Wajah wanita yang tidak asing, yang sedari tadi terbayang-bayang di kepalaku. Wanita yang menolong anakku Jesen dan membuat Jesen tertawa bahagia. Wanita yang senyumannya membuat hatiku tergelitik, sekarang dia berdiri tepat di hadapanku. Mata kami bertemu dan dia terlihat sedikit bingung dan malu.
Deg...Aku hanya bisa terpaku ditempat, entah aku harus bersikap seperti apa kepadanya. Menganggap seperti tidak mengenalnya, membuat hatiku tidak tenang. Namun jika aku berlagak mengenalnya, pasti akan terasa lebih canggung. Kami baru bertemu dan kenal tadi siang, itu pun hanya sebentar. Apakah aku punya hak untuk berbicara dengannya? Aku harus bersikap seperti apa dengan kondisi seperti ini?Aku melihatnya menuangkan minuman kepada salah satu temanku. Perasaanku menjadi tidak nyaman dan membuat emosiku mendidih. Tanpa sadar aku mencengkeram lengannya dan menariknya keluar dari bar itu. Entah apa yang ada difikiranku saat ini, yang pasti aku hanya mengikuti refleks badanku. Apakah aku marah karena dia menuangkan minuman? Tapi kenapa aku harus marah? Atau aku marah karena pekerjaan dia yang seperti ini? Aku masih berharap jika dia disini hanya untuk sesekali refreshing sepertiku.Setelah keluar dari bar, aku melepaskan cengkeraman tanganku dan berbalik menghadapnya. Aku lihat dari sudut mataku, tangan yang baru saja aku cengkeram memerah. Itu membuatku sedikit bersalah kepadanya."Kenapa aku begitu kasar kepadanya?" rutukku dalam hati."Kenapa kamu ada disini?" tanyaku memberanikan diri."Saya bekerja disini, apa anda tidak melihatnya?" jawabnya santai yang membuatku terpancing emosi."Jadi kamu bekerja disini? Oh aku mengerti. Aku tidak menyangka kamu orang yang seperti itu. Aku hanya ingin bilang jangan pernah kamu berurusan lagi dengan anakku." kataku yang tersulut emosi."Maksud anda apa ya? Lagipula bagaimana saya bisa berurusan dengan anak anda lagi? Saya hanya bertemu karena menolongnya untuk mencari papa yang tidak menjaganya." jawabnya sarkas."Aku menjaganya, Jesen pergi ketika aku sedang menerima telepon sebentar. Nanti walaupun kamu tidak sengaja bertemu lagi dengan Jesen, anggap saja kamu tidak mengenalnya." teriakku.Aku pun bingung kenapa aku berkata kasar seperti itu. Tapi mulutku tak bisa dikontrol, entah perasaan apa yang merasukiku hingga bisa bersikap seperti ini."Huh, alasan. apakah anda sudah minta maaf kepada anak anda atas kelalaian anda? Saya rasa belum, pasti anda lebih mementingkan ego anda dan menganggap diri anda tidak bersalah sama sekali. Lagipula Memang saya kenapa? Kenapa saya harus sampai berpura-pura tidak mengenali Jesen?" tanyanya kesal."Dengan pekerjaanmu ini, kamu akan membawa dampak buruk untuk anakku, jadi jangan pernah muncul dihadapannya lagi!" kataku sambil merutuki diri sendiri.Dia pasti marah terhadapku, terlihat dati tatapan mata dan bibirnya yang tadi siang menyinggungkan senyuman kini terlihat mengerucut menahan amarah. Bagaimana dia tidak marah dengan kata-kataku yang seperti melecehkannya?"Maaf ya tuan, saya memang pelacur. Tapi saya juga tidak akan mengajarkan hal buruk kepada anak kecil. Lagi pula siapa anda sampai saya harus mendengar penghinaan ini? Jangan menghakimi saya kalau anda tidak mengenal siapa saya, dan jika tidak paham dengan kehidupan yang sudah saya jalani. Saya juga dengan senang hati menganggap saya tidak mengenal saya, karena memang nyatanya kita hanya tidak sengaja bertemu sekali. Jadi saya mohon anda juga anggap tidak kenal dengan saya dan jangan menghina saya lagi!" teriaknya kesal melampiaskan semua amarahnya dan pergi meninggalkanku.Seperti tertohok oleh kata-katanya, akupun hanya bisa berdiri mematung di depan pintu bar itu. Pikiranku berkecamuk mencerna semua kejadian ini, masih tidak habis pikir dengan tindakanku yang baru saja kulalukan. Hatiku sangat nyeri, seperti merasakan rasa sakit yang dia rasakan. Akupun mencoba menenangkan diri dan memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.Entah kenapa dadaku terasa seperti diremas, dan didalam kepalaku seperti ada siaran ulang yang menayangkan kejadian seharian ini yang membuat tenagaku sangat terkuras. Rasa bersalah juga membuatku masih merutuki diri sendiri, dengan kebodohan yang aku lakukan tadi.Aku berjalan kembali menuju meja di bar tadi, aku tidak melihat Daisy