Share

006 - Belum Terbiasa Kaya

Emma tenggelam dalam pikirannya yang dalam, mencoba mencerna kata-kata Lucas. Harus dia akui tadi itu Victor terlihat begitu kelam, murung, dan begitu tak bersemangat saat wanita itu membawanya ke dalam limousine.

  

Namun begitu, dia masih begitu sulit menerima kenyataan kalau Victor adalah seorang gigolo. Dia mungkin menilai Victor rendah, tapi tidak sampai menganggapnya serendah itu juga.

  

Dan sekarang, Lucas malah tak bisa menahan tawanya melihat Emma yang masih kebingungan itu.

  

“Coba pikirkan lagi, apakah ada kemungkinan lain yang masuk akal. Dilihat dari gayanya saja, jelas sekali wanita itu adalah wanita kelas atas yang angkuh dan suka merendahkan orang. Wanita-wanita yang seperti ini kebanyakan belum menikah. Mereka memandang laki-laki lebih sebagai mainan, karena mereka lebih mementingkan karir dan uang. Soal kehangatan di malam hari, mereka bisa membayar seorang gigolo tanpa harus hidup terikat.”

  

Emma tertegun mendengar penjelasan seperti itu. Masalahnya, perkataan Lucas tersebut justru terdengar sangat tepat dalam menggambarkan sosok Lucas sendiri, hanya saja pada posisi sebaliknya.

  

Kini Emma mulai khawatir Lucas juga akan melihat dirinya seperti itu, melihat wanita hanya sebagai mainan untuk memenuhi hasratnya saja. Mobil itu terus berjalan sementara Emma masih dalam kegelisahannya, gelisah bahwa dia mungkin telah salah memilih laki-laki.

  

“Satu hal yang pasti, kamu sudah terbebas dari pecundang itu,” lanjut Lucas, menoleh ke arah Emma dengan sedikit tersenyum dan menaikkan satu alis mata. “Sekarang cuma tinggal urusan bagaimana kita menemukan pengacara terbaik untukmu. Aku bisa saja membantumu, tapi aku ingin bagian dari keuntungan yang akan kamu peroleh dari ini semua.”

  

“Bagian dari keuntungan? Keuntungan apa yang kamu bicarakan? Aku hanya menuntut apa yang menjadi milikku,” ucap Emma dengan memasang wajah lugu sok tak berdosanya.

  

“Ayolah! Tak usah berlagak di depanku. Aku tidaklah sebodoh itu,” Lucas kembali menoleh ke arah Emma sebelum tertawa lepas.

  

Emma hanya bisa membuang muka, tampak tak terima jika dia harus membagi sebagian dari harta yang akan dia kuras dari Victor. Namun begitu, dia tak bisa juga memikirkan cara lain untuk memenangkan sengketa perceraian itu, tanpa bantuan dari Lucas untuk membayar seorang pengacara.

  

Ketika mobil itu sampai di depan rumahnya, barulah Emma teringat bahwa rumah tersebut saat ini terkunci. Satu kunci yang dia miliki tertinggal di dalam kamarnya. Sedangkan kunci lainnya dibawa oleh Victor yang merupakan orang terakhir yang mengunci pintu.

  

“Ada apa?” tanya Lucas ketika melihat Emma tampak enggan keluar dari mobil.

  

“Aku tidak memiliki kunci rumah saat ini,” jawabnya.

  

Lucas menghela nafas dan memasang wajah lelah tak bersemangatnya. Pada akhirnya, mobil itu kembali melaju meninggalkan rumah itu, tak jelas hendak ke mana akan di bawanya mantan istri orang yang baru saja dia curi itu.

  

Sementara itu, Victor mendapatkan ceramah panjang dari Viona dalam perjalanan mereka menuju kantor. Ini tentang dia yang menggunakan uangnya secara sembarangan, menghabiskan hampir 2 Juta dolar hanya dalam satu hari.

  

“Aku bisa mengerti, kamu mungkin senang setelah ayahmu mencabut larangan penggunaan uang yang kamu simpan di rekening bankmu itu. Tapi aku benar-benar tak habis pikir, kamu menghabiskan uang sebanyak itu hanya dalam beberapa jam,” gerutu Viona sambil mengurut jidatnya.

  

Victor hanya terdiam. Faktanya, dia belum mengucapkan sepatah kata pun sejak berada di dalam limousine tersebut.

  

“Ke mana kamu menghabiskan uang sebanyak itu? Aku tahu kamu selalu hidup hemat sejak dulu. Jangan bilang kalau kamu menghabiskan semuanya untuk wanita itu?”

  

Viktor masih diam. Namun untuk sesaat dia melirik sekilas ke arah Viona sebelum menyembunyikan wajah bersalahnya. Dan Viona tidak melewatkannya.

  

“Ternyata benar! Aku tahu pasti karena kemarin adalah ulang tahun pernikahanmu, kan?”

