Saat aku berkata "terserah kalian saja", Ayah dan Ibu akan benar-benar melakukan apa pun yang mereka ingin aku lakukan. Mereka tak pernah mengerti bahwa di balik kata terserah yang kulontarkan, tersembunyi makna "aku ingin didengarkan".
Namun, aku tak menyangka Kakek juga akan berlaku sama seperti Ayah dan Ibu.
Seringnya aku curhat kepada Kakek lewat telepon sebelum datang ke sini, dan betapa beliau kedengaran sebal serta selalu menghiburku, aku seperti punya pemikiran bahwa Kakek tak akan tega membatasi ruang gerakku. Nyatanya, aku salah.
Keesokan hari setelah malam itu, Kakek memperingatkan aku untuk tidak keluar rumah sedikit pun. Ia berangkat jam tujuh pagi untuk pergi ke sekolah sebagai seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP.
Sebelum berangkat, ia dengan sangat jelas menyatakan, “Aku akan mengurus semua kebutuhan homeschooling kamu nanti. Diam saja di rumah. Kalau perlu apa-apa, beli saja lewat online. Atau kau bisa titip padaku.”
Karena aku dalam fase frustrasi tingkat neraka, maka kuabaikan saja dia dengan tetap memelototi televisi di ruang keluarga. Saat mobilnya menderum pergi meninggalkan bagasi, mataku sudah berair saking tak maunya terpejam.
Aku mengucek mata, lalu beranjak terburu-buru. Semua jendela memiliki terali tebal, jadi tak mungkin aku memotongnya hanya menggunakan tang murahan. Lagipula, Kakek akan tahu nanti.
Aku menggoncang-goncang pintu depan dengan marah saat menyadari bahwa ia terkunci dari luar. Aku mengubek-ubek semua laci di rumah ini dan tetap tak menemukan kunci serep sama sekali. Yang kutemukan cuma kunci sepeda motor; yang mana tak akan ada gunanya kalau aku tidak bisa keluar.
Hampir kehilangan ide, aku berlari menuju pintu belakang; hanya untuk mendapati kesia-siaan.
Pada akhirnya aku menghempaskan diri ke sebuah sofa merah di ruang tamu dan berteriak marah sambil mengacak-acak rambutku sendiri. Aku tak punya masalah dengan tetangga yang akan merasa terganggu, karena rumah Kakek memang agak jauh dari perumahan terdekat.
Air mata terbit di ujung mataku. Kubiarkan ia mengalir hingga hidungku menderita pilek dadakan. Aku selalu sengsara; tak peduli aku dianggap ratu atau putri raja, keadaannya sama saja.
Aku terbelenggu.
Tok-tok.
Aku menoleh kaget ke arah jendela di sanpingku. Seseorang yang sebelumnya kuklaim bodoh gila tiba-tiba terlihat sangat berharga di mataku. Aku buru-buru berdiri dan menempelkan wajah di antara terali jendela.
“Saga!” aku berseru histeris; merasa tak perlu merasa malu sebagai bentuk solidaritas kepada sesama orang gila. “Bantu aku keluar dari sini!”
Saga menempelkan kedua telapak tangannya pada kaca jendela dengan ekspresi khawatir.
“Kau baik-baik saja? Kau tampak kacau,” ia berkata.
Aku menghapus air mata dengan kasar dan membenahi rambut sekenanya.
“Sedangkan kau tampak waras,” sahutku di antara sisa isakan yang mirip seperti orang cegukan.
“Kau punya kawat atau jepit rambut?” Tiba-tiba Saga bertanya, membuatku heran.
Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng. Bukan tidak punya; aku cuma tidak paham apa maksudnya.
Sedetik kemudian, aku menyaksikan hal paling tak masuk akal dalam hidupku yang menyedihkan.
Saga melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Maksudku, dia benar-benar terlihat seperti itu! Tak ada yang kulebih-lebihkan. Hidungku hampir patah saking terburunya aku mengikuti gerakan Saga.
Aku menggeleng-geleng seakan ingin mengusir lalat di sekitar kepala. Kutampar diriku sendiri tanpa menggunakan tenaga berlebih. Aku kembali duduk seperti orang bodoh.
Aku pasti cuma berhalusinasi, aku memutuskan dalam hati. Tak mungkin teman-teman Salvatore Bersaudara datang ke Indonesia untuk mencari Katherine yang menarik hati.
Aku pasti lapar.
