“Iya Jang, sengaja si Ibu minta pulang duluan. Soalnya ada hajatan di Kampung sebelah, Katanya ada dangdut sama wayang golek,” Kata Pak Asep.
“Hajatan siapa pak?” Kataku
“Itu anaknya ketua Kampung, si Rani nikah sama orang Kota. Hajat gede-gedean Jang, siangnya pengajian, sore nya dangdut, malamnya wayang golek,” Katanya sembari bersemangat.
“Ya sudah atuh ya, mau lanjut jalan, kasian si Ibu sudah nungguin," Katanya sembari melambaikan tangan.
Aku yang sedang duduk di depan warung membalas Pak Asep itu dengan melambaikan tanganku, dia mempercepat langkah kakinya untuk segera pulang ke rumah, mengabaikan panas terik di siang itu yang menyentuh kulitnya. Tujuannya hanya satu, agar segera menemui istrinya dan berganti baju dengan baju yang bagus, juga mengajak anak-anaknya
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia Warung Tengah Malam. Untuk hari sabtu dan minggu apabila ada keterlambatan dalam mengupload bab terbaru mohon di maklum. jangan lupa tetap vote dan komen supaya saya masih tetap semangat upload bab-bab terbaru ya terima kasih
“Mat, beneran jalanya ke sini? ” Kata Mang Nandi sembari memperhatikan jalan yang gelap di depannya. “Bener Mang, jalannya kesini. Menurut info sih memang jalanannya memutar kalau pake mobil, soalnya kalau pake jalan utama harus lewat gang, kalau lewat gang kan mobil gak bisa masuk, ” Kata Mamat meyakinkan Mang Nandi. “Tapi kok serem ya Mat jalanannya? ” Kata Mang Nandi. “Namanya juga di Kampung Mang, wajar kalau serem. Paling ntar tiba-tiba nongol pocong di depan hehe,” Kata Mamat sembari bercanda. “Huss, jangan bercanda ah. Nanti kalau muncul beneran gimana? ” Katanya sembari ketakutan. Mobil mereka melaju di jalanan yang gelap, jalanan yang berbatu dan berdebu. Juga kerikil-kerikil kecil yang sering kali membuat mobil mereka terhenti, dan sering kali Mamat harus turun dan mendorong mobilnya agar bisa melaju kembali. Jalanan yang mereka lalui memang menyeramkan di sisi kanan jalan membenta
Ting nang ning nung....Ting nang ning nung....Suara galeman yang merdu dari kebun terdengar hingga depan warung tempatku berdiri, juga cahaya-cahaya merah yang muncul dan terlihat dari sela-sela pepohonan di kebun tersebut kini semakin banyak. Sepertinya selain di Kampung Parigi, para makhluk yang berada di sekitar Kampung dan Gunung Sepuh juga berpesta pora di sana.Bukan tanpa alasan, sepertinya memang adalah hal yang disengaja. Biasanya sudah menjadi tradisi bagi masyarakat di Kampung-kampung untuk memindahkan para makhluk yang berdiam diri di suatu tempat ke tempat lain, ketika di tempat itu akan diadakan suatu hajatan atau acara yang melibatkan banyak orang.Masih banyak orang yang percaya, bahwa ketika hajatan atau acara besar di gelar. Itu bisa menganggu para makhluk yang sudah lama berdiam di sana, sehingga seringkali mereka akan menganggu jalannya acara.Banyak kejadian, ketika seseorang mengadakan hajatan di Kampung dan tidak melakukan
Suasana kini hening, setelah Mamat terdiam akibat melihat sesosok nenek yang melambaikan tangannya, secara tidak langsung mengartikan melarang mereka melanjutkan perjalanan yang dia tempuh. Tapi Mamat tidak mengerti maksud dari nenek itu, dia hanya diam saja. Mang Nandi juga sama, dia lebih memilih untuk terdiam setelah Mamat merasakan ketakutan dalam dirinya, namun Mang Nandi masih berpikir positif atas apa yang Mamat lihat. Bukan tidak mungkin mereka bertemu dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di pinggir jalan, mengingat ini adalah jalan pegunungan yang sangat sepi apabila dilewati di malam hari. Mobil mereka pun terus melaju, menghempaskan kerikil-kerikil kecil yang berserakan di jalanan yang berbatu dan suasana yang begitu gelap gulita membuat roda mobil beberapa kali salip di lubang yang ada di jalan. Namun kini pepohonan dan kebun teh sudah tidak nampak lagi, yang ada kini hanya hamparan sawah yang membentang di kedua sisi jalanan itu. Yang menan
