Malam kian merangkak larut. Haris masih duduk di atas sajadah, berzikir meminta ampunan sebanyak-banyaknya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, karena dulu pernah melakukan dosa zina. Walaupun dia merasa kalau dirinya berlumur dosa, akan tetapi sangat yakin jika Tuhan itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Tidak lupa juga ia meminta kepada Sang Pemilik Hati agar melembutkan hati anaknya, supaya bisa menerima maafnya sebelum nyawanya terlepas dari raga. Haris sangat khawatir jika suatu saat dia mati, akan tetapi Azriel tidak mau mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir, juga mentalkinkan dia seperti apa yang selalu dia bayangkan.Mengambil mushaf yang berada di atas meja, dengan deraian air mata Haris membaca ayat demi ayat dalam Alquran, hingga beberapa titik air bening membasahi halamannya.***Suara cericip burung terdengar saling bersahutan menyambut hari yang terlihat begitu cerah.Sang pemilik jampang tipis mengayunkan kaki samb
Haris membuka mata perlahan, mengedarkan pandangan, merasa bingung karena tiba-tiba sudah berada di dalam sebuah kamar yang terasa asing baginya."Alhamdulillah, Pak Haris sudah siuman?" tanya seorang yang sedang duduk di sebelahnya."Pak RT, kenapa saya bisa berada di sini?" Haris balik bertanya, masih merasa kebingungan, sebab yang dia ingat tadi ia hendak pergi ke surau."Tadi Bapak pingsan di jalan. Makanya warga membawa Bapak ke sini!"Mendengar jawaban dari lawan bicaranya, Haris menghela napas dalam-dalam, dan masih merasakan sesak serta sakit di bagian dada sebelah kiri."Ya Allah... Apa aku sakit? Apa sebentar lagi Engkau akan mengambil nyawaku? Kalau iya, aku ingin pergi dikelilingi orang-orang yang aku cintai. Hamba ingin ketika Engkau mengutus malaikat Izrail untuk mencabut nyawaku, anak-anak sudah memaafkan dan mau menemuiku," batinnya sambil menahan genangan air mata."Yasudah kalau begitu saya permisi pulang dulu, Pak Haris. Sudah jam sembilan malam, dan saya tidak bis
Ambar hanya menganggukkan kepala pelan, ingin mengatakan sesuatu kepada mantan suaminya, akan tetapi suaranya tercekat di kerongkongan.Sekuat tenaga juga dia menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk agar tidak tumbuh ruah di hadapan suami serta temannya. Ia tidak mau terlihat rapuh juga menunjukkan kalau sebenarnya masih ada rasa cinta yang tertanam dalam dada."Kamu ini bicara apa sih, Ris. Kenapa tiba-tiba malah ngomongin masalah kematian?" Roy bertanya seraya menatap wajah pucat sahabatnya."Karena semua yang bernyawa pasti akan mengalami yang namanya kematian, Roy. Dan aku merasa kalau sebentar lagi waktunya aku meninggalkan dunia ini!" jawab Haris dengan suara serak."Hanya Allah yang bisa menentukan kapan kita akan mati!"Haris terdiam tidak lagi mendebat. Bibirnya terkatup rapat, sementara matanya terus saja menatap lurus ke tembok yang ada di depannya.Mungkin akibat terbawa perasaan juga kesepian sehingga memb
"Apa kamu ada hubungan serius dengan Roy?"Ambar mengambil napas dalam-dalam mendengar pertanyaan dari ibu mertuanya, kemudian menggelengkan kepala perlahan."Tapi sepertinya Roy ada rasa sama kamu, Ambar. Ibu bisa melihat dari cara dia memperlakukan kamu juga kala menatap wajah kamu. Ibu setuju kok, kalau kamu menjalin hubungan dengan dia. Roy itu orang baik. Insyaallah dia bisa menjaga kamu, menjadi imam yang baik buat kamu juga cucu-cucu Ibu.""Ambar belum memikirkan untuk mencari pengganti Mas Haris, Bu. Masih ingin fokus mengurus anak-anak.""Yasudah ibu mah terserah kamu saja, Ambar. Ibu hanya ingin melihat anak kesayangan Ibu bahagia.""Terima kasih, Bu."Ambar kembali menatap wajah ibu mertuanya, terharu karena dia masih saja memberikan perhatian juga kasih sayang, walaupun kini dia sudah tidak lagi menjadi istri dari anaknya.***Sore harinya, mereka semua pergi berziarah ke makam Haeroni, juga ke makam