duduk disana yang membuatku merasa sedikit lega kalau dia pergi. Sampai saat ini, aku masih tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi kepadanya. Namun tidak beberapa lama, terlihat Daisy yang kembali ketempat duduk kami. Aku melihat, dia memilih tempat duduk yang berada paling jauh dari tempatku. Tatapan mataku yang tajam mengarah padanya, namun aku tidak bertindak apa pun ketika dia kembali menuangkan minuman kepada teman-temanku.Wajahnya sedikit terlihat pucat walaupun dia menutupinya dengan riasan. Rasa bersalah langsung menghampiriku seketika. Badannya yang kecil terlihat sangat rapuh, walaupun dia berusaha bersikap tenang. Aku pun membulatkan tekad untuk meminta maaf kepadanya, tapi aku bingung harus bagaimana menyampaikannya.Ketika jam menunjukkan hampir jam dua belas malam, terlihat Daisy meninggalkan tempat duduknya. Akupun mengikutinya dari belakang, dan melihat cara berjalannya sedikit sempoyongan yang membuatku menjadi khawatir. Sesampainya di luar hotel, aku melihat dia hampir terjatuh. Aku dengan sigap meraih tubuhnya sebelum terjatuh, aku melihat dia kaget. Tanpa berkata apapun aku meraih tangannya dan menariknya dengan lembut untuk mengikutiku menuju tempat parkir."Masuklah!" pintaku dengan nada lembut."Anda mau membawa saya kemana?" tanyanya dengan ekspresi bingung."Sudah masuklah!" jawabku lagi sambil menarik tangannya lembut agar masuk kedalam mobil."Berikan aku nomor atasanmu." pintaku ketika kami berdua sudah duduk di dalam mobil, sambil menyodorkan handphoneku kehadapannya."Atasan saya? Maksud anda Mami?" tanyanya terlihat semakin bingung."Entahlah, mungkin itu." jawabku ragu"Buat apa anda membutuhkan nomor Mami?""Nanti kamu akan tahu, bisa minta tolong berikan?"tanyaku sambil tersenyum.Dia pun mengetikkan sederet angka di layar ponselku dan menyerahkannya kembali kepadaku dan menapku dengan ekspresi yang benar-benar butuh penjelasan. Aku paham dengan maksud tatapannya itu, namun aku tidak menghiraukannya. Kemudian aku menghubungi nomor yang diberikannya tadi."Halo, saya akan membawa Daisy selama tiga hari, saya akan membayar mahal, sekretaris saya akan mengurusnya." ucapku kepada seseorang di ujung telepon sana.Akupun penutup sambungan telepon itu sebelum orang itu membalas ucapanku. Aku bersikap seperti sudah mendapatkan persetujuan. Kemudian aku menghubungi Andre, aku menyuruhnya untuk mengurus semuanya di bar tadi. Andre yang sudah lama menjadi asisten dan sekretaris kepercayaanku, langsung menyanggupi tanpa bertanya apapun."Anda akan membawa saya kemana? Apa maksud telepon anda tadi?" tanya Daisy dengan sedikit berteriak."Kamu sudah dengar kan tadi, tiga hari ini kamu milikku." ucapku lembut dengan sedikit menyunggingkan senyuman terbaikku."M-maksud anda? Saya tidak mau, tolong turunkan saya. Saya mohon saya lelah, biarkan saya pulang." teriaknya sambil berusaha membuka pintu mobil.Aku mulai menepikan mobil, setelah mobil berhenti dia berusaha untuk membuka pintu kembali. Aku memang sengaja masih mengunci pintu mobil, agar dia tidak keluar. Aku menundukkan kepala, dan menyenderkannya di atas setir mobil. Akupun kembali membulatkan tekad untuk meinta maaf, namun sedikit takut dengan reaksinya. Biar bagaimanapun tadi aku memang sangat keterlaluan."maaf." hanya kata itu yang dapat meluncur dari mulutku.Bersambung"maaf." Aku masih menundukkan kepalaku di atas setir. Satu kata itu lolos dari mulutku dan membuatku takut untuk melihat reaksinya. Akupun berusaha memberanikan diri untuk melihat reaksi dari ucapanku tadi. "Sebenarnya apa maksud anda?" tanyanya sedikit putus asa.Melihat tatapannya yang terlihat marah bercampur bingung membuatku kembali membulatkan tekad untuk meminta maaf dengan benar."Aku minta maaf atas sikapku tadi, aku juga meminta maaf atas perkataan dan perbuatan kasarku." mohonku tulus. Aku pun menghadap ke arahnya dan menatap matanya agar dia bisa melihat permintaan maafku tulus. Dia menatapku membisu, mungkin dia masing bingung dengan tindakanku yang labil. Aku pun juga tidak terlalu berharap dia akan langsung memaafkanku, aku menunggu beberapa saat namun dia tetap tidak merespon ku."Selama tiga hari ini istirahatlah. Aku tidak akan macam-macam denganmu." Aku menjelaskan agar dia tidak salah paham, tapi dia tetap tidak memberi respon.
