Steven beserta anggota keluarga Wijaya menyambangi rumah sakit hospital city center. Sebelum pukul 9 pagi, mereka sudah sampai di lokasi. Nathan ikut mengantar serta mendampinginya.
“Selamat pagi pak Steven. Saya ditugas oleh dokter Lukman untuk membantu bapak dalam menjalani ct scan. Mari ikuti saya, pak Steven perlu berganti baju.” Ajak seorang perawat laki—laki.
Perawat menggiring Steven bersamanya, menuju ruang ganti baju. Steven harus mengenakan baju pasien yang berwarna biru khas aroma obat.
Dokter Lukman menemui keluarga Wijaya. Mereka saling berjabat tangan, melempar senyuman. Matilda mencengkram kuat tangan Lukman, membangun eye contact intens.
“Dokter Lukman, tolong bantu anak saya.” Ujar Matilda dengan tetap menjabat tangan Lukman
Steven berbaring di ranjang kamar VVIP. Ia memandangi langit—langit kamar dengan sendu. Setelah menjalani rangkaian ct scan, dokter Lukman meminta Steven untuk menginap semalam di hospital city center. Steven menyetujuinya, karena ia juga merasa capek dan kekurangan banyak ion. Radiasi ct scan memang cukup tinggi, sudah bukan rahasia lagi. Makanya ct scan tidak direkomendasikan pada ibu hamil juga anak—anak. Walau sudah dikurangi intensitas radiasinya, tetap saja akan membawa pengaruh buruk. Walau demikian, ct scan direkomendasikan untuk digunakan. Terlepas dari efek sampingnya, ct scan sangat berguna mendiagnosis berbagai penyakit yang menyerang organ dalam.Anggota keluarga Wijaya menuju rumah, karena mereka tidak diizinkan menunggui Steven disana. Namun Nathan meminta bodyguard bersiaga menjaga didepan pintu ruang rawat Steven.Lukman dan Michael
Nathan dan Michael bersitatap, mengobrol santai. Panggilan video yang mereka lakukan cukup lama, sekitar satu jaman. Michael sedang melakukan pratinjau terhadap pasien yang akan ia tangani. Mengingat posisi Steven yang cedera memori, artinya sebagian memori Steven terlupakan begitu saja.Nathan menjelaskan bagaimana reaksi Steven saat mendengar kabar tentang Maria, mulai dari kejadian di mall terus ke rumah sakit hingga kabar kelahiran bayi mereka. Michael menanggapinya dengan beberapa kali anggukan kepala yang yakin.“Terimakasih penjelasannya pak Nathan, semoga dengan begini saya bisa membantu mengembalikan ingatan pak Steven ya. Saya kira cukup meeting—nya, kalau begitu sampai bertemu esok hari.”Nathan juga mengucapkan terimakasih. Ia mengulas senyum ketulusan untuk Michael. Ia merasa lega, beb
“Apa yang kamu lihat barusan Steven?” tanya Michael pelan.Dàda Steven masih naik turun, mengikuti degupan jantungnya yang memompa kencang. Terlihat Steven dalam kondisi linglung. Pertanyaan Michael ia anggap sebagai semilir angin saja.Apakah ia belum sepenuhnya mengingat? Atau belum mengingatnya sama sekali?Baju pasien dengan motif garis—garis yang Steven kenakan sedikit basah. Ia begitu berkeringat saat melakukan hipnoterapi tadi. Steven menangkup wajahnya yang lembab. Tangannya melebar, menutupi keseluruhan muka. Tiba—tiba, mulai terdengar suara serak terisak.“Steven,” panggil Michael lagi.Pria yang dipanggil namanya itu mendongak, melepaskan tangannya. Michael melihat wajah S
