Malam semakin menua. Semesta terdengar amat sunyi. Sepertinya air yang tercurah dari mega tadi sore menciptakan udara dingin yang lelapkan semua makhluk. Terkecuali Nazeela. Dari tadi mata gadis itu tak mau terpejam. Pikirannya menerawang memikirkan keadaan Hasan. Ingin ke rumah sakit, tetapi ditahan oleh Farah. Wanita itu mengatakan, telah mengutus salah satu pegawainya untuk melihat keadaan sang adik. Namun, sampai dini hari belum ada kabar terdengar.
Nazeela bergerak membuka ransel berwarna coklat yang sudah terlihat lusuh. Gadis itu mengeluarkan beberapa lembaran #kertas dan foto hitam putih. Bergetar jemarinya meraih kertas yang sudah menguning. Membaca kata per kata yang tertulis di sana. Haru menyulut panas di matanya, mendorong bulir bening jatuh di pipinya. Pikirannya melayang pada kebiasaan almarhum sang ibu. Setiap gadis itu berulang tahun, beliau menuliskan harapan dan doa di secarik kertas, kemudian meletakkan di bawah bantal Nazeela, agar saat pagi menjelang sang putri bisa membacanya. Sangat sederhana, tetapi lebih berharga dari hadiah paling mahal di dunia. Dia tergugu mendekap foto sang ibu, rasanya tak percaya Tuhan telah memanggil wanita tersebut.Tak ingin terus larut dalam kesedihan, Nazeela bangkit mengerjakan sholat malam, lalu berniat meneruskan hafalan ayat suci Al-Qur'an-nya. Sebait doa juga dia kirimkan kepada almarhum ibu tercinta. Dada gadis itu sesak karena kesedihan yang menghimpit. Semua kemalangan itu seolah beruntun menghantam hidupnya. Kini, hanya Hasan satu-satunya keluarga yang dia punya. Jika, sang adik juga pergi, dia tidak tahu harus bagaimana menjalani masa depan.Ketukan keras terdengar di pintu kamar tamu--tempat Nazeela tidur di rumah Farah--tepat ketika dia mengakhiri bacaannya. Tanpa membuka mukena, Nazeela gegas membuka pintu dan melihat Farah memandangnya dengan raut cemas."Zee ....""Ada apa?""Hasan, dia ... sekarat," ujar Farah sangat pelan dengan sorot cemas terlihat di manik matanya.Nazeela refleks menutup mulutnya. Mata gadis itu seketika memanas membayangkan nasib sang adik, membuat air matanya luruh seketika."Kita ke rumah sakit sekarang. Bang Fairuz sudah menunggu di bawah," ajak Farah seraya meraih tangan Nazeela.Gadis itu segera mencopot mukenanya, meletakkan sembarang ke atas pembaringan, lalu meraih asal jilbab instan yang tersampir di atas kursi. Lalu, mengekori langkah Farah menuju teras rumah di mana Fairuz telah duduk di belakang kemudi dengan mesin mobil yang sudah menyala. Farah membuka pintu penumpang di depan, sementara Nazeela membuka pintu belakang tepat di belakang si wanita. Setelah keduanya duduk di dalam mobil, Fairuz mengemudikan mobil dengan sigap. Tak ada yang mengeluarkan suara selama perjalanan. Mereka semua larut dengan pikiran masing-masing. Pun Nazeela, gadis itu tak berhenti beristigfar dalam hati, mendoakan sang adik agar mampu bertahan. Berkali-kali air matanya jatuh tergelincir di pipi, selalu saja dia usap dengan ujung jilbab. Tak ingin memperlihatkan kegundahan hati pada kedua orang baik di depannya.💕Lima belas menit perjalanan, mobil yang dikendarai Fairuz berhenti di pintu masuk. Pria itu membiarkan Farah dan Nazeela turun terlebih dahulu, sementara dia akan memarkirkan mobil di pelataran parkir rumah sakit. Setengah berlari Nazeela menyusuri selasar rumah sakit menuju ruang ICU, diekori Farah yang jauh tertinggal di belakang. Wanita itu merasa napasnya sedikit sesak, hingga tak mampu mengiringi langkah si gadis."Suster, bagaimana adik saya?" tanya Nazeela begitu melihat seorang perawat keluar dari ruang ICU."Nama pasien?""Hasan, korban kecelakaan tunggal kemarin."Dahi sang perawat sedikit berkerut sesaat mengingat nama pasien. "Oh iya, pasien ada di ruang operasi. Tadi kami memberi kabar dan sudah ada persetujuan dari keluarga untuk operasi."Nazeela tak mampu berkata apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Hampir saja luruh ke lantai jika saja Farah tidak datang tepat waktu tidak mendekapnya."Tadi, Bang Fairuz yang menyetujui Hasan dioperasi. Kita berdoa saja semoga operasinya berjalan lancar." Farah berusaha menenangkan Nazeela, seraya mengajak si gadis menuju ruang operasi.Pikiran Nazeela melayang memikirkan nasib sang adik. Lorong-lorong rumah sakit seolah gelap baginya. Tubuh gadis itu serasa melayang, rasanya dia tak sanggup menahan gempuran cobaan yang bertubi-tubi."Ayo, kita duduk di sini," ajak Farah, menuntun gadis tersebut duduk di kursi yang berada di depan ruang operasi. Lampu merah menyala di atas pintu ruangan tersebut.Nazeela tak berhenti mengucapkan takbir dalam hati, berharap resah