"Dia juga yang sedang saya kagumi, Gus." Tentu saja kata itu hanya Roy ucapkan dalam hati, tanpa berani mengutarakannya kepada Gus Fauzan. Rasanya segan jika sang pemuka agama sampai tahu kalau diam-diam mereka mencintai perempuan yang sama."Menurut sampeyan bagaimana, Roy? Kira-kira dek Ambar mau nggak ya sama saya? Kan sampeyan tahu sendiri, kalau dek Ambar masih muda, sedang saya sudah berumur. Saya sendiri merasa malu kalau hendak menyampaikan maksud baik saya. Takut ditolak!" Gus Fauzan terkekeh, memamerkan deretan giginya yang rapi, dan tawa itu bagai ujung belati yang Merobek-robek dinding hati lawan bicaranya. Sakit tetapi tidak berdarah.Tentu saja jika Ambar tahu pasti dia akan lebih memilih Gus Fauzan, karena walaupun sudah berumur tapi dia masih terlihat seumuran denganku dan terlebih lagi beliau seorang kyai besar. Aku diibaratkan sebutir debu di antara berlian nan berkilauan. Pikir Roy sambil menghela napas."Jujur, Roy. Saya tidak mau menam
Setelah menempuh perjalanan lebih dari lima jam menyusuri jalan tol Cipali, mobil yang dikemudikan Gus Fauzan akhirnya menepi di depan rumah Ambar. Mereka semua segera turun dari kendaraan roda empat tersebut, istirahat di rumah Ambar sekaligus ingin melaksanakan ibadah shalat ashar."Njenengan mau minum apa, Gus?" tanya Ambar kala melihat guru ngajinya baru saja pulang dari musala bersama Roy."Apa saja, Dek. Teh hangat juga boleh, jangan terlalu manis tapi, ya." Gus Fauzan menjawab sambil melekuk senyum, sementara Roy mengembuskan napas kasar karena rasa cemburu terus saja menusuk kalbu.Ambar segera membalikkan badan, berjalan menuju dapur dan sepersekian menit kemudian kembali dengan tiga buah cangkir di atas nampan.Dua cawan berisi teh hangat untuk ibu mertua serta tamunya, sementara cangkir satunya berisi coklat hangat kesukaan Roy."Silakan diminum. Maaf, hidangannya seadanya." Perempuan berhijab panjang menjuntai itu me
"Bagaimana, mbak Ambar, apa mbak Ambar bersedia menjadi ibu sambung saya, menemani hari-hari tua abi, menjadi pendamping hidup abi dan menua bersama abi?" Nabila ikut buka suara. Kini semua mata tertuju kepada Ambar, menunggu perempuan berhijab biru itu menjawab pinangan dari Gus Fauzan. Hanya Roy yang membuang pandang karena hatinya tengah remuk redam menahan cemburu juga sakit yang teramat dahsyat. "Apa harus dijawab sekarang?" tanya Ambar dengan suara pelan, lebih tepatnya seperti orang sedang berbisik. "Nggak harus dijawab sekarang, kok, Dek. Tidak perlu grasa grusu mengambil keputusan. Pikirkan dulu masak-masak, karena adek berhak memilih juga boleh menolak pinangan dari saya. Iya nggak Roy?" sambung Gus Fauzan yang sejak tadi terus saja memamerkan senyum di depan semua orang. "Iya, betul!" Bibir plum milik Roy bergerak kaku juga bergetar saat menjawab ucapan Gus Fauzan, dan hatinya terus berharap kalau Ambar akan menolak lamaran tersebut meskipun sepertinya tidak mungk
Esok harinya, Ambar beserta keluarga mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Haris, memenuhi permintaan mantan suaminya yang sekarang sedang terbaring tidak berdaya karena sakit yang dia derita."Ma, Qila nunggu di sini saja ya? Mama sama Uti dan Abang saja yang masuk. Qila nggak mau." Tiba-tiba langkah putri bungsunya berderap kaku ketika sudah berada di lobi rumah sakit. Gurat ketakutan terpancar jelas di wajah cantiknya, akan tetapi berusaha dia sembunyikan di hadapan ibu serta sang nenek."Qila, Sayang. Papa itu kepengen ketemu sama kamu dan abang. Bukan sama Mama. Ayo, Nak. Kita masuk," bujuk Ambar sembari mengusap lembut kepala anak perempuannya yang dibalut hijab dengan warna senada seperti yang sedang dia kenakan."Tapi, Ma?""Nggak usah takut, Nak. Papa sudah berubah. Dia sudah kembali seperti papa yang dulu. Memangnya Qila nggak kangen sama papa? Nggak pengen peluk papa?" Gadis berusia sebelas tahun itu menggigit bibir bawahnya.