Share

10. Perhatian

Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.

-Levin-

Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan  bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin.

"Cari mati tuh anak," gumam salah seorang.

"Siapa?" tanya teman di sebelahnya.

"Temannya Sam."

"Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng gak jelas yang membuat temannya babak belur sampai masuk rumah sakit.

"Gak usah banyak bacot lo!" Levin mengeraskan rahangnya, matanya yang hitam menatap tajam cowok itu. Kedua tangan Levin terkepal erat, siap menghantamkan tinjunya ke rahang lawan.

"Santai Bro, tenang aja kita semua punya banyak waktu buat ladenin lo." Cowok itu tersenyum miring.

"Mana yang namanya Marcel!" bentak Levin, nada suaranya yang dingin terdengar menantang.

"Gue, kenapa?" Seorang cowok berambut merah menyala maju ke depan, ia sudah akan menerjang Levin tapi orang tadi menahannya. "Tom!" hardik Marcel tak terima.

"Selow Bro. Biar gue yang hadapi. Oke." Tomi melangkah maju menhampiri Levin. "Mending lo pergi, sebelum lo babak belur." Tom menepuk bahu Levin yang langsung ditepis.

"Gak, sebelum gue seret temen lo ke neraka!" sarkas Levin tanpa gentar sedikit pun meski dirinya kalah jumlah. Levin sendiri, sementara lawannya ada di kandang sekitar dua puluhan.

"Oke, lo yang minta cara ini." Tomi merenggengkan tangan dan lehernya sampai menimbulkan bunyi patahan, selanjutnya pertarungan antara Levin dan Tomi tak terelakkan.

Levin berhasil merobohkan pertahanan Tomi, ia langsung menerjang dan menduduki tubuh Tomi. Memberikan pukulan-pukulan di wajah Tomi sampai cowok itu kewalahan.

Marcel yang melihat Tomi nyaris sekarat langsung menerjang Levin, kini duel digantikan  Levin dan Marcel. Lagi-lagi Levin berhasil membuat Marcel tak sadarkan diri, tapi ia lupa jika lawannya masih tersisa banyak.

—————

Viona masih terjaga padahal waktu sudah menunjukkan jam tiga pagi. Matanya sama sekali tak bisa dipejamkan, setiap kali Vio memaksakan selalu muncul bayangan-bayang Levin di kepalanya.

Kata-kata Levin waktu di taman terus terngiang jelas di kepalanya, tatapan Levin yang sendu tak mampu Vio tepis dari kepalanya. Entah kenapa sikap Levin berubah tidak seperti sebelum-sebelumnya yang terkesan dingin  dan menyeramkan.

"Kenapa lo harus peduli sama gue? Gue bukan sodara lo, bukan temen lo. Gue cuma orang lain! Harusnya lo gak perlu peduli, bahkan bokap gue saja gak peduli sama gue! Lalu kenapa lo peduli?!" Tangisan Viona semakin kencang, ia sesegukan menyeka air matanya yang terus keluar tanpa bisa dicegah.

"Gimana gue bisa gak peduli sama lo, kalau lo satu-satunya orang yang menarik perhatian gue." Tangis Viona seketika terhenti, ia terdiam terbius oleh tatapan sendu Levin serta hangat tangan yang menangkup pipinya. "Gimana gue bisa pura-pura gak lihat lo, sementara mata gue terus tertuju ke lo. Seolah lo itu magnet buat gue, di mana pun lo berada hanya perlu sekali lihat gue langsung bisa ngenalin lo."

Bibir Vio kelu, ucapan Levin membuatnya tak berkutik. Ini terlalu tiba-tiba dan mengejutkannya. Vio terkesiap ketika Levin mengusap bawah matanya, menyeka sisa air mata di pelupuk mata.

Gedubrak!

Vio tersentak dari lamunannya ketika mendengar bunyi dentuman keras seperti benda terjatuh. Perasaan Vio tiba-tiba jadi was-was, ia yang penasaran memberanikan diri turun dari ranjang.

