Nah nah , apakah David mampu mengungkap salah paham ini? Nantikan terus ya kak, yuk saling komen biar semangat nulisnya, makasih kakak
David segera membuang botol itu kemudian dia mengambil gelas yang ada di meja. Matanya mengamati bagian bawah gelas, benar saja ada sesuatu yang mengendap di bawah. Tak hanya mengamati, dia juga mencium aroma dari cairan yang tersisa, dan kedua kalinya kepalanya terasa pening. "Tidak salah lagi." David pergi ke kamar untuk memastikan kecurigaannya, dia mengambil tisu yang masih bercecer, saat tangannya meremas tisu tersebut dia tidak merasakan apa, tisu-tisu itu layaknya tisu yang hanya diremas dan dibuang bukan tisu yang habis dipakai untuk mengusap sesuatu. "Bearti mereka tidak melakukan apa-apa." David segera membuang beberapa tisu yang tercecer ke tempat sampah, dia tidak ingin calon pembeli penthouse tersebut merasa tidak nyaman ketika mereka melihat area kamar. Tak berselang kemudian, terdengar suara bel berbunyi yang artinya calon pembeli sudah datang. Dengan santai David turun kembali ke bawah. "Silahkan masuk Tuan dan Nyonya." Melihat isi dan perabot penthouse Raymond
"David akan kesini, kembalilah ke kamarmu!" Sikap Raymond masih begitu dingin terhadap Jessica sehingga membuat wanita ini kesal. "Kita akan segera menikah begini kah sikapmu Ray!" Dia nampak tak terima. Raymond tertawa sambil melihat Jessica, awalnya Raymond tidak ingin mengungkapkan apa yang dia rasakan tapi sikap Jessica begitu menyebalkan hingga akhirnya Raymond mengatakan jika dia tidak pernah sedikit pun mencintai wanita yang bertunangan dengannya tersebut. "Kamu tahu biji buah stroberi?" Jessica mengangguk, tapi dia merasa ambigu dengan pertanyaan Raymond. "Kecil bukan?" Lagi-lagi Jessica mengangguk, sedangkan Raymond tersenyum miring. "Aku tidak menemukan cinta untukmu di hatiku walau sebesar biji stroberi." Ucapan Raymond membuat Jessica marah dan kesal, dia tidak menyangka jika pria yang kini menjadi tunangannya tidak mencintainya sedikit pun. "Tega kamu Ray!" "Ini semua kemauan Mama bukan kemauanku!" Jessica yang tidak terima segera mengadu pada Mama Raymond,
Reyhan dan Rara bak hilang ditelan bumi, dari data-data di bandara tidak ada satupun penumpang yang bernama Reyhan dan Rara, sebenarnya mereka kemana?David semakin dibuat bingung, sedangkan dalam sambungan telponnya tadi dia mengatakan iya pada sang Tuan.Mau nggak mau dia mengungkap hal yang sebenarnya pada Raymond, mendengar ucapan David membuat Raymond patah hati kembali, padahal dia tidak sabar untuk menemui Rara."Jadi kamu tidak tahu dimana mereka?" tanya Raymond dengan dingin."Maafkan saya Tuan, saya sudah mencari informasi, mulai stasiun, bandara dan juga terminal namun tidak ada nama mereka disana." Jelas David."Setiap persoalan selalu bisa kamu selesaikan tapi mengapa kasus ini kamu seolah angkat tangan."David hanya bisa menunduk, segala yang dia bisa sudah di optimalkan, bahkan semua anak buahnya diminta mengecek CCTV disetiap jalan namun hasilnya nihil."Saya akan berusaha lebih keras lagi Tuan untuk menemukan mereka." Janji itu yang David lakukan untuk membujuk Tuanny
"Maaf ya Ra, kita pagi ini hanya makan roti dan selai, aku belum sempat belanja keperluan untuk memasak dan lain-lainnya," ujar Reyhan.Rara tersenyum, dirinya sangat tidak enak dengan Reyhan, sudah diberi makan saja dia sudah sangat bersyukur."Pak Rey, jangan begitu. Saya malah tidak enak," sahutnya.Dia tidak ingin Reyhan terlalu memanjakannya, urusan dapur adalah tugas wanita jadi dia lah yang harus mengaturnya."Nanti kita pergi belanja bersama ya Pak Rey." Senyumnya begitu menawan membuat hati Reyhan teduh.Agak siang mereka memutuskan untuk belanja, cara Reyhan berbelanja sangat berbeda dengan Raymond, Reyhan nampak melihat kandungan gizi setiap makanan yang akan dia ambil.Ingatan Rara akan Raymond hadir kembali, tanpa terasa matanya berkaca, tak bisa dipungkiri sampai saat ini"Apa yang anda lihat Pak Rey?" tanya Rara."Gizinya Ra, aku nggak mungkin memberi kamu makanan yang nggak bergizi sama sekali."Rara tertawa, apa seperti ini jika Dokter berbelanja? kandungan gizi sanga