Sebelum sempat pergi ke dapur, Saga kembali dengan gerakan ekspres itu sekali lagi. Kutatap ia dengan horor.
Ada yang salah dengan otakku.
Saga mengacung-acungkan sebuah kawat, kemudian ia melesat lagi—demi Tuhan, melesat! Ia tidak lari, tapi melesat!—ke arah pintu depan. Aku mundur beberapa langkah. Tiba-tiba waspada. Jangan-jangan ia akan mendobraknya!
Klik.
Pintu terbuka seolah Saga memiliki kuncinya. Wajahku pucat saat Saga menyeringai di ambang pintu seperti bocah yang memenangkan lomba makan kerupuk.
“Kau benar-benar temannya Damon Salvatore, ya?” aku bergumam seperti orang kedinginan.
Seringai Saga luntur. “Siapa yang siapa, katamu? Aku tak tahu apa maksudmu.”
Aku tertawa canggung. Tiba-tiba saja punggungku sudah menyentuh dinding di belakangku.
“A-Atau kau anak angkat Ayah Agra … saudara Digo?” Suaraku masih bergetar.
Saga mendengus. Ia melangkah masuk dan berhenti beberapa langkah dariku.
“Vampir di Vampire Diaries tak bisa masuk kalau tak diundang!” teriakku tak terima.
Saga tertawa geli. “Tapi, ini bukan Vampire Diaries. Tega sekali kau mengambil hasil karya orang lain untuk kemudian kau sebarkan.”
Aku menatap pemuda itu dengan bingung. Aku tak merasa sedang memplagiat atau apa pun.
Aku menggeleng, mencoba mengusir pikiran-pikiran tak penting. Kucoba untuk lebih realistis. “Apa kau seorang pesulap?”
Tawa Saga menyembur keluar. Tubuhnya sampai terbungkuk-bungkuk seperti orang kehabisan napas.
“Kau ini bagaimana, sih,” ujar Saga masih geli. “Kau seperti tak pernah meli—”
Tawa Saga lenyap seketika. “Kau memang tak pernah melihatnya, ya?”
Aku menggeleng. Lalu, mengangguk.
“Tidak pernah secara langsung. Aku cuma melihatnya di film-film,” ujarku.
“Vampire Diaries dan Ganteng-Ganteng Serigala,” ia menyatakan.
Saga berjalan lebih dekat. Aku mencoba sebisaku untuk meleburkan badan ini ke dinding.
“Apa maumu?” bisikku.
Jarak wajah kami cuma sekitar satu jengkal, lalu ia tiba-tiba mengendus leherku. Sebagai bentuk perlindungan diri yang terlalu lambat, kudorong dadanya dengan kuat.
“KAU INI APA-APAAN?!” teriakku; setengah jengkel setengah khawatir.
Saga mengerutkan kening. “Justru kau yang apa. Kau ini vampir atau perubah-serigala?”
Punggungku meremang. Pertanyaan itu lagi. Diterangi cahaya pagi, ekspresi dan wajah Saga tampak lebih jelas dari malam kemarin. Saga tampak sangat serius. Wajahnya mengingatkan aku dengan Aliando sewaktu masih remaja. Imut dan menggemaskan.
Namun, itu bukan intinya.
“Kau ini bicara apa?” tanyaku heran. “Sudah berapa kali ini kau menanyakan itu padaku!”
Saga duduk di sofa panjang ruangan itu, lalu menepuk-nepuk permukaan sofa di sampingnya.
“Duduk sini. Kujelaskan.”
Aku duduk, tapi di sofa yang lain. Aku tak mau dekat-dekat dengan orang tak beres.
“Aneh sekali keluargamu itu.” Saga memulai. “Kenapa juga mereka harus menyembunyikan jati dirimu?”
Mataku berkedut. Duduk di tepi dudukan sofa, aku mencatat baik-baik dalam hati untuk segera melarikan diri jika terjadi hal yang mencurigakan. Namun, ide itu langsung terhapus mengingat apa yang Saga lakukan beberapa menit lalu.
“Dengar, ya, Bara,” ucap Saga, memajukan tubuhnya dengan serius. “Aku tak begitu tahu kau ini apa. Seperti yang kubilang sebelumnya; aroma tubuhmu agak kacau. Jadi, aku tak bisa memastikan. Antara kau adalah vampir, atau perubah-serigala—”
Aku menyetopnya dengan mengangkat tangan di depan wajahnya.
“Kau gila. Terimakasih sudah membantuku membuka pintu, tapi kumohon pergilah,” usirku terang-terangan.