Steven menangis di depan nisan yang bertuliskan nama istrinya, Maria Alexandra. Michael ikut turun menemui istri dari Steven, tapi ia mengambil jarak. Ia memberi ruang bagi Steven untuk menumpahkan isi hatinya yang terdalam.Segala hal dibahas oleh Steven, ia berbicara dengan batu nisan Maria. Nalurinya merasa benda itu adalah Maria. Perempuan cantik yang sudah tiada di sisinya.Mata Steven seakan melihat, kalau Maria duduk berhadapan dengannya, seperti dulu. Salah satu kegiatan rutin mereka, yakni mengobrol tentang apapun hingga kantuk menyerang.“Ini gila. Aku sudah nggak waras sayang. Kamu kenapa tega begini Maria?” lirihnya.Michael memantau dari jauh. Ia membebaskan Steven dalam berekspresi.Senja naik mengga
“Bagaimana? Apa sudah ada hasil?” ketus Hunter dengan tikaman mata mautnya pada manager mom and kiddy care.Wanita itu ketakutan, jarinya bergetar mendengar pertanyaan mudah dari orang kepercayaan Nathan tersebut.“Tak mau menjawab? Baik. Saya akan buat anda membuka mulut dengan-”“Jangan sakiti saya.” Potong wanita itu menjawab dengan cemas.Hunter menatapnya dengan lekat, “Kalau begitu, jawablah dengan benar!” desaknya semakin geram.Manager perempuan ini semakin tersudut, suara Hunter yang pelan namun terasa menusuk hingga ke tulang.“Kami tidak berhasil. Tolong beri kami maaf. Sungguh kami sudah berusaha semaksimal mungkin,
Pintu kedatangan itu bergeser, sensor menangkap adanya jiwa kehidupan yang akan melewatinya. Seorang pria tampan memakai blazer sederhana tapi harganya bikin geleng kepala. Berjalan menenteng sebuah tas dengan menggamit koper yang ikut digerek. Tangannya begitu sibuk, begitu juga dengan yang satunya lagi. Ia juga, sedang menggenggam jari—jari kecil kepunyaan putranya, tampan? Pasti. Gen tidak bisa dibohongi disini. Mereka bagai pinang dibelah dua. Rambut, warna kulit hingga genetik pun sama. Syukurnya wajahnya mirip sang mama juga sifatnya yang riang, suka tersenyum persis dengan ibu yang melahirkannya. “Tunggu, daddy mau calling paman Nathan dulu.” Ucap pria tampan pada putranya. Langkah kaki mereka berhenti di dekat tiang besar. Si pria mengambil handphone dengan tangan kirinya. Karena kesusahan, putranya menawarkan bantuan. “Dad, aku bantu ya?” tawar denga
Steven menggulir layar tablet perlahan. Hazel iris tersebut sedang membaca berkas kerja dari proyek yang akan dikerjakan. Ini adalah pekerjaan pertama di negara mendiang sang istri. Sendu semalam mulai menghilang, ia menyibukan diri dengan mengurus keperluan Kenzie juga dirinya sendiri. Kesedihannya teralihkan dengan kesibukan yang menyenangkan hati.Ngomongin Kenzie, anak tampan itu sedang duduk disamping Steven sembari menyuap menu sarapannya sendiri. Sereal yang dicampur dengan sùsu coklat kesukaannya. Jemari kecil itu menggenggam erat gagang sendok, ia begitu fokus hingga tak terganggu dengan kesibukan sang ayah.“Enak?” celetuk daddy tampan pada putranya.Kenzie mengangguk, “Daddy udah selesai liat file—nya?” sahutnya dengan berbinar.
Matilda menikmati waktu bersantainya dengan secangkir green tea hangat. Ia percaya bahwa kandungan green tea mampu menekan angka dari tekanan darahnya yang meninggi. Cover majalah itu dibalik seraya memperhatikan bahan bacaan. “Granny lagi baca apa?” tanya Kenzie sambil mendekat pada Matilda. “Majalah,” Matilda mengendus aroma Kenzie, “Wangi banget nih, mau kemana sih baby boy?” kelakar Matilda. Pipi Kenzie bersemu merah bagai tomat yang sudah ranum. Ia jadi malu—malu berujar, “Aku habis mandi granny, terus mba maid pakein aku lotion dan parfume biar makin wangi katanya. Oya granny, kata daddy granda mau kesini lho.” “Oya? bagus dong, jadi nanti Kenzie bisa main bola deh sama granda sampe puas. Senang gak?” sahut Matilda riang walau masih terkejut dengan berita yang