yang mendekap jiwanya sedikit memberi longgar. Berulang kali menghela dan mengembuskan napas. Detik demi detik terasa sangat menyiksa, dia hanya berharap sang adik kuat di dalam sana."Bagaimana, Dek?" tanya Fairuz yang datang menyusul, lalu duduk di sebelah Farah."Masih dioperasi, Bang. Mudah-mudahan ada kabar baik," jawab Farah seraya mengelus punggung Nazeela."Kamu yang sabar, Zee. Terus berdoa," sarannya pada si gadis.Gadis itu hanya mampu mengangguk dalam diam. Ada sedikit kelegaan di dalam dada, di saat dia terpuruk, masih ada Farah dan Fairuz yang terus mendukung dirinya. Hati Nazeela semakin yakin, tidak akan menjadi orang ketiga di antara keduanya. Dia akan berusaha membantu Farah sembuh dari kanker yang menggerogoti tubuhnya dan tentang permintaan Fairuz, entahlah. Mungkin dengan kesembuhan Farah, serta kebaikan mereka,Tuhan akan menitipkan anak kepada keduanya.💕Lampu merah dari kamar operasi telah mati beberapa saat yang lalu. Kabar baik telah diterima. Operasi Hasan berjalan dengan baik, tinggal menunggu dia melewati masa kritis. Sujud syukur spontan dilakukan Nazeela. Tangis gadis itu pecah seketika dalam pelukan Farah, seiring lepasnya beban yang menghimpit dada sejak kemarin. Dia tak berhenti mengucapkan takbir atas anugerah yang jatuh pada sang adik."Bang, terima kasih. Berkat persetujuan Abang, Hasan bisa segera dioperasi."Saat ini hanya mereka berdua duduk di kursi di depan kamar operasi, karena Hasan masih harus melewati masa pemantauan pasca operasi, sementara Farah pamit mencari toilet di sekitar rumah sakit."Petolonganku tidak gratis," jawab Fairuz dengan raut datar."Maksud Abang?"Pria itu menganjur napas perlahan, lalu menyorot Nazeela tajam. "Kamu ingat 'kan dengan permintaanku kemarin?"Jantung Nazeela segera berdegup lebih kencang. Segera ingatannya berlari pada pertemuannya dengan Fairus dua hari yang lalu."Aku hanya meminta kamu menyetujui pernikahan itu. Mungkin dengan begitu semangat Farah untuk mengikuti program kehamilan bisa kembali tumbuh. Farah adalah duniaku. Sedih dan bahagianya juga milikku. Jadi, berbaik hatilah pada kami," pinta Fairuz pelan. Dia tidak mau orang-orang mendengar pembicaraan mereka.Mungkin akan terdengar kejam dan sangat egois. Saat gadis itu rapuh, dia malah memanfaatkan keadaan itu. Akan tetapi, Fairuz tidak punya pilihan lain. Dia tidak mau menikah dengan wanita pilihan sang ibu, karena itu artinya dia tidak akan bisa lepas dari wanita itu, sementara hatinya telah habis dia berikan untuk Farah. Sedangkan, Nazeela adalah gadis yang terikat budi padanya dan Farah, harusnya si gadis bisa sedikit merelakan diri demi kebahagiaan wanita yang sudah dia anggap kakak sendiri.Nazeela menganjur napas perlahan. Ingin rasanya menceritakan rahasia Farah, tetapi yang keluar dari mulut gadis itu adalah, "Jadi, aku tidak boleh melibatkan perasaan?"Fairus menjawab tegas. "Tidak!"Nazeela meneguk ludahnya yang terasa pahit. Pernikahan macam apa yang akan dia jalani. Berstatus sebagai istri, tetapi tak disentuh, tak dianggap, dan tak dicintai. Sungguh tragis. Bagaimana seandainya nanti pria itu tahu alasan sang istri yang sebenarnya? Apa Fairuz akan tetap teguh pada janji tak akan menyentuhnya? Nazeela tersenyum getir pada jalan hidupnya yang seperti makan buah simalakama."Satu lagi, jangan sampai Farah tau tentang ini, karena dia pasti akan menolak," tambah Fairuz lagi.Nazeela tak punya pilihan lain selain mengangguk, meski hatinya meronta dan meneriakkan tidak adil pada permintaan Fairuz. Namun, apalah dayanya kini, nyawa Hasan dan masa depan mereka berdua kini di tangan pria itu.Satu minggu telah berlalu. Keadaan Hasan perlahan membaik. Remaja itu telah melewati masa kritisnya, meski belum sadar sepenuhnya. Hampir setiap hari Farah menemani Nazeela di rumah sakit, lalu pulang di sore hari setelah dijemput Fairuz. Wanita itu terlihat semakin kurus dan pucat. Namun, selalu menutupi bibirnya dengan lipstik berwarna terang. Akan tetapi, Farah tak bisa mengelabui mata Nazeela, meski tak sedarah, tetapi dia tahu ada yang tidak beres pada wanita tersebut."Kak, sebaiknya kakak istirahat. Ngga usah paksain ke sini, aku ngga papa."Farah tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, kamu ngga usah khawatir gitu."Nazeela menganjur napas perlahan. "Kakak mungkin bisa bohongin orang lain, tapi aku ngga. Kapan terakhir Kakak kemo dan minum obat?"Farah diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu melarikan pandangannya ke arah Hasan yang terbaring diam di atas brankar rumah sakit."Kapan dia akan bangun?" tanya Farah mencoba menghindari pertanyaan Nazeela.