Tiba-tiba, ia menarik bibirnya dan mendesis. Sepasang taring muncul dari antara giginya. Bola mata pemuda itu berubah putih seperti akting penyanyi dalam lagu Lathi.
Jantungku melompat keluar ke selokan terdekat.
“AAAAAAH!” teriakku telat.
Tubuhku menolak bergerak. Jadi, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mengangkat dan memeluk kaki, lalu mencoba mengecilkan raga hingga Saga tak lagi bisa melihatku.
Tentu saja itu tak berguna.
Saga berhenti menjadi drakula paruh waktu, lalu menatapku dengan sorot mata kasihan.
“Ini aku, vampir.” Saga mengklarifikasi. “Dan kalau aku benar, kau juga begitu.”
Punggungku meremang lagi. Rasa dingin yang aneh menyebar ke seluruh tubuhku, dimulai dari punggung. Rasanya seperti melihat kuntilanak seram malam-malam di kebun pisang.
Aku tertawa gugup. “Berhenti mengatakan itu, Saga. Kau membuatku takut.”
Saga mengangkat tangan seperti akan menyerah. “Kalau begitu, tanyakan ini pada orang tua atau kakekmu. Kalau kau vampir, kau akan sadar kalau semua keluargamu cuma keluarga angkat. Kalau kau perubah-serigala, kemungkinan besar mereka keluarga kandungmu.”
Napasku berubah cepat. Tawaku masih gugup.
“Kau cuma bercanda,” bisikku ketakutan.
Saga menggeleng. “Telepon saja orang tuamu sekarang. Itu kalau kau punya orang tua.”
Sejenak aku bimbang, tapi kemudian aku berlari masuk ke ruang keluarga untuk mengambil ponselku yang tertinggal di sana. Tanganku begitu gemetar hingga salah memasukkan kata kunci ponsel berkali-kali.
Menarik napas panjang dan berharap pemuda di depanku cuma pesulap gila, kuketuk nomor Ibu dan merubahnya ke mode loudspeaker.
Tut-tut-tut ….
(Halo, Barbie!)
Tak pernah aku merasa senewen saat Ibu memanggilku dengan nama itu.
“Halo, Bu,” sahutku berdeham-deham. “Apa kabar Ibu dan Ayah di sana?”
Saga melambai-lambaikan tangan agar aku tak perlu berbasa-basi. Kuteguk air liurku sendiri. Rasanya seperti sebongkah batu.
(Oh, kami baik, Sayang! Banyak sekali nyamuk, untunglah ada kelambu dan semprotan serangga.) Ibu tertawa. (Ayah sempat mengeluh karena tak ada cafe di sini, tapi kubilang padanya untuk jangan khawatir karena kopi sachet belum punah di sini.)
Aku mencoba tertawa. “Wah, keren, Bu.” Kutarik napas dalam-dalam. “Tapi, Bu, aku menelepon … karena ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”
(Tanya saja, Barbie! Ibu mendengarkan, kok.)
Kutatap Saga yang mengangguk-angguk menyemangati selayaknya orang gila.
Tergagap-gagap aku bicara, “K-Kau … aku … apakah … apa Ibu tahu sesuatu tentang vampir?”
Saga menepuk jidatnya seakan-akan aku jadi ikutan tolol. Suara di seberang tiba-tiba membisu selama beberapa detik.
(Kau menonton vampir Inggris itu lagi, Barbara?) Ibuku bertanya dengan kalem.
Barbara … ibuku jarang memanggilku begitu kecuali dia sedang serius, marah, atau sesuatu yang lain.
“Bukan vampir Inggris, Bu … apa pun itu, bukan itu yang kutanyakan.” Kulirik Saga yang bersedekap sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. “Ada seorang … seorang vampir di sini.”
Sunyi lagi.
(Kau bercanda!) Ibuku tertawa melengking. (Coba cek. Pasti dia memakai taring palsu!)
Kugenggam erat-erat ponselku. Bibirku bergetar lagi. “Taringnya muncul saat dia membuka mulut, Bu. Matanya juga b-berubah putih. Dia melakukannya di depan mataku!”
(Barbara, apa pun yang kau lihat, itu pasti cuma ilusi!) Suara Ibu berubah takut. Saga menyeringai dan memperlihatkan kepadaku wujud vampir itu lagi.
“Dia melakukannya di depan wajahku lagi, Bu! Bagaimana mungkin aku berhalusinasi?!" Aku berteriak putus asa.
(Barbara ….)