Aku terbangun di tempat asing, kemudian aku teringat semalam aku datang ke rumah James. Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang James pikirkan, sehingga bisa melakukan hal seperti ini. Padahal James kini tahu apa pekerjaanku, jika itu pria lain pasti langsung menghindar, ketika tahu apa pekerjaanku. Tetapi James malah memberiku kebebasan selama tiga hari ini dan membayarnya dengan sangat mahal tanpa menyentuhku. Aku melihat jam menunjukkan pukul empat pagi, aku pun bangun dari tempat tidur. Setelah mencuci muka aku keluar kamar dan menuju dapur. Sudah lama aku tidak memasak, Mami melarangku memasak ataupun bersih-bersih setelah aku bisa bekerja. Padahal memasak adalah satu-satuya hal yang aku senangi di rumah itu. Aku melihat penanak nasi yang masih kosong, aku pun melihat-lihat bahan makanan yang ada di kulkas dan lemari. Setelah menemukan apa yang aku cari, aku pun mulai memasak. Aku berniat untuk memasak nasi merah, dan juga membuat omelette di tambah sosis goreng u
Sesampainya aku di ruang tamu, ternyata Jesen dan James sudah menungguku sedari tadi. Aku melihat mereka berdua mendatapku tanpa berkedip, dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku tersenyum malu dengan tatapan mereka berdua, berbeda dengan tatapan orang-orang yang selama ini melihatku. Biasanya tatapan orang terhadapku hanya sebatas tatapan nafsu dan tatapan iri. Ketika aku sudah berada di hadapan mereka, akhirnya mereka pun sadar dari lamunannya. Jesen langsung memelukku tiba-tiba, entah apa yang sedang anak kecil yang menggemaskan ini pikirkan. Aku kembali mengelus-elus kepala Jesen yang seperti candu untukku. "Tante sangat cantik sekali, Jesen tadi sampai sempat tidak mengenali." puji Jesen yang ceplas-ceplos layaknya anak kecil dan itu membuatku sedikit malu. Aku sedikit berharap mendapatkan pujian dari James juga, namun setelah Jesen selesai memelukku James masih diam saja tanpa berkata apa pun. Rasa kecewa membuat hatiku sedikit nyeri, namun aku tetap berus
Pagi harinya aku kembali terbangun sedikit kesiangan, mungkin karena kelelahan aku tertidur sangat pulas. Aku keluar dari kamar menuju dapur, niatku ingin segera memasak untuk sarapan. Namun sesampainya di dapur aku melihat James yang sedang membuat sandwich telur sangat banyak. Aku tersenyum geli melihat tubuh kekar James yang sedang memakai celemek berwarna merah muda. James yang menyadari kedatanganku langsung tersenyum sambil mengalihkan pandangannya kepadaku. Tidak hanya mata hitamnya yang membuatku seperti tenggelam, senyumannya pun membuatku meleleh dibuatnya. Setelah James selesai menyiapkan semuanya, dia langsung menghampiriku masih dengan celemek yang melekat di tubuhnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" tanya James sambil memelukku dari belakang. Aku sedikit kaget dengan panggilannya terhadapku yang berubah dalam semalam. Aku tersenyum menanggapi pertanyaan James. Sebenarnya aku masih canggung mendengarkan panggilan itu, walaupun aku juga menyukainya. Suar
