Arlene terdiam menatap mata Liam, ia masih mencerna apa yang baru saja pria itu katakan. Pria itu masih terus menahannya agar tidak pergi, posisi ini membuat jantung Arlene berpacu lebih cepat karena dirinya terlalu dekat dengan Liam sampai ia bisa merasakan hembusan napas itu. Dan sialnya, ia terlalu lemah untuk menjauh, seakan dirinya tak ingin lepas dari rengkuhan itu.“Aku tidak memaksamu, aku hanya ingin membantumu, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal itu setiap saat. Kau akan ketergantungan dan kau akan selalu melukai dirimu sendiri. Katakan jika kau merasa sakit, katakan jika kau merasa sedih, katakan jika kau membutuhkanku, jangan pernah kau membohongiku, Arlene. Wajahmu tidak bisa berbohong.”Arlene meremas kemeja Liam, menunggu pria itu kembali berbicara.“Aku terus memperhatikanmu. Kau boleh memanggilku jika kau takut, jangan pernah menyendiri. Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, kau sangat ketakutan. Aku melihatmu, aku melihat tatapan yang kau lakukan malam
Arlene melangkah keluar dari dapur membawa secangkir kopi hitam tanpa gula untuk Liam, saat ini pria itu sedang dalam perjalanan menuju kemari. Sejak ia datang ke perusahaan satu jam yang lalu, ia selalu diingatkan kejadian semalam. Liam benar-benar menunggunya hingga tertidur bahkan ketika ia bangun, pria itu tertidur di sampingnya masih mengenakan setelan kemarin hanya saja tidak mengenakan atasan ketika tidur.Cukup terkejut tapi ia juga tidak merasa keberatan dengan itu bahkan ketika pria itu terbangunpun menanyakan apakah ia kembali bermimpi buruk? Liam sudah tahu jawabannya, ia memilih untuk diam lalu bersiap untuk bekerja. Ia berangkat lebih dulu karena ia tidak ingin jika semua orang yang ada di perusahaan tahu tentang dirinya tinggal satu atap dengan boss mereka.“Holy shit!”Arlene tersentak kaget, cangkir kopi panas yang ia bawa tak sengaja tumpah dan terjatuh ketika ia hendak masuk ke dalam ruangan. Walt tampak meringis, ia segera mengambil tisu di ruangannya kemudian memba
“Kau tidak ingin pulang, Walt?”“Kau pulang saja, pekerjaanku belum selesai.”“Berapa lama lagi? Dibawah gelap, aku takut.”“Sebentar lagi.”Catherine memutar bola matanya malas lalu menarik kursi dan duduk di depan meja pria bermanik cokelat itu. “Kau tahu, apa aku saja yang merasakan hal ini. Beberapa hari ini aku mencurigai Arlene yang begitu dekat dengan Liam, bukankah kau lihat berita pagi tadi? Apa kau tahu Liam dan Arlene benar-benar tinggal bersama?”“Tidak tahu,” jawab Walt tanpa menatap Catherine, ia tetap focus pada laptop agar pekerjaannya cepat selesai, ia ingin pulang karena ada yang lebih penting dari pertanyaan tidak penting Catherine.Catherine mendengus. “Bagaimana bisa kau tidak tahu sedangkan disini kaulah yang paling sering bersama Liam. Jadi katakan padaku Walt, aku janji untuk tidak memberitahu siapapun, apakah benar mereka tinggal bersama berdua? Tanpa orang ketiga selain Cassie?”“Kim.”Catherine berdecak. “Kim hanya tinggal sampai pukul 4 sore, lagipula wanita
Gerakan Liam terhenti ketika hendak masuk ke dalam. Ia diam di samping pintu apartment ketika berada di tengah-tengah keheningan sesaat. Tangan kanannya mengeras hingga memperlihatkan buku-buku putih mendengar apa yang Morgan katakan dan berhasil membuat jantungnya berdetak kencang. Shelley? Saudari kandung Arlene yang pernah gadis itu ceritakan di hadapan Marcia dan Shelley saat makan malam? Telinganya mendengar suara isak tangis Arlene, masih berapa banyak lagi kebohongan yang telah gadis itu tutupi selama ini?“Get out of my apartment, Mr. Krane.”Morgan menoleh. “You already know the truth?” tanyanya.“Jauhi Arlene.”Morgan melangkah penuh dengan perhatian ketika melihat tatapan Liam yang sulit diartikan. Ia masih membeku di tempat, tidak ada ekspresi di wajahnya dan tidak melepaskan pandangan dan terus menatap manik birunya dengan intens. Apakah Liam mendengar pembicaraan mereka dari awal? Apa saja yang telah pria itu dengar? Langkah Morgan terhenti tepat di samping Liam, keduanya