  

Victor memalingkan wajahnya ke arah Viona dengan tatapan tidak percaya, bagaimana dia bisa tahu kalau itu adalah hari ulang tahun pernikahannya.

  

“Kamu! Apa kamu telah memata-mataiku selama ini?” tanya Victor tampak tak senang.

  

“Kamu pasti menghabiskan uang itu untuknya, kan?” balas Viona, mengabaikan pertanyaan Victor. “Dasar! Kenyataan sekarang dia malah meminta cerai membuatku muak. Sudah berapa kali kubilang, penyihir sialan itu sama sekali tidak pantas untukmu,” lanjut Viona dalam khotbahnya.

  

“Bagaimana kamu begitu yakin dialah yang meminta cerai?” balas Victor sambil berusaha tersenyum jumawa, berlagak seolah dialah yang mencampakkan Emma, bukan sebaliknya.

  

“Aku tahu betul sifatmu. Mana mungkin kamu yang meminta perceraian itu. Kamu itu sudah bucin tingkat akut pada gadis penyihir itu,” jawab Viona dengan senyum puas yang sama. “Kamu itu naïf seperti bocah yang tak tegaan. Tahu rasa sekarang, disakit oleh orang yang begitu kamu cintai!”

  

Senyum jumawa Victor perlahan reda. Kini dia kembali ke wajahnya yang muram. Viona hanya bisa menggelengkan kepalanya, sadar bahwa mungkin Victor masih belum sepenuhnya move on dari Emma.

  

“Aku cuma ingin bilang, ayahmu juga sudah mengetahui hal ini?”

  

“Tentang apa? Tentang perceraianku dengan Emma?” tanya Victor.

  

“Tak ada yang peduli dengan nasib pernikahanmu dengan penyihir itu?” bantah Viona. “Ayahmu tahu bahwa kamu menghabiskan uang dengan sembarangan. Sebenarnya sampai kemarin malam dia masih ada di sini. Dia begitu tak sabar untuk segera bertemu denganmu. Tapi begitu dia tahu kamu membelanjakan uang dengan serampangan begitu, dia meninggalkan Indiana dan langsung kembali ke San Francisco.”

  

Victor terlihat sangat bingung, khawatir bahwa mungkin dia benar-benar telah mengecewakan ayahnya. Kini ia bahkan merasa keputusannya untuk berhenti dari toko pizza itu, dengan cara penuh percaya diri seperti itu, adalah sebuah keputusan yang salah. Sepertinya dia harus kembali hidup dengan pekerjaan kelas bawah lagi, untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa dia layak menerima kepercayaan.

  

“Sial! Dia pasti kecewa padaku,” gumam Victor nampak begitu menyesal.

  

Tapi kemudian, dia terpikir akan limousine yang sedang membawanya ke kantor perusahaan Counterbrand, dan Viona sebelumnya mengatakan saat ini semua manajer sudah menunggunya.

  

“Tunggul dulu! Kalau begitu, kenapa aku masih harus…”

  

Dia kembali memalingkan wajah ke arah Viona, dan Viona langsung menghela nafasnya sebelum menjelaskan lebih lanjut.

  

“Kamu beruntung, ayahmu tidak membatalkan keputusannya mengangkatmu sebagai Presiden Counterbrand, perusahaan cabang yang sudah dipersiapkannya untukmu dalam 5 tahun ini. Tapi kabar buruknya adalah, ayahmu kembali melarang penggunaan rekening bank itu.”

  

“Eeeeh? Rekening bank itu?” Victor merespons dengan wajah terkesima dan pucat.

  

“Kamu hanya bisa menggunakan uang dari gajimu sebagai CEO di Counterbrand. Dan satu hal lagi, jangan pikir aku di sini sebagai pelayanmu. Aku ini orang kepercayaan Charles William, pebisnis paling disegani di Amerika, camkan itu!”

  

Sebelum sampai di kantor Counterbrand, Victor menyadari bahwa penampilannya masih sangat berantakan. Bajunya memiliki ratusan segi dan sudut, dengan rambutnya yang masih acak-kadut.

  

Tidak mungkin rasanya dia muncul dengan keluar dari limousine dalam keadaan seperti itu bersama Viona. Ia agak khawatir orang-orang akan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan Viona, seolah mereka telah berbuat mesum di dalam mobil panjang itu.

  

“Maaf! Tolong turunkan saja aku di sini. Aku akan jalan saja menuju kantornya.”

  

“Lho? Kenapa lagi?” tanya Viona.

  

Victor tidak memberikan penjelasan. Namun dia bersikeras menyuruh sopir untuk menghentikan mobilnya. Viona pun menyuruh si sopir untuk mengikuti perintah Victor, sekaligus memberitahu sopir itu bahwa Victor adalah orang yang akan menjadi presiden di perusahaan mereka.

  

“Dasar kau ini! Ada alasan kami sengaja menjemputmu dengan limousine ini, dan kau malah memilih untuk berjalan kaki,” rengek Viona.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status