Share

BAB 4

Teriakan alarm membangunkan Hasung. Tubuhnya masih terasa remuk redam, kepalanya juga masih pening, dan demam yang melandanya masih belum ada tanda-tanda untuk menurun. Dengan hati-hati, Hasung melenyapkan suara alarm itu menggunakan satu sentuhan kecil sembari memeriksa keadaan sekitar. Ketika Hasung hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang menekan kombinasi kunci rumahnya. Hasung sudah tahu, itu pasti Adelian. Jadi, Hasung tak peduli.

            “Adeul[1].”

Eomma[2]?” Mata sipit Hasung langsung membesar. Ternyata yang datang bukan Adelian. Hasung Menemukan ibunya datang dengan bingkisan plastik besar. “Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?” Hasung masih tak habis pikir. jam berapa ibunya berangkat dari Incheon hingga tiba di Seoul sepagi ini.

“Lian menelepon Ibu dan mengatakan kau sedang sakit,” jelas Ibunya saat hendak berlalu menuju dapur. Namun, raut heran di wajah Hasung sama sekali belum hilang, terlebih lagi saat melihat Ibunya yang memutar arah dan melangkah mendekat. “Tapi apa ini?” tanya ibunya.

Hasung menggeleng dan ikut memeriksa sesuatu yang mencuri perhatian ibunya.

Eommoni, Anda sudah datang?” Tiba-tiba suara sapaan itu terdengar disusul dengan kemunculan makhluk mungil berambut berantakan yang membungkus tubuhnya dengan mantel dan syal dari bawah ranjang tempat tidur Hasung.

“Hei! Apa yang kau lakukan di sana? Kau bilang kau akan segera pulang setelah menonton drama,” pekik Hasung tak percaya, menemukan Lian yang tertidur semalaman di bawah tempat tidurnya tanpa selimut dan bantal.

Lian terkekeh, masih setengah sadar. “Selamat pagi, Eommoni!” sapa Lian sekali lagi. Ia berdiri, lalu membungkuk dan memberi salam seadanya.

Sang Ibu hanya mengangguk dengan tawa tertahan melihat kepolosan Adelian, sedangkan Hasung masih mematung dengan ekspresi sulit untuk percaya.

Setelah semuanya dipastikan bernapas dengan kesadaran penuh, Ibu Hasung segera menghampiri dapur untuk membuat sarapan, termasuk sup kimchi agar Hasung segera sembuh. Namun, entah kenapa saat sedang melangsungkan sarapan bersama, Hasung malah melirik Lian dengan tatapan murka, sedangkan Lian tetap memasang wajah tak bersalah sembari tersenyum senang menyantap makanan karya ibu Hasung.

“Inilah yang dinamakan seni yang sesungguhnya,” puji Lian. Wajahnya mengekspresikan seolah-olah ia sudah tenggelam ke dalam lezatnya masakan Ibu Hasung.

***

Selain kisah menggelikan itu, ada juga satu kisah yang membuat Lian semakin merindukan Hasung dan ingin berterima kasih untuk ke sekian kalinya pada lelaki itu.

Pada suatu pagi yang terbilang biasa. Suara kombinasi pintu rumahnya yang ditekan seseorang, membuat Hasung terbangun lalu buru-buru memperbaiki posisi tidurnya. Ia tahu itu pasti Lian karena orang tuanya yang berada di Incheon, hanya Lian yang tahu kombinasi kunci rumahnya dengan baik.

“Hasung-ah, kau ada jadwal hari ini?” Sudah tidak diragukan lagi, itu suara Lian.

“Ada, nanti siang,” jawab Hasung tanpa semangat. Tubuhnya masih dilahap selimut juga matanya masih terpejam.

Adelian duduk membisu di samping tempat tidur Hasung tanpa mengatakan apapun, membuat Hasung mendesah lalu mengangkat tubuhnya cepat. Ia menemukan Lian yang menatapnya dengan bibir manyun. “Ayolah! Jangan seperti ini. Katakan jika kau ingin bantuanku.”

Tiba-tiba senyum Lian mengembang, “Aku ada praktik pagi ini, kau mau membantuku, ‘kan?”

Hasung mendesah sekali lagi, anggukannya seketika membuat Lian meloncat senang dan langsung berlalu dari kamar Hasung. Hasung mengangkat tubuhnya dengan setengah hati. Jika bukan karena Lian, ia tak akan melakukannya. Hasung pantas bersyukur dikaruniai tubuh yang bisa dikatakan sehat sehingga bisa membantu Lian kapan pun gadis itu membutuhkan bantuan.

“Tekan seperti ini selama lima menit,” pinta Adelian sembari mencontohkan dengan lengan tangannya sendiri pada Hasung.

“Kau berbicara seolah-olah ini pertama kalinya aku melakukannya untukmu,” ujar Hasung.

Hasung memeriksa sekitar. Ruangan itu dipenuhi aroma kehidupan yang menyengat, aroma darah dan obat-obatan. Untuk kesekian kalinya ia membiarkan Lian menyedot darahnya dengan berbagai alasan praktik. Seperti kali ini, cek gula darah. Lian menjelaskan sesuatu pada Hasung, tapi Hasung tak mau memperhatikannya karena ia sudah bisa menebak apa yang akan Lian katakan.

Gomawo, chingu-ya[3],” ucap Adelian senang.

Hasung hanya mengangguk lalu melangkah dengan lambaian ringan seakan-akan darah yang ia sumbangkan untuk praktik Lian pagi ini menyedot sebagian nyawanya.

“Lian-ah, pacarmu?” tanya Goo Nara yang rela jauh-jauh datang ke tempat duduk Lian. Ia menunjuk Hasung yang melangkah ke luar ruangan.

Lian menggeleng.

“Dia mahasiswa Menejemen Bisnis, bukan? Shin Hasung!”

Lian mengangguk seadanya, ia tak terkejut Goo Nara mengetahui Hasung. Hasung memang cukup terkenal di kalangan wanita lantaran sifatnya yang hangat, ramah, dan mudah akrab. Selain itu Hasung juga rajin mengikuti berbagai klub kampus yang membuatnya semakin populer.

“Bisa atur aku ketemu dengannya?” Goo Nara terlihat semakin antusias.

“Goo Nara, bukankah kau pacaran dengan Park Minseok, mahasiswa Fakultas Kedokteran?” tanya Jiyul cepat.

“Aku sudah putus dengannya dua hari yang lalu,” jawab Nara dengan enteng.

Adelian, Jiwoo, dan Jiyul saling menatap satu sama lain lalu menggeleng. “Aku tidak berpengalaman dalam masalah atur mengatur hubungan orang, mian[4],” jawab Lian.

 Nara berdecak sembari menggeleng sinis. “Baiklah kalau begitu. Sebenarnya, aku tak perlu bantuanmu, aku bisa mengaturnya sendiri, ” tukasnya.

Wanita yang katanya blasteran Korea-Canada dengan pakaian modis bak mahasiswa design itu langsung melangkah pergi meninggalkan Adelian, Jiwoo, dan Jiyul yang diam dan juga heran. Suara high heels yang dikenakan Nara menggelegar dengan elegan, mencuri perhatian sebagian besar penghuni ruangan.

[1] Putraku.

[2] Ibu

[3] Terimakasih, teman.

[4] Maaf (informal)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status