Verdi masih bungkam dengan tatapan kosong menatap makanannya. Tak ada yang bisa ia lakukan dan tak mungkin dia hanyut dalam pemikirannya sendiri tanpa membicarakan sejujurnya pada mereka.
"Enggak, Verdi cuma kepikiran sama Dinda." ucap Verdi polos yang masih menatap kosong makanan di depannya.
Verdi sudah berani terbuka dengan perasaannya, mengingat taruhan yang ia dan Papa lakukan beberapa hari kemarin. Hal itu pasti membuat orang tuanya semakin bangga dan berharap lebih pada Verdi.
"Emang Dinda kenapa, Ver?" Pak Rahmat yang sudah selesai makan pun langsung menanyakan hal itu kepada Verdi. "ada masalah sama kamu?"
Ia menggeleng, "Dinda kecelakaan." lanjut Verdi dengan berat hati.
"Kok bisa? Dia dirawat dimana?" tanya Bu Rere dengan nada yan
Malam ini adalah malam terakhir Verdi untuk menyiapkan semua bahan olympiade. Ia sangat tenang, tak ada kepanikan yang ia perlihatkan. Namun sejenak, ia kembali teringat dengan Dindanya yang tidak bisa mengikuti acara itu besok pagi."Andai besok lo jadi ikut, pasti gue akan tambah semangat buat nandingin lo." sesal Verdi sambil menatap langit yang cukup cerah, bulan bertengger jauh di langit atas."Gue bakal buktiin janji gue sama lo, Din."Terdengar ketukan pintu beberapa kali, Verdi pun akhirnya menatap pintu coklat itu beberapa saat, tak lama pintu terbuka menampilkan sosok Vanya yang lebih pendek darinya."Kak Ver, nanti mama sama papa mau jenguk kak Dinda, lo mau ikut nggak?" tanya Vanya menatap Verdi dengan penuh tanda tanya."Nggak, gue titip salam aja buat mereka, gue mau belajar." Vanya hanya mengangguk lalu pergi meninggalkan Verdi sendirian di balkon kamarnya.
"Verdian!!" teriak seseorang dari ujung jalan sana.Verdi melihat ke belakang, mengikuti arah datangnya suara, dan ternyata ia mendapati seseorang yang lama ia tunggu, gadis yang baru saja dirawat di rumah sakit.Sudah satu minggu Dinda dirawat di rumah sakit dan sudah satu minggu pula ia berada di zona nyamannya. Zona yang sangat ia rindukan berhari-hari. Rumah."Din-Dinda?" Verdi melihat Dinda yang berada tak jauh darinya, dengan segera ia meletakkan lap yang tadinya digunakan untuk mengelap mobil merah kesayangan. Ia segera berlari menuju keberadaan Dinda sekarang."Lo ngapain kesini? Udah sehat emang?" Verdi memeriksa jidat Dinda dengan telapak tangannya, menatap tubuh Dinda dengan tatapan indah. Luka yang ada di lengan dan kakinya sudah mengering.Dinda tersenyum saat tangan Verdi berada di kedua punda
"Selamat pagi semua." sapa Dinda ceria sambil berjingkrak ria."Eh, eh. Itu kaki hati-hati, main jingkrak aja. Kalau lukanya kebuka lagi, siapa yang mau obatin?" Andre memberi satu peringatan padanya. Dinda pun tersenyum merutuki tingkahnya."Sori, Bang.""Pagi, tumben itu muka happy banget, kenapa?" tanya Bu Sella yang masih menyiapkan sarapan untuk mereka."Baru dapet pesan singkat dari Verdi itu, Bun." tebak Andre membuat mata Dinda membulat. "Bener kan?""Diem lo, Bang!""Hehe enggak pa-pa kok, Bun. Nanti... Dinda main sama
Tak lama mobil mereka pun berhenti di sebuah kafe bernuasa serba romantis. Yang mana Verdi memang sudah memesan tempat yang sebegitu indah khusus untuknya."Gue itu sudah sarapan, Ver, nggak usah ke sini ah." tolak Dinda saat mobil itu sudah terparkir rapi."Gue belum sarapan, kalau perut gue bunyi di tengah jalan, lo nggak malu? Udah lo disini tinggal nurut, diam, dan gue yang bayar!" Verdi menarik tangan Dinda untuk segera masuk bersamanya."Iya gue tau." ambeknya melirik malas."Masih nggak mau masuk? Gue tinggal nih, atau lo mau pulang?" tanya Verdi yang melihat perubahan mimik dari gadis sebelahnya."Nggak." Dinda pun segera masuk dalam kafe itu bersama Verdi.Dinda begitu tercengang ketika melihat meja yang mereka tuju berbeda dari biasanya. Dimana terdapat bunga warna-warni di pinggir meja, serta hiasan pelengkap lainnya yang membuat