Nazeela setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Dia baru saja mendapat kabar dari Fairuz jika Farah kolaps. Akhirnya, apa yang ditakutkan gadis itu terjadi juga. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa harus secepat itu. Siang, Farah masih baik-baik saja, meski tadi sore ponsel wanita itu tidak aktif saat dia mengabarkan keadaan Hasan."Bang ..."Gadis itu memanggil lirih Fairuz yang menatap kosong ke arah pintu ICU, di mana Farah dirawat. Wajah pria itu terlihat kusut dan kacau. Dia bahkan tak menyadari keberadaan Nazeela di sampingnya, seolah larut dengan kesedihannya.Nazeela tak tahu harus bagaimana membesarkan hati pria tersebut. Jauh di relung, dia juga terpukul mendengar keadaan Farah. Terbayang hari-hari bersama wanita itu. Betapa Farah tak pernah memperlihatkan sakitnya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum tulus, yang mampu menularkan bahagia kepada orang-orang di sekitar. Juga semua celotehnya yang memancing tawa. Dada gadis itu dibekap rasa penyesalan, mengapa dia
Fairuz menutup pintu mobil pelan. Langkah pria tersebut gontai masuk ke rumahnya. Semalaman dia menenangkan diri ke tepi pantai, menatap kerlap-kerlip lampu dari perahu para nelayan. Cahaya di tengah laut itu seperti barisan kunang-kunang yang menari di kanvas langit malam. Begitu larut dengan pikirannya, hingga dia tertidur semalaman di sana, sepoi angin laut semakin melenakan Fairuz ke alam mimpi. Melupakan sejenak kenyataan yang terpampang di depan mata dan berharap esok pagi bangun di atas tempat tidur sambil memeluk istri tercinta.Namun, pria itu harus kembali merasakan denyut ngilu di dada, ketika harapan itu hanyalah pepesan kosong. Nyatanya, dia terbangun karena teriknya sinar mentari yang menebus kaca mobil yang dilapisi filter."Dari mana kamu?"Fairus menghentikan langkahnya ketika mendengar teguran dari seorang wanita, yang sangat dia hafal suaranya. Pria itu berhenti, sejenak guna menganjur napas perlahan sebelum berbalik. Dia yakin akan terjadi perdebatan seperti biasa
Fairuz mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali membunyikan klakson untuk meminta jalan pada kendaraan yang ada di depan. Jika memungkinkan dia menyalip kendaraan tersebut, membuat Kinaya harus berpegangan erat pada jok mobil. Wanita itu memutuskan ikut dengan Fairuz. Dia penasaran kabar apa yang tadi disampaikan oleh Nazeela.Tadi, Fairuz memutuskan sambungan telepon begitu saja tanpa mendengar penjelasan dari Nazeela. Kinaya yang merupakan sahabat pria tersebut berinisiatif mendampinginya. Bukan apa-apa, dia takut Fairuz kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang merugikan, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain."Ke mana lagi?" tanya Ratmi yang melihat Fairuz berlari menuruni tangga menuju pintu keluar, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang rambutnya telah ditumbuhi #uban."Aku ke rumah sakit dulu. Terjadi sesuatu, Ibu ikut?" Alih-alih menjawab. Ratmi malah meneruskan bacaannya sebagai isyarat menolak ajakan Fairuz."Fai, jang
