Share

Part 9 Tegar 2

Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.

Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing.

"Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam.

"Tidak usah, aku mau pulang saja."

"Nggak bahaya?"

"Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir.

"Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi."

"Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."

Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.

Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya untuk menjaga gudang dan kantor.

Perjalanan kali ini aman, karena dia tidak lewat jalan seperti biasanya. Saga memilih alternatif jalan lain.

"Mas Saga, dari mana?" tanya Pak Radi menghampirinya. Laki-laki yang menutupi tubuhnya pakai sarung tampak heran.

"Saya tadi mau ke Singosari, Pak. Tapi nggak jadi. Akhirnya saya ke rumah teman," jawab Saga sambil melepaskan helm.

Kedua laki-laki itu melangkah ke kantor. Pak Radi membuka pintu kantor untuk putra bosnya. Dia sudah hafal karena Saga memang sering menginap di sana.

"Mas Saga, apa perlu saya bikinkan kopi?"

"Tak usah, Pak. Makasih banyak, saya sudah minum kopi tadi."

"Oh, ya sudah. Kalau gitu saya tinggal dulu ya, Mas!"

"Silakan, Pak."

Setelah laki-laki itu pergi, Saga ke kamar mandi untuk membasuh tangan dan kaki, melepaskan jaket lalu masuk sebuah kamar yang ada spring bed di sana. Biasa memang untuk tempat istirahat siapapun. Termasuk papa dan Akbar. Waktu hamil dulu, Melati juga sering tidur di situ kalau siang. Dia juga lebih nyaman di kebun daripada di rumah. Namun setelah melahirkan, Moana dikuasai ibu mertuanya.

Akbar dulu selalu membela sang istri, ketika mama Rista sangat cerewet karena Melati tak kunjung hamil. Namun kenapa, sekarang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat? Tidak ingatkah bagaimana dulu ia memperjuangkan Melati?

Saga merebahkan tubuhnya. Luka di punggung masih terasa sakit kalau dia tidur terlentang.

Ponselnya di atas meja kecil itu berpendar. Alita menelepon.

"Halo."

"Hai, Ga. Sudah tidur?"

"Belum."

"Apa kamu sakit? Dari kemarin aku tunggui telepon darimu tapi nggak ada juga kamu hubungi aku." Gadis di seberang menggerutu.

"Sorry, Lita. Aku sibuk, jadi nggak sempat nelepon. Aku baik-baik saja. Kamu sendiri jam segini belum tidur?" Saga melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam.

"Belum. Aku kepikiran mengenai acara bulan depan."

"Kenapa?"

"Nggak sabar," jawab gadis itu diselingi tawa renyahnya.

Saga kembali bangun dari pembaringan. Membuka jendela kamar dan berdiri di sana, menatap bulan yang tersapu awan. Hawa dingin menyerbu masuk, tapi itu sudah biasa baginya.

"Lita, kamu sudah tahu banyak tentang aku?"

"Maksudmu?" tanya gadis itu dengan nada tak mengerti.

"Aku tidak ingin kamu menyesal, Ta. Hidupku tak semanis dilihat orang di luar sana."

"Hei, aku nggak paham ini, Ga. Maksudmu apa, sih? Kita kan sudah saling kenal sejak lama. Apa yang nggak aku ketahui tentang kamu, selain kegemaranmu pada balapan liar?"

"Banyak."

"Tentang kamu yang anak istri kedua? Aku sudah tahu, papa mamaku juga sudah tahu itu. Paham banget malah."

Saga menarik napas dalam-dalam. Apa dia harus menceritakan semuanya? Sedangkan papanya menutup rapat ketimpangan yang terjadi dalam hubungan di rumah mereka di hadapan keluarga Alita.

"Ada apa, sih, Ga?"

"Banyak yang kamu nggak tahu tentang aku, Ta."

"Apa itu? Kamu punya kekasih?"

"Bukan."

"Terus ...."

"Aku usahakan dalam beberapa hari ke depan bisa bertemu denganmu. Lebih baik kita bicara berhadap-hadapan. Aku kabari kalau aku hendak ke Surabaya."

"Astaga, Ga. Kamu bikin aku penasaran tau, nggak. Kapan kamu menemuiku?"

"Nanti kukabari lagi."

"Baiklah kalau gitu. Kutunggu, ya!"

"Ya."

"Ya, sudah. Selamat malam. Met tidur."

Alita menyudahi panggilan. Saga masih berdiri di sana. Sebelum memulai sebuah hubungan, alangkah baiknya dia jujur. Kelihatannya saja dia anak pemilik perkebunan yang memiliki puluhan karyawan. Namun pada hakekatnya dia bukan siapa-siapa. Dia tidak punya hak apapun di sana. Saga tidak ingin Alita salah sangka dan berharap lebih padanya. Sebab ia tahu, gadis itu sudah terbiasa hidup serba mudah.

***LS***

Melati menatap pintu kamar Saga yang masih terkunci rapat. Dari jendela ruang makan ia memandang carport. Motor iparnya tidak ada di sana. Lantas ke mana Saga? Apa dia tidak pulang? Apa terjadi sesuatu lagi padanya? Dalam sebulan ini sudah dua kali Saga diserang para preman.

Wanita itu menoleh saat tangan kecil Moana menyentuh pundaknya. Akbar menggendong sang anak di sebelah Melati.

"Hai, sudah bangun anak mama," ujarnya sambil mencium pipi chubby Moana. Gadis kecilnya mengulurkan tangan minta di gendong.

Akbar duduk di kursi meja makan, bergabung dengan kedua orang tuanya. Dia juga menarik kursi untuk Melati.

Meski Saga tidak tampak, tapi tidak ada yang menanyakan tentangnya. Kecuali Pak Norman yang kerap menatap pintu kamar putranya yang masih tertutup rapat. Tadi ia sempat mendengar laki-laki sepuh itu menanyakan tentang Saga pada Mbok Sarwi di dapur.

"Hari ini mas mau ke luar. Nanti kamu berangkat sendiri ke kebun, ya," kata Akbar saat mendekati Melati yang tengah menyiapkan bekal. Sesaat setelah mereka selesai sarapan.

Melati mengangguk.

"Tengah hari mas sudah kembali."

Melati kembali mengangguk sambil tersenyum. Dia tidak ingin tahu ke mana suaminya pergi, daripada mendapatkan sebuah kebohongan sebagai jawaban. Bukankah semenjak gadis itu menghilang, Akbar sering ke luar?

Sabarnya sudah mendekati batasan. Melati hanya menunggu waktu sebagai titik balik keputusannya.

Setelah menciumi Moana dan pamitan pada papa mertuanya yang tengah sibuk dengan ponsel, Melati berangkat ke perkebunan. Ia pun masih cemas, khawatir terjadi apa-apa dengan Saga yang tidak pulang semalaman. Mungkin papanya tadi juga sibuk menghubungi putra bungsunya.

* * *

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
berharap Nara pergi karena dia juga punya kekasih lain selain Akbar yg sedang diperjuangkan dan Akbar hanya pelarian...
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
saga baik2 aja mel
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status