Aku menutup panggilan itu dengan sekali ketukan. Aku hampir menangis lagi. Bibir bagian dalamku sampai berdarah saking kuatnya aku menggigit.
“Hentikan melakukan itu,” kataku pada mata putih Saga yang segera berubah normal. “Aku … aku akan coba … sumpah apa yang berani kau ambil?”
Saga menelengkan kepala sedikit, lalu tersenyum. “Sumpah apa pun. Sumpah demi Tuhan. Sumpah demi kitab suci apa pun. A. Pa. Pun.”
Untuk sekian kalinya dalam satu jam ini, aku menarik napas dalam-dalam. Kuputuskan untuk menjadi gila barang sebentar saja.
“Bantu aku mencari tahu kenapa mereka melarangku keluar dari rumah.”
Saga mengangguk penuh tekad. Namun, kurasa ia sudah punya dugaan.
Cafe di kota kecil ini sangat berbeda dengan cafe di Jakarta. Meski begitu, tetap saja estetika tampilannya tak mengecewakan. Terutama Cafe Ananda yang kini aku—kami—singgahi.Aku menyesap es kapucino bertabur granula kecoklatan di atasnya dengan perasaan senang. Seorang pemuda merangkap vampir paruh waktu di depanku tengah menatap sekumpulan gadis-gadis bercelana pendek di seberang tempat kami duduk. Gadis-gadis yang sebagian besar mengenakan atasan minim itu cekikikan saat sadar Saga mengawasi mereka.“Yang benar saja.” Saga mendengus ke atas minuman mirip es selasih warna hijau di bawah hidungnya. “Cewek-cewek itu kira aku sedang mengagumi mereka atau bagaimana. Pakaian mereka kekurangan bahan.”Aku tertawa. “Kau ini kolot sekali, Saga. Berapa sih umurmu?”Saga cemberut. “Aku baru berumur satu tahun!”Hampir saja aku menyemburkan cairan espreso susu ke mukanya.“Jangan bila
Selama delapan belas tahun hidup, tak pernah aku merasa seberkeringat ini saat berada di dalam mobil dengan AC menyala. Telapak tanganku sangat lembab dan licin hingga meremas-remas tangan terasa begitu mudah. Aku bernapas dengan berat, seakan oksigen pelan-pelan tersedot keluar dari mobil. Kecemasan dan kekhawatiranku bertambah satu persen setiap detiknya. Aku bahkan tak berani menoleh ke kursi pengemudi di sampingku. Suasana di kendaraan pribadi ini tak lebih baik. Rasanya seolah ada bom rahasia yang siap diledakkan kapan saja. Tubuhku yang terasa dingin di dalam dan panas di luar sama sekali tak membantu. Benar-benar waktu yang tidak tepat untuk masuk angin. Untuk kesejuta kalinya dalam beberapa menit ini, hatiku meneriakkan segala jenis makian untuk Saga si vampir bodoh sepanjang masa, yang kini punya situasi hampir sama sepertiku. Setelah sisa motor Saga dinaikkan ke mobil patroli dan kami digiring masuk ke kendaraan tersebut, kami dibawa ke kantor polisi. Kami pada intinya m
Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?Apa yang salah dari menjadi hidup?Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu in
Seekor babi hutan tampak menyeruduki semak belukar yang meranggas di bawah pepohonan liar. Dari atas pohon sini, aku bisa melihat moncong hewan dengan nama lain celeng itu dengan jelas saat ia mengendus-endus serampangan.Aku mendesah sambil memeluk dahan di sampingku. Enaknya jadi celeng. Mereka tak perlu memusingkan para vampir yang akan mengejarnya sampai ujung neraka sekali pun.Aku terdiam, lalu menghela napas lelah.“Maafkan aku, Leng,” aku bergumam sendiri. “Aku terlalu iri padamu. Kau pasti pernah dikejar-kejar vampir juga gara-gara mereka butuh darahmu … atau tidak?”Aku menatap langit cerah dari balik kanopi pohon. Babi di bawahku tertatih-tatih pergi saat tak menemukan apa-apa di balik daun-daun kering. Langkah empat kakinya menimbulkan bunyi kersak; meningkahi ocehan monyet dan kicau burung di sekitarku.Beberapa hari ini semangat hidupku jadi agak berkurang. Setelah meninggalkan rumah Kakek, aku dan Ibu t