Vio melangkah dengan perasaan takut, memegang tongkat baseball untuk perlindungan diri. Vio membuka gorden dan pintu penghubung balkon, Vio melangkah keluar ketika ia menoleh mata Vio membulat lebar saat melihat seseorang meringkuk di bawah.

Siapa?

Vio yang ketakutan nekad menyentuh bahu orang itu dan terkejut saat orang itu mengangkat wajahnya yang penuh dengan luka dan lebam.

"Levin!" pekik Vio.

"Hai," sapa Levin, memaksakan senyumnya setengah meringis menahan perih di sudut bibirnya yang berdarah.

"Lo kenapa? Kok bisa begini?" Vio tampak panik, apalagi melihat baju putih Levin yang penuh dengan darah.

"Gue ... bisa obatin gue," pinta Levin.

Vio tidak menyahut, tapi ia segera beranjak masuk mengambil kotak p3k dan kembali duduk di depan Levin.

"Awww!" erang Levin ketika Vio mengobati sudut bibirnya.

"Sakit ya?" Vio meringis, melihat wajah tampan Levin penuh dengan luka dan lembam kebiruan. "Lo abis ngapain si? Tawuran?" tebak Vio. Levin menggeleng. "Terus?"

"Lo bisa diem gak, jangan bawel. Lo cantik kalau lagi diem."

Vio mendengus mendengar kata-kata Levin, disaat seperti ini bisa-bisanya Levin membuat hati Vio ketar-ketir. Mungkin karena Levin cowok pertama yang bilang Viona cantik.

"Dah, selesai." Vio sudah akan beranjak masuk untuk mengembalikan kotak p3k, tapi Levin menahan pergelangan tangannya. "Kenapa?" Vio menunduk, menatap Levin yang terduduk lemas.

"Duduk sini." Levin menepuk-nepuk tempat sebelahnya.

"Tapi———"

"Please," pinta Levin, tak tega menolak akhirnya Vio menurut duduk di samping Levin. "Gue ngantuk." Vio terkesiap ketika Levin tiba-tiba merebahkan kepalanya di paha Vio.

"Yaa!" Vio memekik tapi suaranya nyaris seperti bisikan. "Kalau ada yang lihat gimana?" bisik Vio, karena keduanya kini berada di balkon yang menghadap ke depan rumah.

"Gak akan ada yang lihat, orang-orang lagi pada tidur," jawab Levin, matanya mulai terpejam.

Vio mengembuskan  napas kasar, ia tak lagi protes dan membiarkan Levin tidur di pahanya. Vio menunduk memandangi Levin yang tampak tenang dalam tidurnya. Wajahnya terlihat sangat lelah. Sebenarnya apa yang dia lakukan? Vio penasaran dari mana Levin mendapatkan  luka-luka di wajahnya.

"Udah, ngeliatinnya?" Suara bass Levin mengagetkan Vio, apalagi Levin yang membuka perlahan kelopak matanya. Sontak saja membuat Vio melotot.

"Lo gak tidur?" Pipi Vio memerah, pasalnya ia baru saja kepergok memandangi wajah Levin. "Jadi dari tadi lo cuma pura-pura tidur?" Levin mengangguk.

Vio jelas gondok, tapi ia menelan kekesalannya ketika Levin mengusap bawah matanya. "Lo gak tidur ya?"

Vio tidak menjawab, ia justru memalingkan  wajahnya ke arah lain. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak karuan. Perasaan aneh itu lagi-lagi muncul tanpa bisa Vio tahan, bergejolak di dalam dada.

"Hey." Levin menangkup wajah Vio, memalingkan wajah Vio agar menatap dirinya. "Jangan siksa diri lo sendiri, jangan bebani pikiran lo dengan hal-hal gak berguna."