“Oouu sorry, kupikir kau masih mandi.” Liam menoleh. “Masuk, ini kamarmu,” ucapnya melihat Arlene hendak menutup pintu untuk keluar dari kamar karena melihatnya belum mengenakan pakaian, tidak, hanya boxer hitam yang melekat.Liam menyadari sejak pagi tadi, Arlene belum berbicara padanya mengingat apa yang hampir mereka lakukan semalam, gadis itu selalu mengalihkan pandangan bahkan ketika mereka bangun bersama saat itu Arlene sedang memeluk tubuhnya. Liam memaklumi bahwa Arlene merasa malu karena posisi mereka pagi itu tidak mengenakan pakaian, tapi mengapa harus merasa malu? Toh mereka pernah berbuat hal gila di yacht lebih dari satu kali, bukan? “Tidak, kau bisa memakai pakaianmu lebih dulu—”Liam tersenyum tipis kembali menghadap cermin. “Bagaimana bisa aku memakai pakaianku yang basah? Masuk, Arlene. Tidak ada yang perlu kau tutupi, kau sudah melihat seluruh tubuhku. Aku sangat tidak masalah jika kau ingin melihat untuk kedua kali dengan versi yang berbeda.” “Tidak—”“Arlene, ma
Mobil berwarna hitam memasuki kawasan mansion besar. Kakinya menginjak pedal rem hingga berhenti tepat di depan air mancur, perlahan pintu terbuka dan keluarlah seorang gadis bermanik hazel dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Suara ketukan sepatu terdengar ketika ia menginjakkan kakinya kelantai marmer, pintu terbuka tanpa harus bersusah payah untuk menekan bel mansion. Kacamata yang bertengger di hidung mancungnya ia lepaskan, meletakkan di dalam tas mahalnya.“Where's Morgan?”“Masih tidur, Nona.”Ujung bibirnya tertarik membentuk senyuman miring, ia pun segera berjalan masuk kedalam mengikuti maid mansion yang akan mengantarkan dirinya untuk sampai kekamar pria itu. Matanya melirik sepanjang dinding yang memperlihatkan lukisan-lukisan romawi kuno yang terpajang. Langkahnya terhenti ketika wanita itu berhenti, pintu kamar pun terbuka. “Ada yang ingin anda minum, Miss. Court?”Shelley menggeleng. “Kau boleh pergi.”Shelley masuk ke dalam, menutup pintu kamar dan men
“Aku pikir menjadi dewasa itu menyenangkan, ternyata tidak. Aku harus terlihat baik-baik saja walaupun sebenarnya tidak, itu sangat menyebalkan.”Sejak dua puluh menit yang lalu Arlene sudah berbaring di bangku taman rumah sakit dengan Hunt yang saat ini mengelus lembut rambutnya ketika dirinya meletakkan kepalanya disalah satu paha lelaki paruh baya itu. Kedua matanya memandangi pohon-pohon yang berada di depan mereka. Tatapannya melekat, terfokus untuk menatap seekor burung yang sedang membuat sarang untuk telurnya.Hunt mendesah. “Railee, Ingat jika Dad selalu ada di hatimu sampai kapanpun jangan pernah lupakan itu. Kau tahu apa yang Dad takutkan di dunia ini?”Pandangan Arlene kali ini beralih menatap Hunt sambil menggeleng. “Katakan apa itu?” “Melihatmu menangis dan hal kedua yang benar-benar Dad takutkan adalah tidak pernah melihatmu lagi dalam pandanganku. Rasanya waktu begitu cepat, dulu kau menggenggam jariku sekarang kau menggenggam tanganku…”Kebahagiaan semua orang tua di
Sejak kejadian siang tadi, Arlene dan Liam manjadi bahan omongan seluruh orang yang mengetahui kebenaran setelah Liam mengungkapkan bahwa mereka tinggal bersama di penthouse. Berawal ketika ia keluar dari gedung itu pagi-pagi dan sialnya mereka melihat dan mengambil gambar untuk dijadikan berita panas hingga potret ciuman mereka tersebar. Liam sangat mengerti apa yang tengah terjadi belakangan ini. Namun, Liam memilih untuk tetap diam dan tidak memusingkan toh mereka semua sudah tahu kebenarannya bukan? Jadi tidak ada yang perlu pria itu ungkapkan lagi dan Liam melakukan ini karena tidak ingin jika salah satu dari mereka beranggapan buruk tentang Arlene seperti yang ia dengar ketika Martha menyebutkan bahwa Arlene adalah wanitanya, bukan, tapi jalangnya.Mengingat gambar yang tersebar, sejujurnya Liam sangat tidak menyukai hal itu, karena telah melanggar privasinya apalagi terlihat jelas bahwa didalam posisi tersebutlah Arlene yang lebih terlihat dibanding dirinya tidak ada yang bisa i