Share

2. Keraguan

Happy Reading . . .

***

"Av, sepertinya ajakanmu kemarin tidak akan berlaku." Ucapku setelah Ava yang langsung mengangkat sambungan telepon yang baru saja aku lakukan kepadanya ini.

"Apa? Kenapa? Ini akan terasa menyenangkan, Mandy-ku."

"Tanpa harus aku beritahu, pasti kau sudah mengetahui sendiri alasannya."

"Pasti si Bryce sialan itu. Bagaimana kau bisa bertahan hidup bersama dengan si pengekangan itu? Kau tidak seharusnya bertahan selama ini, Mandy. Aku tidak tega melihatmu yang seperti ini terus. Rasanya sudah cukup, kau tahu?"

"Kau membuatku ingin tertawa, Av." Balasku dengan senyuman penuh arti. "Sungguh."

"Apa aku perlu yang berbicara dengannya?"

"Jangankan dirimu, aku saja yang sebagai istrinya terasa percuma. Sudahlah, Av. Sepertinya aku memang tidak ditakdirkan untuk menikmati hidupku ini."

"Aku akan datang ke rumahmu sekarang."

"Tidak perlu, Av. Kau sedang bekerja."

"Tidak, karena sekarang aku sudah memutar arah mobilku ke sana."

"Ava!" Panggilanku yang ingin protes kepadanya pun langsung aku hentikan setelah mendengar nada terputusnya sambungan teleponku ini secara sepihak.

Hingga suara mungil yang memanggil diriku menyapa indra pendengaranku, membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju asal suara dimana malaikatku sedang melangkah menghampiri keberadaan diriku yang sedang duduk di sofa ruang tengah. "Mommy..." Panggilan Renne yang membuatku tentu langsung tersenyum akannya.

"Hai, Sayang. Kemarilah,". "Bagaimana tidurmu semalam, hah?" Tanyaku sambil mengangkat Renne ke atas pangkuan, lalu menghujani wajah menggemaskannya itu dengan kecupan-kecupan kecil dariku.

Wajah yang benar-benar salinan Bryce. Rambut pirang dan sedikit keriting alami juga adalah dari milik Bryce. Tidak ada satu pun gen milikku, yang aku turunkan kepada Renne. Dan bisa dikatakan, Renne adalah Bryce versi perempuan dan kecilnya. Hal yang cukup membuatku iri dan kesal di saat yang bersamaan, karena anakku satu-satunya itu harus begitu serupa dengan Daddy-nya.

"Mom, semalam Renne bermimpi pergi ke taman bermain."

"Benarkah? Kemana kalau Mommy boleh tahu?"

"Renne tidak tahu. Tetapi Renne bermimpi sedang menaiki carrousel."

"Memangnya Renne sedang ingin pergi ke taman bermain?"

"Bisakah kita pergi ke sana, Mom?"

Apa yang harus aku katakan? Renne belum saatnya mendapatkan kekecewaan dari Bryce yang sejak dulu selalu mengingkari setiap janji-janjinya. Tetapi jika aku menolak keinginan anakku ini, pasti hal itu akan langsung mematahkan semangatnya yang sedang ingin pergi ke taman bermain. Aku sangat tidak suka jika harus dihadapkan dengan situasi seperti ini lagi, dimana Renne yang sedang meminta tetapi aku sendiri tidak bisa berjanji bisa menepati atau memberikan hal yang sedang diinginkannya tersebut.

"Nanti kita tanyakan kepada Daddy terlebih dulu, okay? Jika Daddy mengizinkan dan memiliki waktu luang untuk mengajak Renne beserta Mommy pergi ke taman hiburan, kita akan langsung pergi saat itu juga. Okay?"

"Daddy tidak pernah berada di rumah ketika hari libur. Dan Renne juga tidak pernah bermain dengan Daddy. Apakah Daddy membenci Renne, Mom?"

Hatiku pun terasa hancur mendengar Renne yang sampai memiliki pikiran seperti itu, di saat dirinya yang masih begitu kecil merasa kesulitan hanya untuk bisa bermain dengan Daddy-nya sendiri. Kesibukan Bryce yang sudah diluar akal sehat itu benar-benar sudah begitu membuat keluarga kecilku inilah yang harus menanggung akibatnya. Bahkan Renne yang seharusnya merasakan kesenangan di masa kecilnya, harus merasakan kesedihan hanya karena keegoisan Bryce saja.

"Hei, tidak seperti itu, Sayang. Daddy tidak seperti itu. Renne tidak boleh berpikiran apalagi sampai membicarakan hal seperti itu kepada Daddy. Karena nanti Daddy bisa merasa sedih. Lagipula jika Renne ingin bermain, Mommy selalu siap untuk menemani anak cantik Mommy ini. Jadi Renne tidak boleh seperti itu, okay?" Jelasku yang sebisa mungkin tidak membuat Renne semakin memiliki pemikiran buruk terhadap Daddy-nya itu.

