Share

Mulai Sakit

Sudah hampir 1 bulan aku di Kota Malang bersama Agus, aku merasa tidak ada perubahan yang berarti dalam hidupku. Bangun siang, makan, rebahan, keluyuran atau nongkrong sampai larut malam, kegiatan itu yang lebih sering aku lakukan dengan Agus dan beberapa teman-temanku satu kos. Aku sudah mengenal hampir seluruh penghuni kos ini yang mayoritas adalah mahasiswa dan  hanya aku dan Agus yang pengangguran. Jujur sebagai anak muda aku sangat menikmati kegiatan ini, apa lagi Agus dia sangat senang sampai-sampai setiap disuruh pulang bapak ibunya dikampung pasti ada saja alasan dia agar tidak pulang. 

Seperti malam-malam sebelumnya , aku menghabiskan waktu diwarung kopi dengan Agus karena hampir setiap hari ngopi, sampai-sampai aku punya tempat nonkrong langganan disini. Disini kita bisa nongkrong 24 jam kalau mau, bahkan kata pegawai café banyak yang sampai ketiduran disini.

Berbeda dengan dikampungku, warung kopi paling ramai dari pagi sampai sore atau maksimal setelah isyak, sedangkan disini yang paling ramai dari magrib sampai hampir subuh. Dikampung kebanyakan yang kewarung kopi bapak-bapak yang pulang dari sawah, sedangkan disini kebanyakan yang ngopi mahasiswa dan para karyawan , apa lagi sering sekali aku melihat cewek-cewek cantik dengan baju yang minim juga ada disini, pemandangan itu yang membuat Agus selalu mengajak ngopi setiap malam. 

Kehidupan serbah mudah dikota membuatku hampir mengubur mimpiku untuk mencari pekerjaan dan kuliah. Serba mudah disini yang dimaksut adalah mudahnya kita menemukan tempat bersenang-senang yang otomatis menghabiskan uang.

Sebulan menjadi tunakarya dikota orang, selama itu juga pengeluaran terus berjalan tanpa ada pemasukan. Tabungan semakin menipis, lamaran pekerjaan yang dikirim tidak kunjung mendapat panggilan, mau cari-cari tempat kerja dan kirim lamaran lagi masih mikir-mikir pengeluaranya, beli amplop, fotocopy sampai uang bensin, ahhh… bener-bener berwarna hidup merantau itu.

Sepulang dari ngopi bareng Agus sekitar jam 12 malam, kami mampir ke tukang nasi goreng untuk makan, disana kami mencoba ngobrol-ngobrol dengan penjualnya.

“Pak sampai jam berapa jualan?” Tanyaku basa-basi mengawali obrolan.

“Ya gak tentu Mas, kadang jam 1 kadang jam 2.” Jawab sibapak sambil menggoreng.

“Kalau berangkatnya?” Tanyaku lagi.

“Habis magrib Mas baru keluar rumah..” Jawab sibapak masih sibuk menggoreng.

“Keliling apa mangkal disini?” Tanyaku lagi lebih antusias.

“Ya disini aja mas, depan ruko kosong ini.” Jawab sibapak.

“Bayar kalau jualan ditempat kayak gini?” Tanyaku sambil clingak-clinguk.

“Enggak Mas, cuma bersihin aja kalau habis jualan..” Jawab sibapak sambil memberikan 2 porsi nasi goreng.

“Kenapa Man tanya-tanya? Kenal kamu sama bapaknya?” Tanya Agus sambil berbisik.

“Enggak Gus, iseng aja kali aja dikasih gratis..” Bercandaku ke Agus.

“Hehehehe.. kenapa gak sekalian minta pekerjaan aja..” Ucap Agus bercanda.

“Wahh cocok..” Jawabku ke Agus.

Kami melanjutkan makan dengan lahap, karena ya memang kami dikota mulai terbiasa dengan makan 2 kali sehari, jari sekali makan seperti orang kesurupan. Dikampungku tidak ada orang malam-malam jualan nasi goreng, paling ada juga jualan bakso tapi ya cuma lewat sekali aja, berbeda dengan dikota yang setiap saat pasti ada saja orang yang berjualan makanan baik keliling maupun diwarung.

