"I-ini kamu, Mas? Dengan siapa ini?" aku menunjukan HP kepada Mas Wisnu, masih berdering panggilan disana. Namun ketika akan aku geser tombol dial ternyata sudah lebih dulu mati, mungkin karena waktu tunggu habis.
"Sini!" Mas Wisnu merebut HP dengan kasar. Akupun sampai kaget dengan sikap Mas Wisnu yang tiba-tiba merebut HPnya.
"Jelaskan, Mas. Siapa dia? Siapa Nuri, nama yang tertera di sana?" selidikku dengan mata menatap penuh pada Mas Wisnu.
Dia masih bergeming, wajahnya menampakan kecemasan.
"Katakan, Mas!" bentakku, sungguh aku merasa emosi sekali, lagi-lagi harus di permainkan oleh suamiku sendiri. Lelah ya Allah ....
"Di-dia Nuri, dia itu keponakan jauh Ibu, Dek. Kami kecil bersama dulu, belum lama kita bertemu dan saat ketemu itulah aku gendong anaknya dan dia minta foto. Ya ... Mungkin untuk mengobati rindu dia ... dia ... Memasangnya untuk foto profilnya." Mas Wisnu pandai sekali berkelit. Sungguh, aku tak menyangka jika suamiku yang aku kenal selama ini sangat pandai berakting.
Benar saja, pekerjaanya sebagai staf marketing sangat lihai ia tekuni, ternyata karena ia pandai merayu dan juga memanipulasi keadaan. Sungguh! Selama ini kukira rayuannya kepadaku hanya untukku, aku selalu merasa terbang keawang-awang ketika kata cinta selalu meluncur dari mulutnya.
"Sekarang juga keluar dari rumah ini, Mas!" aku kembali berusaha mengusirnya, rasanya tak ada lagi keraguan dalam diriku untuk membuang laki-laki macam dia.
"Dek, ayolah ... Tak perlu semarah itu, kesalahanku tidak fatal, kenapa kamu masih saja ngambek sampai sebegitunya. Aku sudah tak berhubungan lagi dengan Wina, nomornya sudah kublokir dan Wina juga sudah mendapat hukuman dengan dipecat dari pekerjaannya. Apa itu belum puas?"
"Ya, aku belum puas kalau kamu juga belum di hukum, aku kira masih mempertahankan kamu untuk bekerja, meminta Bang Ridho untuk tak memecatmu namun sepertinya aku berubah pikiran dan mungkin kamu besok akan langsung menerima surat pemecatanmu!"
"Dek! Jangan lakukan itu, aku suamimu. Kalau aku di pecat secara tak hormat, kamu juga yang malu, Dek!"
"Suami ... Suami macam apa kamu? Selama ini aku terima kamu apa adanya, bahkan aku biayai kamu untuk bergaya dan tampil modis. Nyatanya semua itu kamu manfaatkan untuk menyenangkan wanita lain yang bukan istrimu. Bahkan kamu mencuri perhiasanku untuk diberikan kepada wanita lain! Aku sakit hati, Mas!" emosiku sudah sampai puncaknya.
"Dek ...." dia berusaha mendekat. Aku memilih mundur, aku tak ingin dia menenangkanku dengan peluknya dan merayuku untuk kembali luruh.
"Pergi dari sini!" kutunjuk tanganku kearah pintu. Seketika dia yang akan mendekat segera berhenti.
"Kamu jahat, Dek! Kamu berubah, bukan Ainun yang kukenal dulu, lembut dan perhatian."
Apa katanya, aku bukan seperti dulu, bukankah semua itu karena kelakuannya. Kalau dia tak main hati, tak mungkin aku berubah menjadi singa yang siap menerkam. Semua karena ulahnya. Bahkan semut yang kecil saja akan mengigit jika terinjak.
"Jangan salahkan aku, Mas! Aku seperti ini karena kamu! Kamu ...!" kutunjuk dengan jariku, "PERGI!"
Akhirnya Mas Wisnu mengalah, ia berjalan pelan menuju kopernya. Nafasku masih kembang kempis, seperti seseorang yang habis lari maraton lima kilometer.