"Maafkan Renne, Mommy."

"Tentu, Sayang." Balasku sambil tersenyum lalu mencium kening anakku dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Hei, tahukah siapa yang sebentar lagi akan datang?" Tanyaku dengan riang dan berusaha langsung mengubah suasana yang sebelumnya terasa cukup sendu.

"Siapa?"

"Aunty Ava. Katanya Aunty sedang merindukan Renne, maka dari itu dia sedang dalam perjalanan menuju ke sini."

"Benarkah!?” Seru Renne dengan semangat yang langsung terlihat dari dirinya itu.

"Ya, tentu."

"Renne juga sangat merindukan Aunty Ava. Tetapi, apakah Aunty akan membawakan Renne coklat, Mom?"

"Hmm..., Renne bisa memintanya sendiri kepada Aunty nanti,”. Hingga tidak lama setelah ucapanku berakhir, bel rumah pun berbunyi hingga membuatku dan Renne langsung berpandang-pandangan.

"Sepertinya itu Aunty Ava. Ayo kita bukakan pintu untuk Aunty," ucapku sambil menggendong Renne lalu beranjak dari sofa di ruang tamu untuk membukakan pintu di depan sana.

"Hallo, Renne! Aunty Ava membawa makanan kesukaan Renne," ucap Ava dengan begitu meriah sambil memberikan dua buah batang coklat kepada Renne.

"Terima kasih, Aunty Ava." Balas Renne yang tidak kalah senangnya ketika mendapatkan dua coklat yang sudah berada di masing-masing tangannya.

"Tentu, Renne."

"Masuklah," ucapku yang menyuruh Ava untuk masuk ke dalam rumah.

"Sepertinya kau sudah sangat terbiasa tinggal di rumah yang sepi seperti ini."

"Kenapa setiap ucapanmu itu selalu membuatku merasa ingin tertawa, Av?"

"Mungkin kau sudah berada di tahap pada semua yang kau lalui hanyalah sebuah lelucon."

Aku pun tersenyum sambil menggelengkan kepala tidak menyangka akan ucapan yang baru saja aku dengar dari mulut sahabatku itu.  Setelah menyalakan televisi, aku pun mendudukkan Renne di atas tumpukan-tumpukan bantal di lantai yang memang sengaja aku susun di sana agar Renne dapat menonton televisi dengan nyaman. Dan tidak lupa juga aku membukakan satu bungkus coklat, sebagai teman menonton tayangan kartun kesukaannya itu.

"Kau ingin minum apa?"

"Aku di sini bukan tamu, jadi tidak perlu bersikap seakan-akan aku ini adalah tamu istimewa. Duduklah," balas Ava sambil menepuk sisi kosong kursi sofa tepat di sampingnya, yang menandakan Ava ingin aku bisa langsung duduk di sampingnya itu.

"Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Av. Karena itu hanya akan membuatku merasa sudah merepotkanmu."

"Tidak. Aku datang karena memang ingin menghiburmu. Mandy, aku ini sahabatmu. Satu-satunya teman yang kau miliki. Jadi sudah seharusnya, aku bisa selalu berada di sampingmu. Terutama dimasa-masa kau sedang membutuhkan teman bicara seperti saat ini."

"Terima kasih, Av. Sejak dulu kau memang selalu mendukungku."

"Itulah gunanya teman,". "Lalu, bagaimana sekarang? Kau masih ingin bertahan?" Sambungnya sambil menggenggam satu tanganku seakan memberikan kekuatan.

Ava yang memang sahabatku tentu saja sudah mengetahui perasaanku yang sebenarnya, terhadap perihal pernikahanku yang sedang aku rasakan ini. "Aku merasa saat ini belum waktu yang tepat. Aku masih memikirkan bagaimana perasaan Renne nanti, jika aku benar-benar sudah mengeluarkan seluruh isi hatiku kepada Bryce. Hanya perasaan Renne yang berada di pikiranku selama ini. Bahkan tadi saja, dia memiliki pikiran dan mengatakan bahwa Bryce membencinya karena sudah tidak pernah mengajaknya bermain lagi. Aku sungguh tidak tega, Av."

"Hei, semuanya memang membutuhkan waktu. Maka dari itu, tadi aku bertanya kepadamu, bukan? Apakah kau masih ingin bertahan?"

"Mungkin saat ini waktu masih berjalan di dalam pernikahanku, maka dari itu aku masih bisa mempertahankannya."

"Tetapi jika Bryce tidak ingin mempertahankannya, bagaimana?"

"Entahlah. Itu hanya akan membuang-buang waktu saja."