Nazeela menatap sepasang ibu dan anak di hadapan. Kedua orang itu terlihat saling menyayangi. Anak perempuan--yang sepantaran dengannya--begitu telaten menyuapi sang ibu yang duduk di atas kursi roda. Sesekali dia membersihkan sudut bibir ibunya dengan saputangan. Senyum merekah di bibir keduanya. Sorot teduh sang ibu mengingatkan Nazeela pada sosok ibunya.Makam sang ibu masih merah, tetapi cobaan tak jemu bertandang mempermainkan takdirnya. Sejak kepergian wanita itu, air mata seolah betah jatuh di pipinya. Andai saja gadis itu tidak memiliki iman yang kuat, mungkin saja saat ini dia sudah masuk dalam deretan gadis frustasi. Namun, dia selalu menegarkan diri, berpegang teguh pada keyakinan jika Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya."Jangan ngelamun, ngga baik." Suara Dru membuyarkan lamunan Nazeela tentang sang ibu. Gadis itu memalingkan wajah hendak menyembunyikan air yang tergenang di kelopak matanya."Aku boleh duduk di sini?" Nazeela meng
"Kapan aku bisa pulang, Kak?" tanya Hasan yang mulai membaik. Remaja itu sudah sepenuhnya bisa bicara satu minggu pasca operasi, dia tengah bersandar ke tumpukan bantal yang disusun di kepala brankar.Nazeela menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengupas apel. "Tungguin perintah dokter dulu. Kakak takut kalau ada apa-apa nanti."Hasan menggangguk pelan. "Kak, aku minta maaf udah nyusahin. Pasti biayanya gede buat operasi aku."Nazeela menganjur napas perlahan, tangannya kembali lincah mengupas kulit apel merah. "Udah, jangan mikir yang berat-berat. Itu urusan Kakak.""Tapi, Kak. Ibu pasti marah banget sama aku. Sampai sekarang ngga mau jenguk aku di sini," keluh Hasan dengan suara bergetar."Aduh!"Mendengar ucapan Hasan, membuat konsentrasi Nazeela pecah, hingga pisau yang seharusnya membelah buah malah mengiris tangannya. Mata gadis itu seketika memanas, perih segera menjalari dinding hati, sesuatu tak kasat mata seolah menikam jantungnya. "Kakak, ngga papa?" tanya Hasan deng
Fairuz baru saja menempelkan ponsel ke telinga ketika mendengar langkah mendekat. Dia menoleh dan melihat Nazeela berdiri tiga langkah di belakangnya. Gadis itu mengenakan pakaian steril khusus untuk ruang ICU. Sejak Farah anfal dua hari yang lalu, keduanya belum bertemu. Nazeela yang terlalu sibuk mengurusi Hasan dan Fairuz menemani Farah.Fairuz memalingkan wajah kembali menatap Farah yang masih terbaring diam di atas brankar. "Aku baru ingin menelponmu." Suaranya terdengar dingin."A-ada apa, Bang?" Nazeela berjalan lebih dekat ke arah brankar Farah, menggulung sedikit jarak yang terbentang antara mereka."Tolong temani Farah. Aku pulang sebentar," jawab Fairuz dengan raut datar, tanpa melihat lawan bicaranya. Nazeela menganjur napas pelan. Sepertinya pria itu masih kesal padanya. Gadis itu paham dan tak berkecil hati. Fairuz mungkin tak bermaksud kasar, dia hanya ketakutan jika terjadi sesuatu pada orang yang dia cintai."Iya, Abang pulang saja. Istirahat. Biar aku yang jagain K
Maaf, aku menyusahkanmu ...."Lirih suara Farah mengucapkan kalimat pendek itu. Nazeela hanya mengangguk, lidah gadis itu kelu. Bahagia membuncah di dadanya. Dia tidak mengira bisa mendengar suara wanita berlesung pipit itu lagi, meski masih terlihat lemah, setidaknya dokter meyakinkan jika Farah mampu bertahan. Siang ini wanita tersebut telah dipindahkan ke kamar VVIP sesuai permintaan Fairuz via telpon. Setelah Nazeela mengabarkan kondisi sang istri. Haru menyelimuti hati si gadis. Tak dipungkiri pikiran buruk berkali-kali melintas dibenaknya. Namun, selalu dia tepis dan menumbuhkan keyakinan jika Farah pasti akan baik-baik saja."Kakak harus sembuh. Aku ngga mau lihat Kak Farah sakit kayak gini.""Aku juga ngga mau, Zee, tapi ....""Ngga ada tapi-tapian." Nazeela menggenggam tangan Farah yang dipasangi infus, "dokter bilang, udah enam bulan Kakak ngga pernah kemo lagi."Farah terdiam mendengar Nazeela menyela kalimatnya. Memang tidak ada yang bisa ditutupi lagi. Tiba-tiba wanita t