"Papah ...," teriak Aira dari dalam, bocah itu berlari girang kearah Mas Wisnu.
Gawat, kalau Aira datang pasti Mas Wisnu tak diperbolehkan pergi dan jika ia tahu kalau Papa-nya pergi pasti dia terluka.
"Aira ... Aira main di kamar saja ya! Papa capek baru pulang kerja." Aku berusaha menangkap Aira yang tengah akan mendekat pada Mas Wisnu.
Ia meronta, "Aira mau peluk Papa, Ma!"
"Sini, Sayang." Mas Wisnu berusaha mencari kesempatan. Aku yakin dia akan mengunakan Aira untuk menahannya agar tetap disini.
Anak kecil itupun kembali lari kearah Papanya. Dia memeluk Papanya erat, menumpahkan rindunya. Ah! Kalau sudah begini pemandangannya aku jadi mellow. Kuseka sudut mataku, agar air mata ini tak tumpah, aku tak ingin terlihat lemah dihadapan Mas Wisnu. Aku bukan wanita cengeng yang hanya dapat menangis ketika mengetahui suaminya memiliki WIL lain.
"Pa, ayo main sama Aira, Aira kangen main sama Papa."
"Ayuk, Sayang. Papa juga kangen sama anak papa yang cantik ini." Mas Wisnu mengecup lembut pipi Aira, kemudian melirik kearahku penuh kemenangan. Aku melegos. Rasanya tak sanggup kalau harus berhubungan dengan Aira.
"Pah, Aira ambil mainan dulu." bocah itu merosot dari gendongan papanya.
"Iya, Sayang. Pergilah ambil!" seketika Aira lari kedalam.
Mas Wisnu menatapku, seolah merasa menang atas apa yang baru saja terjadi.
"Kamu boleh tinggal disini selama kita belum resmi bercerai tapi kamarmu di kamar tamu!" kutunjuk kamar yang tepat berada disamping ruang tamu.
"Dan lagi tak ada kontak apapun. Jangan harap aku memperlakukan kamu seperti dulu. Sekarang kita hanya orang asing yang hidup satu atap karena masih menyandang status saja. Ingat itu!"
"Tapi, Dek!" dia protes ketika aku akan pergi meninggalkannya.
"Apa?"
"Di kamar tamu kan tak ada Ace, panas."
"Ada kipas angin, tak usah manja. Palingan habis keluar dari sini juga tidur pake Ace alami!" aku tersenyum lalu meninggalkannya.
Kuraih HP di meja nakas kamar, kulihat ada notifikasi.
"Dari Wina?" langsung kubuka W* dari Wina tenyata dia mengabarkan kalau dia sudah tahu dimana wanita yang pernah VC dengan Mas Wisnu. Aku memang sengaja menyuruh Wina untuk mencari tahu sebagai penebus kesalahannya. Dia menangis karena kehilangan pekerjaannya yang ternyata dia tulang pungung keluarga. Aku kasian padanya walau hati ini sakit bila mengingat dia telah berselingkuh dengan suamiku. Namun sisi kemanusiaanku bergelonjak.
Kuajukan syarat jika ia ingin bekerja lagi walau mungkin bukan sebagai sekretaris lagi.
[Baik, Terima kasih infonya. Besok siang kita bertemu.]
Besok aku akan tahu siapa itu wanita yang diberi nama Nuri oleh Mas Wisnu diponselnya.