"Tepat sekali! Kau akan membuang-buang waktu karena pernikahanmu ini sudah tidak ada masa depannya lagi, Mandy. Hei, Bryce memang tidak pernah bermain kasar dengan fisik, bukan? Tetapi secara tidak langsung dengan segala omong kosongnya, hatimu yang sedang diserang sehingga secara tidak sadar mungkin saat ini sudah babak belur dan harus dirawat secara intensif. Kau harus memiliki keberanian, Mandy."

"Aku sedang mengumpulkannya."

"Lalu sampai saat ini, presentasenya sudah berada pada angka berapa?"

"Lima..., dari seribu."

"Huh..., aku lelah mendengarmu yang terlalu baik terhadap Bryce."

"Av, berbicara memang mudah. Tetapi di saat aku sedang berhadapan empat mata dengannya, keberanian yang sebelumnya sudah aku kumpulan langsung menguap entah kemana. Itu sama sekali tidaklah mudah."

"Okay, sebaiknya kita hentikan sementara pembicaraan mengenai hal ini. Karena aku datang ke sini hanya ingin mengajakmu untuk bersenang-senang, dan tidak membuatmu semakin merasa sedih dengan kehidupanmu ini,”. “Besok malam, kita datang ke esta di kantorku. Aku juga sudah membawakan gaun untukmu di mobil."

"Aku tidak diizinkan, Av."

"Memangnya kau sendiri merasa nyaman sudah dua bulan tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah seperti ini? Bryce adalah pria ter-sialan yang pernah aku kenal dan temui. Dia tidak lebih menganggap istrinya ini dari seekor burung peliharaan."

"Jika dia sudah mengatakan tidak, aku tidak bisa membantahnya lagi."

"Aku tidak peduli. Jika kau tidak ingin meminta izin darinya lagi, biarkan aku sendiri yang akan turun tangan. Tetapi dengan sedikit kekerasan. Jadi, kau ingin memilih yang mana?"

"Kau ini, sama keras kepalanya seperti Bryce saja."

"Tetapi bedanya aku ini tidak brengsek seperti pria itu."

"Baiklah, baiklah. Akan aku coba lagi."

"Ini baru Mandy yang aku kenal."

"Tetapi, memangnya pesta mana yang akan diadakan di kantor namun bisa membawa teman?"

"Tidak ada."

"Huh?" Tanyaku dengan bingung.

"Iya, tidak ada. Bahkan sebenarnya pesta itu tidak ada catatan plus-one. Hanya karyawan, para model, dan yang bekerja pada Style's saja."

"Lalu untuk apa kau mengajakku?"

"Hanya ingin mengajakmu merasa kebebasan sejenak saja."

“Kau pasti sangat bahagia dengan kehidupanmu ini, bukan? Kau masih sendiri, tetapi sudah mendapatkan pekerjaan yang luar biasa. Aku sedikit iri denganmu, Av.” Ucapku dengan sedikit miris.

 

“Maka dari itu aku tidak ingin merasakan kebahagiaanku yang aku miliki ini sendirian saja, Mandy. Aku ingin membaginya kepada sahabatku, yang tidak lain adalah kau. Ayolah, di sana kita akan bersenang-senang tanpa memikirkan beban hidup yang sedang kau rasakan. Bisakah kau melupakannya, walau hanya sesaat?”

“Aku akan membuatmu malu jika aku tetap memaksa untuk datang. Karena selain aku tidak memiliki koneksi dengan Style's, aku juga merasa tidak pantas berada di sana, Av.”

"Tidak, Mandy. Kau adalah temanku, dan aku ini berstatus asisten kepala editor. Sedikitnya aku memiliki hak dengan apa yang sedang terjadi di Style's."

"Tetap saja, Av-"

"Sshh..., Mandy, sekali lagi. Aku hanya ingin membuatmu senang. Lihatlah dirimu sendiri, kau ini wanita yang memiliki penampilan sempurna. Tinggi tubuhmu saja seratus delapan puluh centimeter. Tubuhmu juga terlihat begitu ideal untuk memiliki satu orang anak. Dan yang terakhir, kecantikan wajahmu sudah menyamai rupa model profesional. Bahkan kau pun juga pantas menjadi model sampul utama Style's. Hanya saja, sayangnya nasibmu yang kurang beruntung. Menikah dengan pria yang posesif-nya sudah tidak memiliki batas, sehingga kau ini sudah sangat pantas mendapat julukan Rapunzel."

"Aku tidak percaya diri."

"Kau tidak membutuhkan itu. Cukup menjadi dirimu dan mendapatkan sedikit sentuhan dari make-up, aku yakin kau pasti akan langsung mendapatkan pengganti Bryce."

"Ava?!" Peringatku dengan sangat terkejut, namun hal itu justru membuatnya tertawa.

"Okay, besok aku akan menjemputmu setelah aku selesai dengan pekerjaanku."

"Baiklah."

"Dan kita ambil gaunmu di mobilku," ucap Ava yang langsung menarik tanganku keluar rumah untuk menuju mobilnya.

***

To be continued . . .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status