. Kemudian dia bertemu dengan seorang gadis bernama Gabriella Hargate. Gadis naif yang harus menjadi wadah untuk memuaskan 'monster' itu. Tak ada romantisme yang kutemukan, kecuali rasa sakit sepihak yang gadis itu rasakan. Juga tak ada ending yang bahagia, sebab gadis itu berakhir dibuang.Ironinya, gadis itu akan diperankan olehku. Gabriella Hargate yang naif dan penuh
Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan demi menolak tawaran William. "Deal," ujarku. Kulihat senyum William merekah setelahnya."Kapan aku bisa mulai bekerja, Sir?" tanyaku."Kapan kau punya waktu luang?" Satu-satunya waktu luang yang kumiliki adalah saat mendapatkan libur dari restauran. "Aku libur di hari Kamis dan Jumat." "Datanglah Kamis ini." "Baik, Sir."Ketika melihat William menyentuh lembar katalog lagi, aku merasa butuh penegasan sekali lagi. Aku takut kupingku melewatkan hal-hal yang penting. Aku takut itu dapat berpotensi memberiku masalah di masa depan. Setelah penipuan yang Sherry lakukan, aku harus lebih berhati-hati lagi."Mr. Adler, aku benar-benar hanya perlu berfoto dengan alat-alat ini saja, benar?"William menaikan alisnya. Wajahnya menawan saat dia menahan tawa. "Iya. Hanya itu, tapi kalau kau mau mencoba, silakan." Aku menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak perlu. Terimakasih," tolakku cepat. Aku tak sanggup menatapnya lebih lama lagi, jadi aku men
Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A
.....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m
.....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men
"Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert
.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku