"Supaya kamu sadar Raymond! wanitamu bukanlah pilihan terbaik!" Wanita paruh baya itu nampak menggebu. "Bagi Raymond Rara adalah pilihan terbaik!" Kekesalan wanita paruh baya itu memuncak, anaknya sungguh keras kepala. Rara hanyalah wanita biasa, sedangkan Jessica adalah pewaris dari keluarga Richard. "Jika kamu keras kepala jangan salahkan Mama apabila Mama melakukan sesuatu pada wanita itu!" Nada ancaman mulai keluar sehingga membuat Raymond mengepalkan tangan. "Kalau Mama berani menyentuhnya maka Raymond lah yang akan menjadi musuh Mama!" Pria itu meninggalkan sang Mama setelah ancaman juga keluar dari mulutnya, dia malas mendebat sang Mama yang tidak mengerti perasaannya sama sekali. "Beraninya kamu mengancam wanita yang melahirkan kamu Raymond!" Teriaknya. Raymond berhenti, dia menoleh sembari berucap pedas, "Andai dulu Raymond bisa memilih pasti Raymond tidak memilih lahir dari rahim wanita seperti Mama." Seketika Mama Raymond berteriak tidak terima, kata-kata anaknya
'Saya berada di rumah sakit Tuan' Suara Rara bergetar, dia takut jika sang Tuan akan marah padanya. Tanpa berkata apa-apa Raymond menutup sambungan telponnya secara sepihak, dan ini membuat Rara sedikit bingung. "Dia marah?" tanya Reyhan yang cukup khawatir dengan ekspresi Rara. Rara yang tidak tahu hanya menggeleng, dia juga tidak tahu apa Raymond marah atau tidak. Tak ingin memikirkan Raymond, Rara dan Reyhan mengobrol kembali, Reyhan yang masih memiliki pekerjaan segera mengambil laporan yang dia simpan di dalam lemari. "Ra, aku mau ngecek pasien, kamu tunggu disini dulu ya." "Saya ikut dok, sekalian belajar." Reyhan mengangguk, kemudian mereka berjalan memasuki ruang rawat inap pasien Reyhan. Rara mencoba mengecek infus dan detak jantung pasien, gayanya sudah seperti seorang dokter, hal ini membuat Reyhan tersenyum melihat kecakapan Rara dalam menangani pasien. "Kamu sangat cakap sekali Ra, lain kali gantian tugasku ya," goda Reyhan. Tak terasa tiga belas kamar pasien s
Pria berpakaian hitam itu membawa Amanda ke sebuah rumah yang tidak asing lagi, ya itu adalah rumah Raymond, rumah yang pernah dia kunjungi bahkan pernah menginap beberapa waktu lalu. "Bukankah ini rumah Tuan Raymond?" gumamnya. Seorang pria dari dalam rumah menyambut Amanda, dia meminta Amanda untuk mengikutinya. Di depan sebuah ruang, pria itu meminta Amanda untuk menunggu terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian pria itu kembali dan mengajak Amanda masuk. Bola mata Amanda memutar melihat ruangan itu, di sebuah kursi terlihat seorang wanita yang duduk sembari menatapnya. "Ini Nyonya, wanita yang tadi bersama Tuan Raymond." Wanita paruh baya tersebut tersenyum, "Jadi apa yang kamu lakukan dia kafe itu bersama anakku?" Sontak Amanda terkejut, ternyata wanita yang kini ada di depannya adalah mama Raymond. "Sa-saya ha-hanya memberikan informasi Nyonya." Agak terbata dia menjawab pertanyaan Mama Raymond. Kerutan-kerutan di wajah cantik wanita paruh baya itu mulai kelihatan, "Info
Rara berlari naik ke lantai atas, dia segera mencari sang Tuan. Pertama yang dituju adalah kamar mereka namun tidak ada tanda-tanda Raymond ada di dalam."Ruang kerja," katanya lalu berlari menuju ruang kerja, saat dia membuka pintu terlihat Raymond tengah duduk di sofa.Keadaannya benar-benar kacau, luka di tangannya dibiarkan begitu saja."Tuan." Sambil berjalan dia memanggil tuannya.Tanpa aba-aba air matanya terjun bebas, melihat Raymond yang seperti ini benar-benar membuatnya sakit."Kenapa anda harus menyiksa diri seperti ini?"Tangan Rara tergerak memegang tangan sang Tuan dia ingin melihat seberapa dalam lukanya namun tangannya malah disingkirkan dengan kuat."Sakit di tangan tidak ada apa-apanya dibanding sakit hatiku! dan itu karenamu!" Nadanya meninggi membuat Rara menunduk ketakutan.Rara tak tahu lagi harus bagaimana, Raymond begitu keras hatinya, meskipun dijelaskan dan dibujuk tetap sama, penjelasannya tidak bearti sama sekali."Lalu mau anda bagaimana? jika memang keha
Sepulang dari belanja sepasang kekasih itu berkutat di dapur, Rara sibuk memasukkan belanjaannya ke dalam kulkas sedangkan Raymond meletakkan belanjaan di kitchen set. "Tadi nyuruh pelayan kemari kan enak nggak usah repot-repot seperti ini." Lelaki itu nampak protes, pasalnya dia tidak pernah sama sekali melakukan hal tersebut. "Tuan, urusan begini nggak harus menyuruh pelayan, lagian kan menyenangkan bisa seperti ini berdua, berasa seperti pasangan suami istri." Rara terkekeh sambil menatap Raymond. Raymond tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya, hanya bersama Rara dia merasakan hal seperti ini, wanita ini membuat perubahan besar bagi Raymond. Selesai menata belanjaan, mereka berdua membersihkan diri dan setelahnya bersantai di balkon sambil makan camilan yang tadi dibeli. "Langit begitu cerah ya Tuan," kata Rara memulai pembicaraan dengan sang Tuan. "Iya," sahutnya singkat. "Tuan, saya sangat bahagia sekali karena salah paham di antara kita telah selesai." "Iya." Lagi-lagi R
Kedua wanita licik bergegas keluar dari penthouse dengan senyuman yang mengembang, mereka tidak sabar menanti kabar perpisahan Raymond dan Rara secepatnya. Di sisi lain, Raymond yang masih menunggu pesawat pribadinya nampak resah, dia merasa was-was namun tak tau kenapa hingga sebuah panggilan masuk. "Ada apa?" Anak buahnya memberitahu jika Reyhan datang ke penthouse. Seketika Raymond mematung, apa ini jawaban atas kegelisahannya? apa ini yang membuatnya resah? Tanpa pikir panjang Raymond berdiri, dia memerintahkan David untuk membatalkan keberangkatan mereka, tentu David merasa bingung padahal sebentar lagi pesawat selesai disiapkan. "Tuan bagaimana mungkin anda membatalkan keberangkatan kita, sepuluh menit lagi kita sudah bisa lepas landas." Pria ini bergegas berjalan mengikuti langkah sang Tuan. "Hatiku tak tenang, pikiranku gelisah dan was-was, Reyhan datang ke penthouse tanpa memberi tahuku." Ada dua kemungkinan yang ada di dalam kepala Raymond, terjadi sesuatu dengan ke
Keesokannya Rara datang ke rumah pamannya, dia ingin menemui Amanda dan Bibinya, meminta mereka untuk mengatakan yang sebenarnya."Bibi dan Amanda mana paman?"Melihat keponakannya datang dengan keadaan yang tak baik-baik saja membuat sang Paman yakin jika istri dan anaknya berulah lagi."Bibi dan Amanda pergi entah kemana Ra, mereka memutuskan untuk pergi dari rumah ini." Jawaban sang Paman bak petir yang menyambar dirinya, padahal dia ingin agar bibinya bertanggung jawab atas semua yang terjadi.Tangis yang dia tahan kini tak terbendung lagi, air matanya keluar dengan deras, mengingat betapa kejamnya Bibi serta sepupunya yersebut."Ada apa Ra?" tanya sang Paman.Rara tidak ingin membuat pamannya bersedih oleh karena itu dia menggeleng dan cepat-cepat pergi.Bukannya kembali ke apartemen, Rara malah pergi ke kantor Raymond, dia berharap Raymond menyelidiki semuanya dan mau menerimanya kembali namun semua tidak sesuai ekspektasi.Sesampainya di kantor Raymond, Rara malah diusir oleh
Melihat Rara seperti ini membuat Reyhan tak tega, tapi apa yang bisa dia lakukan? dalam penthouse Raymond tidak ada CCTV jadi sulit untuk menemukan bukti apapun, apalagi Amanda dan Bibi Rara pergi entah kemana. Setiap harinya Rara hanya diam, tentu Reyhan khawatir dengan semua ini. "Ra, please jangan seperti ini. Hidup harus berlanjut Ra." Dengan lembut Reyhan mencoba bicara dengan Rara. Tak tau harus bagaimana Reyhan meminta bantuan paman Rara, siapa tahu kedatangan sang paman bisa menghibur Rara dan sedikit mengembalikan senyumnya. "Maaf Nak Reyhan, paman tidak bisa membujuknya." Nampak seraut wajah sedih dari setiap kerutan di wajahnya. "Kalau boleh biarkan Rara tinggal sama Paman Nak, bagaimanapun juga dia adalah tanggung jawab paman." Mendengar permintaan sang Paman, Reyhan nampak tidak setuju, dia takut jika Amanda dan Mamanya kembali mereka akan membuat Rara menderita kembali. "Sekarang dia tanggung jawab saya Paman, saya harus mempertanggung jawabkan perbuatan saya, lag