"Mau kemana lagi, Ver? Capek gue udah. Pulang aja yuk!" ajak Dinda yang sudah terlalu kecapekkan karena seharian bersama Verdi.Mulai dari mentari condong ke timur hingga sekarang sudah mau condong ke barat, Verdi terus mengajak Dinda berkeliling seenaknya. Apa energinya masih akan bisa stabil jika terus begini?"Ngikut aja lah." kata Verdi santai. Dinda hanya berdecak kesal menurut tak melawan."Eeee—Ver, btw tadi filmnya bagus ya, gue tadi sampai merinding banget lho, ngeri gue!" kata Dinda histeris sambil memperagakan seperti orang ketakutan."Dan lo tau nggak, Ver, gue tadi juga ngerasa, ada yang duduk di belakang kita, padahal tadi gue lihat sepi nggak ada orang. Sumpah itu film horror banget, kebawa terus gue.""Lo nggak ngerasa sama kayak gue, Ver?"Verdi tak menggubris sama sekali, ia masih asyik melajukan mobilnya dengan k
"Gue... Gue mau jadi pacar lo!" putus Dinda mengagetkan dengan senyum lebarnya. Verdi yang awalnya nampak menciut sekarang malah menatap Dinda dengan mata yang sangat berbinar namun ragu."Demi apa?" tanya Verdi mendapat anggukan dari Dinda."Gue mau jadi pacar lo.""Makasih, Din, makasih." lanjut Verdi sambil berteriak bangga."Apa sih Ver, mulai deh tuh gilanya." Dinda memukul lengan cowok ini dengan senyuman yang masih merekah di bibirnya."Apaan sih gimana? Kan gue cuma berbagi kebahagiaan, emang nggak boleh?" ucap Verdi yang masih menampakkan senyum lebarnya."Jangan gitu juga kalik.""Biarin.""DINDA GUE SAYANG SAMA LO!" teriak Verdi menatap padang rumput yang membentang luas diikuti tatapan menuju manik mata gadis yang tertawa itu."Jangan malu-maluin."
"Ya ampun! Gila nggak sih—gue bisa jadian sama Verdi." teriak Dinda histeris sambil meremas boneka kecil yang ia letakkan di pangkuannya."Gue seneng banget ya Tuhan, akhirnya ... akhirnya masa kejombloan gue udah berakhir, yash!" pekik Dinda lagi-lagi dengan sangat histeris."Gila! Gila! Gila!"Berada di zona nyaman disertai perasaan yang campur aduk sangatlah nikmat menurut gadis yang sedang jatuh cinta ini. Merasakan semuanya tanpa ada kebimbangan, membuatnya semakin tak bisa mengungkapkan semua dengan kata-kata.Sudah cukup dirinya kelelahan, karena mengekspektasikan hal yang terlalu tinggi.Kini ia mulai membaringkan tubuh mungilnya dengan seulas senyuman yang terbit di sudut bibirnya, lama-kelamaan mata indah itu mulai menutup dan menuju ke alam mimpi.'nggak usah ngucapin malam ke pacar, ngapain juga! Itu
"Kak Veeer!!" gadis kecil yang kini tengah memakai sepatu hitam bertali itu berteriak memanggil nama Verdi setelah melihatnya beranjak keluar dari rumah.Vanya langsung memakai sepatu dengan cepat kemudian menyusul keberadaan kakaknya. Dengan rambut yang masih acak-acakan, serta tas gendong yang hanya tersampir di bahu kanan. Membuat Vanya seperti tidak begitu terurus."Kak tungguin bentar, gue lupa bawa uang jajan!!" mendengar ucapan itu, Verdi mendengus kesal. Bisa-bisa ia terlambat mengikuti ujian terakhirnya hari ini."Dasar. Cepetan!!" bentak Verdi setelah Vanya pergi ke kamarnya untuk mengambil uang saku."Siap, ayo kak!"Verdi segera memainkan motor ninjanya setelah meli