Gimana bisa, kalo yang jadi beban pikiran gue itu lo. Batin Vio tanpa berani mengucapkannya pada Levin.

"Gue gak papa kok, gue udah biasa insomnia." Vio menurunkan tangan Levin dari pipinya.

"Lo gak bisa tidur?" Vio mengangguk. "Mau gue tidurin?"

"Hah?" Vio menoleh matanya membulat dengan bola mata nyaris keluar. Kata-kata Levin terdengar ambigu, membuat pemberontakan pada dirinya.

"Maksud gue ...." Levin menyugar poninya ke belakang. "Mau gue bantu biar lo bisa tidur?" Levin tersenyum tipis, ia menarik kepala Vio agar tidur di pahanya. Bahkan sebelum Vio sempat menjawab. "Lo mau gue nyanyiin apa mau denger gue dongeng?"

"Emang bisa?" Vio meragukan Levin, ia tidak yakin Levin bisa melakukan dua hal itu.

"Butuh bukti?" Vio mengangguk, ia lantas mendongak, menatap wajah Levin dari bawah. "Oke, tapi kalo gue bisa gue minta hadiah."

"Hadiah?" beo Vio. "Apa?"

"Kiss," jawab Levin, menundukkan kepala hingga keduanya saling betatapan.

"Hah? Gak mau!" Vio refleks bangun tapi Levin menahannya dan menarik kembali tubuh Vio agar berbaring seperti tadi.

"Harus mau, lo gak punya pilihan." Vio mendengus, ia lupa jika Levin ini mahluk pemaksa. "Gue mulai nih."

"Hm." Vio memejamkan mata, menajamkan pendengarannya ketika Levin mulai bercerita. Suaranya yang khas begitu merdu menyapa gendang telinganya.

"Gadis itu dikurung di sebuah kastil, hidup sendiri tanpa tahu seperti apa dunia luar. Ia hanya bisa memandang anak-anak lain bermain kembang api, menatap mereka dengan wajahnya yang datar dan terkesan dingin. Dalam benaknya dia ingin sekali merasakan bagaimana senangnya memegang kembang api yang menyala, merasakan getar bahagia yang bergejolak dalam dada. tapi ...." Levin menunduk, melihat wajah Vio yang tampak tenang dengan dengkuran halus. Levin tersenyum tipis. "Gadis itu lebih memilih tidur dari pada ikut bermain kembang api."

Vio terusik ketika sinar matahari mengenai wajahnya, ditambah suara gedoran pintu yang memekakkan telinga. Matanya perlahan terbuka, Vio menggosok-gosok matanya, mengedarkan pandangan pada sekitar.

Vio menghela napas pendek. Sepertinya ia tertidur di balkon. Tapi di mana Levin? Vio seketika panik, ia beranjak bangun mencari-cari keberadaan Levin yang sudah tidak ada.

Ke mana dia? Pikir Vio.

"Vio!"

Vio mendengus, ia melangkah ke kamar dan membuka pintu. Keyla terkejut karena pintunya tiba-tiba terbuka dan Vio berdiri menatapnya dengan tatapan dingin.

"Em, kamu udah bangun?"

"Hm." Melihat wajah Keyla mengingatkannya pada kejadian kemarin. Vio berusaha menahan emosi di dalam dada, ingin sekali Vio berteriak dan memaki Keyla.

"Yaudah, buruan mandi udah ditungguin mama sama papa di bawah."

Vio tak menjawab, ia langsung menutup pintu tapi Keyla menahannya. Vio menaikkan sebelah alisnya, menatap Keyla dengan tatapan bertanya.

"Kamu baik-baik aja kan?" tanya Keyla terlihat agak ragu.

"Why?"

"Em ... gak kok, gak papa. Jangan lama-lama ya." Keyla berlari meninggalkan kamar Vio.

Vio mendengus, ia menutup pintu dengan kasar. Mata Vio terasa berat, rasa kantuk menyerangnya. Padahal ia sudah tidur dua jam. Vio memakai dasi, setelah itu meraih tasnya dan keluar.

