"Hai Mentari, mau bareng?" Sapa sebuah suara saat aku melangkahkan di trotoar menuju halte busway."Eh mas Rayyan, saya biasa naik busway, mas. Terimakasih," sahutku sambil tersenyum. Pria yang menyapaku adalah Staff HRD yang waktu itu menghubungiku untuk kembali bekerja di kantor ini. Sehari-hari dia mengendarai motor untuk pulang dan pergi ke kantor. Pria itu terus mengikuti diriku yang berjalan kaki dengan menjalankan motornya secara perlahan."Ayolah, Mentari. Kita searah kok," ucapnya lagi."Darimana mas Ray tahu jika kita searah?" tanyaku sambil menghentikan langkah."Aku beberapa kali melihatmu di dalam bus yang tujuannya ke arah kosanku. Jadi aku pikir kita searah, untuk memastikan lebih baik kita jalan bersama." "Berarti belum pasti searah. Lebih baik mas Ray jalan duluan daripada harus mengantarkanku terlebih dahulu," ucapku sambil tersenyum. Aku kembali melangkah menuju ke halte, tidak ingin merepotkan orang lain. Namun lelaki yang usianya tidak jauh beda denganku itu te
Siang ini seperti biasanya aku dan Mbak Aira akan menghabiskan waktu bersama dengan salat dan makan. Mas Rayyan masih suka mengajakku pulang pergi bersama meskipun aku berusaha menghindarinya sebisa mungkin. Jujur saja aku tidak percaya diri jika harus dekat dengan laki-laki itu. "Boleh duduk disini," sapa seseorang laki-laki. Aku dan Mbak Aira yang sedang asyik menyantap makanan siang, refleks mendongak dan menatap kearah sumber suara. "Boleh dong Ray, duduklah," ucap Mbak Aira mempersilahkan pria itu duduk diantara kami. Setelah mengucapkan terima kasih, mas Rayyan duduk diantara kami berdua. Dia juga sudah membawa sepiring nasi berserta lauknya dengan lengkap. "Kalian sering pulang pergi bersama?" tanya mbak Aira memecah keheningan diantara kami. "Kalau ada kesempatan saja sih mbak? Mentari sepertinya selalu berusaha menghindari saya," jawab Mas Rayyan sambil menatapku. "Tidak mas, kadang saya memang harus pulang terlambat dan berangkat lebih pagi," sahutku beralasan. "Mema
"Mentari ...." Panggilan itu membuatku tersadar dari lamunan. "I-iya mas," jawabku tergagap. "Bagaimana, bolehkah aku mengenalmu lebih dekat?" tanyanya lagi. "Aku, aku tidak tahu mas. Aku tidak mengerti maksudmu, kita kan sudah saling mengenal selama ini," jawabku asal. Pria di sampingku itu menghela nafas panjang, mungkin dia gemas dengan kepura-puraanku."Selama ini kita hanya saling mengenal sebagai rekan kerja, aku ingin mengenal lebih dari itu. Baiklah jika begitu, maukah kamu menjadi kekasihku aku ingin mengenalmu lebih dekat dan akan menikahimu jika kita saling cocok. Apa kamu mengerti jika aku mengatakan yang seperti ini?" Kali ini perkataan Mas Rayan terdengar lugas dan sangat jelas menjadi kekasih lalu menikah sekarang aku tidak bisa berpura-pura tidak mengetahui maksudnya."Aku aku tidak pantas untukmu Mas," lirihku.Terdengar decakan dari mulut Mas Rayan. "Alasan itu terdengar klise, Mentari. Aku tidak dak pantas untukmu, kamu terlalu baik dan lain sebagainya Itu hany
"Kenapa orang tuamu memberi nama Mentari?" tanya mas Rayyan sore itu. Seperti biasa, kami akan menghabisi waktu bersama di taman kota setelah pulang kerja dihari Sabtu. Hubungan kami sudah berjalan selama satu bulan, selama itu kami pulang pergi bersama. Kadang kala pria itu mampir ke kosanku saat kami pulang kerja bersama untuk mencoba masakanku. Di kosan itu tidak ada larangan teman pria datang, dengan syarat tidak lewat jam malam dan tidak menutup pintu kamar jika ada tamu datang. Hanya jika hari Sabtu saja kami pergi keluar agar tidak kemalaman saat pulang. Kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama di taman, dan tempat terbuka lainnya. Menghindari hal-hal yang mungkin terjadi seperti waktu lalu saat hujan turun dengan deras. Mungkin aku memang bukan wanita yang baik dan sudah pernah melakukan hubungan badan berkali-kali, tapi aku tidak ingin membuat mas Rayyan terjerumus melakukannya denganku."Ibu bilang agar aku menjadi wanita yang bersinar seperti Mentari. Tapi sepertinya