“Pak berapa?” Tanyaku sambil mengeluarkan dompet.

“20 Mas..” Jawab sibapak sambil sibuk menggoreng, karena memang lumayan ramai jualan sibapak dari tadi pembeli silih berganti masuk. Kami baru 2 kali makan disini selain rasanya enak sibapak juga ramah.

“Pak gak ada lowongan kerja?” Tanyaku sambil mengulurkan uang 20 ribu.

“Heh.. Man yang bener.” Sahut Agus sambil memukul pundaku.

“Kerja apa Mas? Bapak aja juga gak punya pekerjaan makanya jualan nasi goreng.” Jawab sibapak dengan bercanda.

“Ya bantu-bantu bapak kalau boleh..” Ucapku cengengesan.

“Gak bisa bayar karyawan aku Mas..” Jawab sibapak.

“Halah.. gampang, yang penting aku dikasih makan sama diajari bikin nasi goreng aja cukup..” Rayuku ke sibapak.

“Yaudah besok magrib kesini ya..” Jawab sibapak dengan santai nya.

Alhamdulliah aku diterima kerja bantu sibapak jualan nasi goreng, jarak dari tempat sibapak jualan dengan kos tidak terlalu jauh kurang lebih 300 meteran jadi bisa ditempuh jalan kaki.

“Man kamu serius mau jualan nasi goreng?” Tanya Agus antusias.

“Iya Gus, dari pada kita gak ada pemasukan..” Jawabku singkat.

“Gak malu..? Yang beli cewek-cewek cantik loh Man..” Ucap Agus mulai menurunkan motivasiku.

“Waduh.. iya.. ya, tapi percuma juga gak ada yang kenal kita, bismillah coba aja dulu Gus..” Jawabku meyakinkan Agus.

“Aku gak ikut loh ya Gus…” Ucap Agus angkat tangan.

Ya kalau dalam hati kecilku sejujurnya aku malu, tapi mau gimana lagi namanya juga terpaksa dari pada minta kiriman orang tua ya lebih baik berusaha sendiri menurutku.

Setelah magrib aku bergegas menuju tempat jualan sibapak, sebenarnya tempat bapak sangat sederhana hanya bermodal gerobak dan beberapa kursi plastik saja sibapak sudah bisa berjualan.

“Loh Mas beneran datang..” Ucap sibapak sambil tersenyum.

“Iya Pak.. Hehehe..” Jawabku 

Setelah datang kami berkenalan ternyata nama beliau adalah Pak Sholeh orang asli Lamongan, beliau ke Malang karena ingin jualan, beberapa kali apabila tidak ada pembeli kami bercerita tentang banyak hal tapi ya karena warung Pak Sholeh ini cukup rame ya, aku lebih sering sibuknya dari pada nganggur.

“Pak jualan rame gini kok gak ada karyawan?” Tanyaku sambil mencuci piring.

“Ya susah cari karyawan itu Man, gak gampang..” Jawab Pak Sholeh.

“Padahal disini cari kerjaan susah sekali loh Pak.” Ucapku menambai.

“Iya emang Man, tapi orang-orang zaman sekarang banyak gengsinya..” Jawab Pak Sholeh sambil menggoreng.

Benar juga ya, banyak orang yang berani bermimpi tapi tidak berani menggubur gengsi, mereka lebih memilih diam dari pada harus mengerjakan yang tidak sesuai dengan keinginanya.

Dihari pertama aku hanya disuruh mencuci piring dan memotong sayur, setelah pulang dikasih 1 bungkus nasi goreng dan uang 10 ribu, buat sarapan katanya Pak Sholeh.

“Gimana Man?” Tanya Agus menyambutku.

“Enak Gus, asyik bisa makan gratis, aku juga dikasi nasi nih..” Jawabku sambil menjulurkan sebungkus nasi goreng ke Agus.