"Viona." Panggilan papanya menghentikan langkah Vio yang baru sampai di ujung tangga. Vio menoleh tanpa bersuara. "Mau ke mana kamu?"

"Sekolah, memangnya ke mana lagi," jawab Vio sekenanya.

"Sarapan dulu," kata Papanya.

"Gak usah, aku gak laper. Lagian aku juga gak terbiasa sarapan." Vio kembali meneruskan langkahnya, tapi suara bariton papanya menginterupsi Vio.

"Viona! Kamu anggap apa kami hah?!" Papanya berdiri, matanya menatap tajam punggung Viona.

"Mas," tegur Lina.

"Diam Lina, ini sudah cukup keterlaluan. Dia bahkan tidak menghargai kita sebagai orangtuanya, lihat saja dia berangkat begitu aja tanpa pamit seolah-olah tidak ada orang di sini." Deru napas Dimas menggebu-gebu, amarahnya tak lagi terkontrol.

Viona mendengus geli. "Orangtua?" Vio memutar tubuhnya, menghadap papanya yang berada di meja makan. "Anda bilang orangtua?" ulang Vio.

"Anda? Lihat, dia sekarang memanggil papanya dengan sebutan Anda!" Dimas tak lagi bisa membendung kemarahannya lagi, Lina terus berusaha menenangkan Dimas agar tidak berbuat kasar ke Vio.

Vio tertawa sumbang, menunduk menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Vio berusaha meredam sakit di hatinya, meremas tangannya sendiri agar tetap kuat dan tangguh. "Bukannya anak Anda cuma Keyla. Bukankah Keyla satu-satunya putri Anda? Lalu kenapa Anda sekarang bersikap seolah-olah saya anak Anda?!" teriak Vio dengan lantang sampai membuat Dimas dan Lina tersentak, Keyla memejamkan mata ia menunduk di meja makan.

"Apa maksud kamu Vio?" tanya Lina, menatap sendu Vio.

"Anda pura-pura tidak tahu?" Vio berdecih. "Munafik!"

"Viona!" bentak Dimas. "Jaga sikap kamu, bagaimanapun dia mama kamu."

"Mama?" Vio tersenyum miring. "Sayangnya mama saya udah mati dan kalianlah penyebabnya!!"

Bagai dihantam petir di pagi hari, Dimas sangat kaget. Bagaimana mungkin Vio berpikiran seperti itu? Jangan-jangan Vio tahu semuanya. Dimas mulai resah.

"Apa kurang cukup Anda hancurkan hidup saya?" Vio memukul-mukul dadanya. "Sakit, sakit rasanya. Saya mungkin terbiasa tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian Anda. Tapi apa untuk sebuah pengakuan saja saya juga tidak pantas mendapatkannya?" Ucapan Vio seperti pisau tajam yang membelah hati Dimas, mengiris-iris hatinya jadi berkeping-keping.

Vio menghela napas panjang, menyeka air matanya. "Padahal secara hukum saya lebih pantas menyadang status itu, saya putri dari istri sah Anda. Bukan dia, anak dari seorang pelakor!" teriak Vio, tangannya menunjuk Keyla.

"Viona cukup!" bentak papanya.

"Pelakor?" beo Keyla, ia mengangkat wajahnya berbalik menatap Vio. "Apa yang kamu katakan Viona?"

Vio menatap lurus ke Keyla. "Gue yakin lo gak pernah ngelupain kejadian sepuluh tahun yang lalu, mimpi buruk yang selalu lo alami itu ingatan nyata sepuluh tahun yang lalu, bukan halusinasi seperti yang nyokap lo bilang!"

Dimas dan Lina melebarkan matanya, menatap Vio dan Keyla secara bergantian. Mereka masih tak percaya jika kejadian malang itu masih membekas pada Vio dan Keyla.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status