Aku masih terus berusaha mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mas Rayyan tentang masa laluku menjadi wanita simpanan, sebelum Pak Bagas yang akan mengatakannya entah dengan cara bagaimana. Namun sepertinya waktu tidak berpihak padaku, baik Mas Rayyan maupun aku sangat sibuk menjelang akhir tahun seperti ini. Bahkan mas Rayyan sering kali lembur dan kami tidak bisa pulang bersama, tidak juga punya waktu untuk pergi berdua di hari Sabtu seperti biasanya. "Maaf ya, kita gak bisa pulang bareng beberapa hari ini. Mas masih sibuk," ucapnya siang itu saat makan bersama. Kami hanya makan berdua saja, mbak Aira sedang keluar kantor bersama atasan kami. "Tidak apa-apa mas, kamu fokuslah bekerja. Aku tahu semua orang sibuk saat ini termasuk aku," jawabku sambil tersenyum. "Setelah ini kita bisa libur bersama," ucapnya sambil tersenyum padaku. "Aku tidak sabar ingin bertemu dengan ibumu," lanjutnya lagi. Aku tersenyum getir mendengar perkataannya, membayangkan sebuah kekecewaan y
Aku terbangun disebuah kamar dengan cat berwarna putih tulang. Mataku segera memindai ruangan, disampingku tampak tertidur dengan pulas pria yang tadi membawakan, Pak Bagas. Dengan panik segera kubuka selimut yang menutupi tubuhku, aku menarik nafas lega saat melihat pakaianku masih melekat dengan lengkap dibadanku. Perlahan aku membalikkan tubuhku, tertidur miring dan menghadap pada Pak Bagas yang matanya terpejam, seakan-akan tak punya beban setelah membuat hidupku dalam kekacauan.Dia pria yang tampan dan mapan, tapi sudah beristri. Lagi pula kemapanannya karena keluarga isterinya itu. Andai saja dia belum beristri, mungkin saja aku akan jatuh hati padanya. Selama ini dia memperlakukan diriku dengan baik, meksipun dia membayar tubuhku. Aku dikejar-kejar oleh pria beristri tapi dicampakkan oleh pria lajang. Apa takdirku hanya akan menjadi wanita simpanan, wanita ke-dua, atau wanita penggoda. Tidak, aku tidak akan terjebak lagi dengan situasi seperti itu. Jika tidak ada laki-laki l
Dengan geram aku mendorong tubuh Pak Bagas hingga terpental menjauhiku. "Plakk, plakk!" Dua tamparan mendarat dipipi pria itu kanan dan kiri. Pak Bagas terlihat shock dan terdiam dengan apa yang aku lakukan padanya. Tangannya memegangi pipinya yang mungkin saja terasa sakit. Aku pun tidak menyangka dengan reaksiku baru saja. Ya Allah aku menampar pria itu, ibu bilang semarah apapun jangan pernah mendaratkan pukulan pada wajah seseorang. Wajah adalah bagian tubuh yang dimuliakan, jika hendak memukul pilihlah bagian tubuh yang lain. "Ma-maaf," lirihku. "Aku akan turun disini." Saat aku hendak membuka pintu mobil lagi-lagi pria itu menarik tubuhku, membawaku dalam dekapannya. "Aku yang harusnya minta maaf. Lakukan apapun padaku, kamu boleh memukulku dan meluapkan amarahmu tapi jangan menangis. Aku tidak suka melihatnya, aku juga sedih jika melihatmu seperti ini." Aku malah semakin ingin menangis, meluapkan semua beban yang ada didalam hatiku. Badanku terguncang dalam dekapannya,
"Kamu ikut denganku karena pria itu?" tanya Pak Bagas. "Apa perlu aku jawab?" Aku balik bertanya."Sampai kapan kamu akan memikirkan pria itu, Mentari?""Aku sudah melupakannya." Kami sama-sama terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing sambil menatap jalanan yang semakin padat merayap. Hari ini memang beberapa karyawan pulang lebih telat dari biasanya, aku sendiri pulang setelah salat Ashar. "Kita mau kemana Pak?" tanyaku memecah keheningan. "Bagaimanapun jika makan malam, sudah lama aku tidak pernah makan denganmu." Aku tidak menanggapi ucapan Pak Bagas, biarlah jika pria ini ingin mengajakku makan malam. "Pak, mampir dulu ke masjid didepan itu," ucapku menunjuk bangunan masjid dengan cat warna hijau muda. "Ngapain?" tanyanya seakan tidak mengerti. "Bentar lagi Maghrib, lebih baik kita nunggu Maghrib di tempat itu dulu," jawabku datar. Orang ke masjid ya untuk salat, gak mungkin mau belanja. Begitu saja pakai tanya. Saat ini, aku mulai rajin kembali kewajiban lima waktu. J