===!?!===
Aku harus tau sebenar-benarnya siapa mereka. Aku tak suka jika hanya praduga, pokoknya aku harus benar-benar tahu ada hubungan apa mereka dengan Mas Wisnu. Apa benar yang di katakan Mas Wisnu bahwa mereka itu saudara sepupu. Aku akan tanya pada Ibu Mertua, benarkah Mas Wisnu punya saudara jauh? Aku juga harus punya foto mereka, agar mudah menunjukan pada Ibu.[Win, aku minta kamu bisa dapatkan foto wanita itu!] kembali kukirim WA pada Wina.Dia pasti akan mencarinya, aku tak tahu bagaimana caranya. Namun nyatanya ia begitu cepat menemukan titik terang tentang wanita itu jadi aku tak ragukan kemampuannya untuk menjadi detektif. Masalah hubungannya dengan Mas Wisnu, aku tak peduli. Kiranya aku sudah memberi pelajaran yang akan ia ingat selamanya. Pasti akan perfikir dua kali untuk kembali berurusan dengan aku. Bisa-bisa ia tak akan bisa beli makanan untuk dirinya sendiri."Hufh ... Ainun di lawan, Aku tak akan bar-ba
Aroma minyak angin menyeruak, aku merasa kepalaku berat sekali, kubuka mata berlahan. Kulihat Dokter Luna, Bik Uni dan Bang Ridho berdiri tak jauh dari saat aku berbaring.Apa aku pingsan!"Syukurlah kamu sudah sadar, Nun." Bang Ridho berkata dengan tersenyum."Aku kenapa?" tanyaku pada mereka."Ibu hanya tertekan dan stres. Ibu ngga papa, sebaiknya kalau ada suatu masalah lebih baik diselesaikan jangan sampai seperti ini. Tak baik untuk kesehatan. Saya kasih resep vitamin. Nanti ditebus ya!"Aku mengangguk, dokter pamit dan diantar Bik Uni keluar. Aku berusaha duduk."Kamu kenapa si? Sebaiknya kalau memang kamu merasa sakit, menangislah! Menangis bukan berarti cengeng, namun itu lebih baik untuk mengurangi sakitmu. Jangan kamu tekan yang berefek pada kesehatan."Aku hanya tersenyum kecut,"mungkin aku hanya butuh refresing, Bang. Biar ota
"Ini beberapa foto dia, Bu." Wina menunjukan beberapa foto Lastri yang tampak sendiri.Tunggu!"Coba kamu zoom, perbesar gambarnya!" aku melihat dengan segsama, sebuah foto Lastri yang tengah duduk pada sebuah kursi dengan meja didepannya.Benar, ini tak salah lagi, dia berada di Rumah makanku. Rumah Makan Sari Rasa, cabang parahyangan. Walau aku lama tak kesana, namun tak pangkling dengan dekorasi tempatnya. Rumah makan bernuansa pedesaan dengan bambu sebagai ciri khas Rumah makanku itu.Rumah makan yang kurintis sejak tujuh tahun yang lalu, saat kami belum lama menikah, Mas Wisnu yang masih bekerja sebagai supir pribadi membuat aku yang notaben-nya sarjana. Memilih merintis usaha kuliner karena hobiku yang suka memasak dan berkuliner, di samping itu juga turunan dari orang tuaku yang senang berbisnis dari pada harus bekerja pada orang lain."Setinggi apapun jabatanmu di mana be
Siapkan air es disamping kamu untuk baca part ini, takutnya dari telinga keluar asap dan terjadi hal yang tak diinginkan ... Kabur, ah othornya.Selamat membacaPoV Wisnu.Sial! Gara-gara aku salah kirim WA untuk Wina terkirim ke Ainun. Sekarang berbuntut panjang. Ainun yang dulu percaya aku seratus persen kini mulai menaruh kecurigaan. Terlebih dia memergoki aku tengah makan dengan Wina.Gadis perawan yang bekerja sebagai sekretaris di Perusahaanku bekerja. Aku yang hanya staf marketing, berhasil membuatnya berbunga-bunga. Kemewahan tentunya yang membuatnya tahluk, namun sayang baru akan berjanji untuk menikahinya tahun depan. Hubungan kita sudah lebih dulu terkuak, bahkan sekarang dia di pecat. Kasian tentunya, tapi aku bersyukur karena posisiku aman. Aku masih punya Wina-Wina yang lain. Ada juga Lastri yang telah aku nikahi secara agama hampir empat tahun yang lalu.Beruntung
Dia pikir aku mudah tertipu, aku memang dulu sangat mempercayainya. Namun sekali ia berkhianat, aku tak akan percaya lagi. Terlebih ini sudah sangat mencurigakan. Ibu berkata sendiri kalau jatah bulanannya hanya tiga juta.Gila dia! Tega-teganya mengurangi jatah ibunya sendiri, sedangkan dia tahu bagaimana kondisi ibunya.Kulirik dia saat mengemudi mobil, ada raut kepanikan, setelah tadi aku paksa dia tanpa alasan. Yah ... Lucu saja! Pura-pura sakit perut saat akan di ajak kerumah ibu, sebelumnya baik-baik saja.Keringat sebesar jagung banyak berada di keningnya. Aneh!"Kenapa, Mas? Kok keringetan gitu?" tanyaku penasaran melihat ia yang begitu kegerahan. Bahkan sekali-kali menarik kerah bajunya."Ngga tau, Dek! Entah kenapa cuaca hari ini begitu panas. Bahkan Ace mobil saja kalah."Aku membelalakan mata, Ace yang begitu dingin dia bilang kalah.