Wanita itu tersenyum, mendengar perkataan dari sosok yang tinggi besar itu. senyumannya yang anggun membuat kecantikannya semakin bertambah. “Tidak perlu repot-repot, aku sekarang tidak meminta hal-hal seperti itu lagi. Meskipun para manusia memberikan sesaji setiap tahun, tapi itu hanya sebagai sedekah bumi. Sebagai timbal balik atas keselamatan mereka ketika mereka pergi berlayar melewati tempatku berdiam diri di lautan lepas. ” “Aku sudah tidak lagi melakukan perjanjian yang mengorbankan manusia seperti itu, kita sudah melakukan kerja sama tanpa suatu ikatan antara dua alam, saling menjaga dan saling menghormati satu sama lain.” Wanita itu berbicara dengan sangat lembut kepada salah satu sosok yang ada di sana, tampaknya sosok tersebut tertawa, perutnya bergetar saking kerasnya dia tertawa di depan wanita itu. Namun wanita itu tidak bergeming. Dia masih mempertahankan keanggunanannya meskipun di depannya terdapat suatu sosok yang tinggi besar dengan tawa y
Hah hah hah “Kita harus lari ke mana lagi Mang, kita salah masuk, meskipun kita melihat mereka semua dalam bentuk manusia, namun sepertinya mereka bukan manusia Mang,” kata Mamat sembari berlari. “Iya Mat, terdengar aneh apabila mereka berbicara tentang manusia, darah ayam, darah kambing, juga obrolan mereka yang seolah-olah menjadikan manusia sebagai tumbal dan makanan mereka. ” Ternyata Mang Nandi dan Mamat sudah melarikan diri dari keramaian tersebut, setelah mendengar percakapan antara Kala dan Nyi Ratu yang terdengar oleh mereka ketika sedang menyiapkan barang-barang untuk mereka jual. Mamat dan Mang Nandi seketika berlari keluar, namun stan-stan ini menjadi seperti labirin yang tidak bisa membuatnya keluar dari tempat tersebut. Padahal dia yakin sekali, bahwa dia berlari ke arah jalan
Wanita itu tersenyum, dia berjalan melewatiku yang sedang terdiam dan tak bergerak akibat melihat perubahan yang terjadi di depan warung. Secara tiba-tiba muncul kereta kencana yang entah darimana datangnya. Terdengar sebuah suara kereta kencana yang tiba-tiba muncul dari arah Gunung Sepuh, kereta kencana yang dia tumpangi sebelumnya ketika dia datang kesini. Kereta kencana itu datang dan berhenti tepat di depan warung. Dia kemudian berjalan mendekati kereta kencana sembari dikawal oleh beberapa pengawal yang entah darimana datangnya. Dia kemudian naik dan tersenyum pada ku untuk yang terakhir kali, dan dia sempat berkata. “Ketika kamu tidak kuat dan berusaha untuk menghindari apa yang menjadi takdirmu selama ini, maka kamu bisa pergi, bersama keluargamu ke
Aku sontak terdiam melihat Kala berbicara bahwa dirinya adalah makhluk yang melakukan perjanjian dengan leluhurnya dahulu. Sesosok Makhluk yang selama ini dicari-cari oleh Bapak dan Kakek serta Kakek Buyutku karena sebuah tulisan dari Ki Wisesa pada sebuah foto yang diturunkan turun temurun. Makhluk tersebut kini hadir, tepat tak jauh dari tempatku berdiri. Dia datang dengan santainya dan tersenyum kepadaku dengan wajahnya yang mengerikan, terlihat giginya yang tajam serta kulitnya yang berwarna hijau gelap. Makhluk itu adalah mahluk memanipulasi perjanjian dengan leluhurku, sehingga keluargaku harus membuat warung dan melayani mereka hingga saat ini, dan kini dia datang dan menyapaku. “Hanya kamu dan Ki Wisesa yang sudah bertemu dengan ku Jang, suatu kehormatan bagi dirimu untuk bertemu Kala yang agung ini, Kake
Dalam filosofi bahasa sunda terdapat tiga alam yang hidup secara berdampingan satu sama lain. Yang biasa kita sebut sebagai Triloka. Biasanya kata triloka ini merujuk pada pertunjukan wayang golek yang para pemainya terdiri dari tiga alam yang berbeda yang saling berdampingan satu sama lain.Dalam kisah wayang golek tersebut, alam tempat kita berpijak, tempat kita mencari nafkah dan tempat kita untuk hidup dan akhirnya meninggal itu disebut Alam Marcapada. Yang berarti, Ujang dan para warga yang tinggal di Kampung Sepuh berada di alam Marcapada.Sedangkan untuk para makhluk yang datang ke warung, dan tinggal di Gunung Sepuh, dalam kisah wayang golek disebut Alam Mayapada. Sebuah alam ghaib tempat tinggal para makhluk halus.Juga ada satu lagi tempat yang dihuni oleh sosok Batara Guru, yaitu Sawarga Maniloka. Tempat