Hari berganti hari aku tetap bekerja dengan Pak Sholeh sambil menunggu panggilan kerja, dari yang hanya diberi amanah mencuci piring, memotong sayur sampai membungkus, kali ini aku diberi tahu cara menggoreng nasi dan bumbunya, Pak Sholeh memang orang yang baik beliau tidak pelit ilmu.

“Waduh.. Pak, kalau aku diajari resepnya juga, nanti aku buka warung sendiri loh..” Bercandaku ke Pak Sholeh.

“Ya gak apa-apa Man buka aja, bapak tambah seneng berarti ilmu yang bapak kasi bermanfaat..” Jawab Pak Sholeh sambil memperhatikan aku masak.

“Lah gak takut pelangganya saya rebut Pak?” Ucapku menggoda.

“Rezeki sudah ada yang ngatur Man, gak usah takut.” Jawab Pak Sholeh santai.

“Iya Pak..” Ucapku sambil tersenyum

Pak Sholeh pernah bercerita banyak dulu orang yang ikut dengan beliau lalu setelah bisa membuat usaha sendiri dan Pak Sholeh malah merasa senang dan bangga karena bisa membantu orang lain.

Diminggu ke 3 aku sudah dipercayai memasak nasi goreng sendiri oleh Pak Sholeh, yang terpenting bismillah katanya diawal memulainya, aku pun sangat senang diberikan kepercayaan lebih seperti ini.

Setiap pulang sama aku diberi sebungkus nasi goreng dan uang tunai, tidak menentu nominalnya kadang 10 kadang 20 bahkan pernah sampai 30 ribu, tergantung ramai tidaknya jualan Pak Sholeh. Apa lagi kalau malam minggu pasti ramai sekali nasi goreng Pak Sholeh.

Dimalam minggu ini aku berjualan seperti biasanya, pembeli ramai berdatangan, baik menggunakan motor bahkan menggunakan mobil. Ada sebuah mobil mewah yang berhenti ditempat kami, ternyata seorang anak muda seusiaku turun dari mobilnya, setelah itu beberapa detik disusul oleh seorang cewek yang cukup cantik. Dalam fokus yang terbagi aku sambil memperhatikan pasangan ini, yak arena seperti biasanya mereka akan aku tawari menu-menu yang ada di warung Pak Sholeh.

“Mau bungkus apa makan sini Mas Mbak?” Tanyaku dengan antusias.

“Bungkus aja..” Jawab pembeli cewek itu. Tunggu, suara cewek itu sepertinya pernah aku denger tapi dimana ya..

Setelah aku menyelesaikan mengemas nasi goreng aku mencoba menoleh ke arah wajah pembeli baru kami, dan ternyata itu adalah Sari. Dia terlihat sangat cantik dengan penampilan yang jauh berbeda dari dirumah, ditemani seorang cowok yang cukup tampan dan bermobil. Aku tidak berani bertanya apa-apa, bahkan kami pun mencoba saling mengindari bertatap mata. Tidak ada kalimat apapun yang kami lontarkan, bahkan sampai dia akhirnya kembali masuk ke dalam mobil mewahnya dan pergi.

Sungguh beberapa menit itu adalah waktu yang panjang dan sulit untuk hati ini bersembunyi, mengalihkan perasaan yang pernah ada menjadi perasaan yang tidak ada.

Sejatinya aku dan Sari tidak pernah memiliki hubungan apa-apa, kita hanya dekat selama 2 minggu saja disekolah, tapi nyatanya hati ini seolah mau berterimakasih kepadanya yang telah memberikan warna pertama dalam waktu 2 minggu itu. Meskipun nyatanya Sari juga tidak peduli, bukan berarti cintaku bertepuk sebelah tangan karena kenyatanya Sari tidak pernah mendengar ungkapan hatiku, yaa.. mungkin hatiku yang mulai belajar menyakiti diri sendiri dengan berharap lebih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status