"Iya." Suaranya dingin dan penuh keterpaksaan. Jiwanya benar-benar menjerit, sampai saat ini Rara masih belum ditemukan, sedangkan pernikahannya tampak di depan mata. Pria berkuasa itu semakin tak menentu, kelihatannya sudah terlambat jika ingin membatalkan semua. Seminggu telah berlalu, kini Raymond dan Jessica sudah ada di bandara untuk berangkat ke Selandia Baru. "Apa yang kamu pikirkan Ray?" tanya Jessica yang merasa heran dengan Raymond. Pandangan Raymond begitu kosong, seolah ada yang dipikirkan saat ini. "Nggak ada." Terdengar begitu dingin. Begitulah Raymond, sikapnya begitu dingin dan juga acuh tak acuh terhadap Jessica, namun tidak membuat wanita itu menyerah. Baik Mama Raymond maupun Jessica tidak ada yang bisa mendampingi ke Selandia Baru karena mereka ada urusan masing-masing. "Hati-hati, semoga prosesi prewed kalian berjalan lancar." Karena pesawat akan segera berangkat, keduanya memutuskan berjalan masuk, di dalam pesawat Raymond sengaja memejamkan mata agar
"Tuan apa ini anda?" Wanita itu bergumam dan terus menatap pria yang terkapar tak berdaya di depannya. Biasanya Raymond selalu terkapar tak berdaya di sampingnya tapi kali ini penyebab terkaparnya berbeda. Dia terus melamun hingga seorang Dokter membuyarkan lamunannya. "Ra, pasien tidak akan sembuh jika kamu hanya menatapnya." Suara Dokter wanita itu membuat Rara tersentak kaget. "Baik Dok." Segera dia mendekat dan mengangkat tangan Raymond.Rara terus memeriksa tangan Raymond dengan air mata yang terus jatuh. Tangan itulah yang dulu selalu membelai rambutnya, mengelus pipinya dan terkadang tangan itu pula yang berbuat kasar terhadapnya. "Tangan ini." Dia terus bergumam, air matanya membanjiri pipi bahkan sampai terjatuh tepat di tangan Raymond. Dengan lembut dia mengoleskan salep agar luka bakarnya tidak bisa kering tak hanya itu dia juga memeriksa keadaan pria yang pernah menjadi kekasihnya tersebut. Rara ingin keluar dari ruang UGD karena pekerjaannya hari ini telah usai t
Rara menghela nafas dalam-dalam, dia mendongakkan kepala agar air matanya tak kembali jatuh. Dia membenahi masker yang dikenakan, kemudian berjalan mendekati Raymond. Hal pertama yang dilakukan adalah memeriksa cairan infus, dengan tangan bergetar Rara menulis hasil yang dia dapat. Melihat Raymond yang juga melihatnya membuat Rara semakin bergetar hebat, air mata menganak sungai di pelupuk mata, jantung kembali berdetak tak menentu. "Kenapa gugup sekali?" tanya Raymond dengan dingin. Selama dua tahun tak bertemu sang Tuan masih saja dingin, persis ketika mereka pertama kali bertemu. Rara hanya bisa menggeleng, dia tidak berani mengeluarkan suara. Kini waktunya Rara memeriksa tangan Raymond, tangan pria itu terlihat melepuh hal ini membuat Rara tak tega. Dia mendekati Jessica yang sibuk memainkan ponsel, karena saat Rara memeriksa Raymond tadi Jessica menerima panggilan telpon. "Saya akan mengoleskan salep Nona." Ucapan Rara begitu lirih, hal ini sengaja dia lakukan agar Raymon
David telah tiba di Selandia baru, dia segera pergi menemui Raymond yang kebetulan saat ini sendirian di ruang rawat inapnya. "Bagaimana bisa seperti ini Tuan?" David begitu cemas melihat luka bakar yang dialami oleh atasannya tersebut. "Entahlah David, api dengan cepat menyulut tanganku." Tak ingin David terus bertanya keadaannya, Raymond meminta asistennya itu untuk menyelidiki suster yang bertugas berkeliling di rumah sakit ini. "Kenapa saya harus menyelidikinya Tuan?" tanya David penasaran dengan tujuan Raymond. "Aku melihat Rara, dan suster itu seperti Rara." Mendengar jawaban Raymond, David nampak terkejut bagaimana bisa Rara berada di negara Selandia baru? Dilarang bertanya apa-apa oleh Raymond, David mengangguk paham dia segera keluar untuk mencari informasi. Setelah mendapatkan informasi, dirinya kecewa karena ternyata suster itu bukanlah Rara melainkan orang lain. "Bagaimana bisa Tuan Raymond tidak bisa membandingkan Nona Rara dan orang lain?" gumam David. Dia se