"Bisa bicara sebentar sayang?" James bertanya ketika aku keluar dari kamar setelah menceritakan buku dongeng kepada Jesen hingga dia tertidur."Bicara apa? Apa aku perlu membuatkan kopi?" Aku berjalan menuju dapur tanpa menunggu jawaban.Namun baru dua langkah, tanganku di tahan oleh tangan James yang besar dan menarikku ke pelukannya. Entah mengapa James memelukku lumayan lama tanpa berkata apa pun, membuatku bingung dengan sikapnya. Setelah dia selesai memelukku, tangannya menuntunku menuju ruang keluarga dan kami pun duduk di sofa."Ada apa James? Apa kamu ada masalah?""Bukan aku sayang, tapi kamu.""Aku? Memangnya aku kenapa James?""Kamu terlihat berbeda setelah mengantar Jesen ke sekolah tadi sayang. Sebenarnya apa yang terjadi ketika tadi di sekolah,hem?""Tidak terjadi apa-apa James, aku cuma merasa canggung karena baru pertama mengantar anak kecil ke sekolah." jawabku sedikit berbohong."Aku tahu bukan itu sayang. Kamu tidak mau berceri
Aku terbangun dengan pemandangan wajah pria yang aku cintai. Wajah James yang masih tertidur lelap sangat tampan, rahang yang tegas dan hidung mancungnya membuat semua terlihat sempurna bagiku. Aku pun bergerak perlahan agar James tidak terbangun dan turun dari tempat tidur.Hari ini harusnya menjadi hari terakhirku bersama mereka jika sesuai dengan perjanjian awal James dan Mami. Aku tidak tahu rencana apa yang akan dilakukan James sebenarnya, aku pun juga tidak ingin mengetahuinya.Aku sudah cukup bersyukur dengan semua yang sudah dilakukan oleh James untukku. Sebenarnya aku sudah sejak lama mengumpulkan uang untuk menghancurkan Mami dan rumah bordil itu, tapi aku sendiri pun tidak tahu harus memulainya dari mana.Aku berjalan menuju dapur dan mulai membuat sarapan. Setelah selesai aku langsung kembali ke kamarku untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika selesai aku belum mendengar suara James ataupun Jesen, aku masuk ke kamar James untuk membangunkanny
"Kamu sangat cantik, sayang." ucap James sambil mengecup dahiku. Aku sangat malu dengan perlakuan mereka berdua, namun aku juga sangat bahagia dibuatnya. Kami bertiga pun berangkat menuju restoran yang sudah disiapkan oleh James. James tadi bercerita tentang keluarganya, orang tuanya yang masih lengkap dengan Mama Elena yang suka merawat tanaman dan Papa Ricard yang sudah pensiun namun terkadang tetap memantau perusahaan dari rumah. Kemudian ada satu kakak bernama Jeremi dan kedua adik kembarnya yang bernama Alex dan Alice, aku sedikit terkejut sewaktu James menceritakan bahwa dia memiliki adik kembar. Pasti seru jika bisa memiliki anak kembar, itu membuatku sempat membayangkan jika kami nanti memiliki anak kembar. Aku sudah membayangkan sampai sejauh itu, padahal kini aku baru tahap awal untuk meminta ijin keluarga James. Kami sampai di restoran sedikit terlambat, terlihat semua keluarga sudah berkumpul di meja yang di tata menjadi satu agar semua keluarga d
Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan sarapan dan perlengkapan sekolah Jesen, aku juga menyiapkan pakaian yang akan James pakai untuk bekerja. Ini hari yang sangat aku tunggu-tunggu ketika mengingat kalau hari ini pertemuanku dengan sahabatku kembali.Sudah empat hari aku tidak bertemu dengannya, padahal selama ini aku selalu kumpul dengannya ketika kita di rumah bordil. Lina orang satu-satunya yang sangat peduli denganku di rumah bordil itu, walaupun usianya lebih tua dua tahun dariku tapi dia tetap menyuruhku untuk memanggilnya hanya dengan nama. Dia bilang merasa risih bila aku terus memanggilnya kakak, katanya dia ingin tetap merasa muda waktu itu.Aku sangat takjub ketika memainkan ponsel yang diberikan James semalam, semua bisa aku lakukan hanya dengan satu alat. Aku menekan nama Lina di layar ponselku, terdengar suara deringan ponsel hingga terdengar sebuah suara dari seberang sana dan nampak dirinya yang sedang bangun tidur."Bangun woi, matahari u