Pikiran pertama yang muncul di benakku adalah: lari! Namun, pikiran itu tercipta setelah kira-kira dua puluh detik lebih lama dari yang seharusnya. Jadi, sepersekian detik sebelum aku memutuskan untuk lari, pemuda itu sudah menghempaskan punggungku ke salah satu batang pohon yang menjulang. Aku berdengap ngeri saat pemuda itu mengunci tubuhku di antara lengannya, menghalangiku untuk kabur. Kucoba untuk mengabaikan aroma tubuhnya yang mirip lemon segar. Tiba-tiba, ia mengendus-endus leherku seperti yang Saga pernah lakukan waktu itu. Pemuda di depanku mengerutkan kening. Ia membiarkan kedua taringnya bersembunyi lagi. Matanya tetap hitam; tak berubah sama sekali. Berbeda dengan Saga. Kedua tangan pemuda itu jatuh ke samping tubuhnya; tak lagi mengurungku seperti semula. Ia mundur selangkah, bersedekap, lalu mengamatiku dari atas ke bawah. “Kukira kau vampir yang mau macam-macam di wilayah kami.” Aku mengerjap. Suaranya dalam, mengingatkanku dengan suara Kang Yeosang dari ATEEZ; gru
Serigala itu menerkamku hingga tubuhku jatuh dan terhempas ke lantai hutan. Namun, cuma itu. Serigala itu mendengking senang dan segera menyingkir dari hadapanku seraya melompat-lompat kecil seperti anak anjing. Seandainya aku punya riwayat penyakit jantung, aku pasti sudah bertemu malaikat tampan yang siap menghukumku di neraka. Kutatap Justin dari bawah. “Apa-apaan itu tadi?!” Aku berdiri dalam satu helaan ringan. Namun, hal selanjutnya yang terjadi membuatku menyesal telah berdiri. Aku berharap masih terkapar di tanah. Kalau bisa pingsan sekalian. Serigala hitam di hadapanku menguap seperti kabut kelabu tebal di pagi hari yang dingin. Tak sampai lima detik, serigala berkabut itu digantikan dengan sesosok pemuda lain sebaya Justin yang berdiri sambil berkacak pinggang. Ia cengar-cengir memandang Justin dan aku. Aku bisa dibilang telah menampar otot lengan Justin dan membuat telapak tanganku panas sendiri. “Dia siapa?” bisikku pada Justin. “Dia cuma sulap, 'kan?” Justin menatap
Baru sekitar seratus lima puluh meter kami memelesat, Justin dan David berhenti di sebuah bukaan sempit dengan pohon-pohon tinggi yang melingkarinya. Sepatuku menginjak permukaan tanah yang lebih lembap dari tempat kami semula.“Mau apa kita berhenti di sini?” tanyaku heran.Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi David merogoh sebuah lubang di antara semak-semak. Aku takut pemuda itu terpatuk ular, tapi saat David mengeluarkan tangannya, tak ada apa pun yang terjadi.Justin menggamit tanganku dan kami bertiga mundur ke salah satu sisi pohon. Sedetik kemudian, bukaan bundar di hadapanku ambrol ke bawah tanah. Aku terkejut dan tersurut mundur lebih jauh.“Come in.”David melompat ke lubang bundar gelap itu tanpa ragu sedikit pun.Aku mencengkeram lengan Justin. “Apa maksudnya, ‘come in’?”Justin melepas cengkeraman tanganku dan beralih menggenggamnya.“Hitungan ketiga, kita lompa
Malam itu aku tidur di ruangan yang sama dengan keluargaku.Keluarga.Dadaku sesak saat mengingat salah satu dari mereka telah tiada.“Barbara ….”Aku bergelung semakin rapat menghadap dinding. Suara lembut Ibu semakin membuatnya semakin tak tertahankan.Mereka bilang Hugo—laki-laki yang menyerang rumah Kakek—membawa serta jasad Ayah entah untuk apa. Aku sempat mengamuk pada Kakek karena dia tak mau menghentikan lelaki itu.“Aku sangat lemah, Bara,” bisik Kakek tadi. “Aku tak mampu lagi melawan Hugo. Dia terlalu kuat.”Aku memahami itu. Hanya saja aku masih terlalu kecewa. Masih terlalu sakit untuk bisa menerima keadaan Kakek saat itu.Perasaanku hancur.Aku berjalan keluar dari kamar-bersama itu dengan perasaan tak keruan. Ibu memanggilku lemah, tapi aku hanya bergumam tak jelas padanya.“Apa kau pikir Ibu juga tidak merasa sedih, Bara?” seru Ibu;