"Sudah ya, Nduk. Semua sudah kelar, Wisnu sudah mengakui ke khilafannya jadi sekarang tak ada masalah yang serius," ibu tersenyum sambil mengusuk punggungku,"Ibu laper, yuk kita makan?"Aku beranjak berdiri, aku tak mampu berargumen dengan Ibu, terlebih aku belum mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan siapa Nuri sebenarnya."Baik, Bu. Aku siapkan dulu." aku melangkah menuju keruang makan, menyajikan apa yang telah kubeli sebelum kesini. Ayam rica-rica selalu kubawakan untuknya. Itu kesukaan Ibu. Saat menuang ayam rica-rica itu pada mangkuk, hatiku terongok sakit, tiba-tiba ingat Ibu Mertua yang tadi berbohong tentang Nuri. Sungguh aku tak menyangka, selama ini dia baik dan terbuka kenapa sekarang menutupi kelakuan anaknya yang salah?"Jangan macam-macam, kalau kamu tak ingin kenyamanan selama ini hilang." kata-kata Ibu Mertua yang dikhususkan untuk anaknya itu tak sengaja kudengar saat aku akan memanggil mereka untu
"Pagi, Ma," sapa Aira yang tengah sarapan ditemani Bik Uni."Pagi juga, Aira." kucium kening Aira lembut. Kemudian duduk dan mengambil sarapan. Tak kulihat cucunguk itu duduk ikut sarapan. Kemana dia? Pergi kah? Bagus deh kalau ia sadar diri dan memilih keluar tanpa aku usir."Mas Wisnu ngga pulang, Bik?" tanyaku meyakinkan jika Buaya buntung itu benar-benar tak pulang."Pulang, Non. Tadi pagi jam empat subuh." bisik Bik Uni padaku, "mungkin sekarang sedang tidur.""Ohh .... " hanya itu yang keluar dari mulutku, kukira ngga pulang. Terus dari mana dia? Apa melanjutkan berkencan dengan wanita kemarin? Ah, sudahlah. Kenapa aku harus memikirkan itu. Fokusku sekarang menyelamatkan asetku dan kemudian mengurus perceraian. Sudah! Aku akan hidup tenang tanpa benalu yang tak tahu diri."Ma, hari ini aku dianter mama kan?""Iya, Sayang. Ya sudah tunggu di mobil
Aku memilih duduk pojok depan, sengaja agar dapat mengawasi situasi. Lalu lalang para pegawai yang sibuk melayani pembeli. Kuhitung sekitar ada empat orang termasuk yang satu duduk dibagian keuangan. Dia terlihat santai dalam bekerja, tak seperti yang lain yang tetap fokus. Bahkan satu kakinya ia angkat."Mbak, saya ikut duduk di sini agak lama ya?" kataku pada seorang yang tengah membereskan meja di sebelahku. Aku juga menyodorkan piring bekas makanku."Baik, Mbak. Sikahkan.""Saya pesen coffelatte satu ya, Mbak." pelayan mengangguk kemudian berlalu untuk mengambilkan pesananku.Tak berapa lama pesanan itu datang, "Silahkan, Mbak.""Terima kasih, saya minta bil-nya. Takut nanti saya pergi tergesa-gesa." ia mengangguk, kemudian kembali kemeja kasir.Kukeluarkan uang pecahan seratus ribu dua lembar. "Kembalinya ambil saja!"Pelayan memgang