"Aku mencarimu ke mana-mana," kata Sandra sembari bergelayut manja di lengan Ganesha. Mengabaikan keberadaan Geisha di sana. Ganesha menghembuskan napasnya perlahan. Ia sedikit melirik ke arah Geisha yang sudah bergeser ke belakang, kemudian menekan tombol untuk menutup pintu. "Aku ingin berbelanja," ucap Sandra dengan suara mendayu-dayu. "Bukankah kemarin sudah?" sahut Ganesha. Sandra mengerucutkan bibirnya. "Berbelanja ke luar negeri, maksudku." "Heish ...." Ganesha melangkah keluar begitu pintu lift terbuka di lantai tujuh. Sandra masih menggelayuti lengannya, sementara Geisha berjalan di belakang mereka berdua. Mereka masuk ke ruangan Ganesha bersamaan. "Jangan bersikap seperti ini di area kantor, Sandra." Ganesha menepis pelan wanita yang menempel pada lengannya tersebut. Ia merasa sedikit tak enak hati karena di sini juga ada Geisha. "Biasanya tidak apa-apa," protes Sandra. "Ada sekretarisku. Tolong jaga sikapmu," pinta pria itu. Sandra mendengus. Ia lantas melirik sinis
"Kau tidak pergi ke kantor?" tanya Geisha yang baru saja melihat Ganesha menyusulnya ke dapur dengan pakaian santai. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak biasanya pria itu belum bersiap.Ganesha berdehem pelan, sebelum akhirnya menjawab, "Aku sedang tidak ingin pergi.""Kenapa? Bukankah kau harus menyelesaikan pekerjaan secepatnya, sebelum akhirnya mengambil libur untuk menemani kekasihmu berlibur ke luar negeri?" cecar gadis itu. Suara pisau beradu dengan papan talenan. Geisha tengah memotong sayuran dengan bentuk dadu."Tentang pekerjaan, biarlah menjadi urusanku. Kau tidak perlu ikut campur," sahut Ganesha malas.Geisha tersenyum masam. "Tidak ada yang ikut campur. Aku pun hanya bertanya. Kalau tidak mau menjawab, ya sudah. Lagi pula, aku juga tidak terlalu peduli dengan kegiatanmu."Ganesha meradang. Pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat saat mendengar ucapan Geisha. Setelah pertengkarannya dengan gadis itu semalam, ia langsung saja masuk ke kamarnya, tanpa men
"Kau jatuh cinta padaku," ucap Ganesha seraya kembali menegakkan tubuhnya. Ia tersenyum, seolah merasa bangga. "Ya. Tentu saja. Siapa yang bisa menolak pesonaku?"Geisha sudah tercengang menatap pada pria tersebut. "Aku tidak mengatakan apa-apa. Jangan berbicara seenaknya. Kau mengklaim diriku sebagai milikmu di hadapan adik tirimu. Dan sekarang, kau mengklaim bahwa aku jatuh cinta padamu. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu."Ganesha terkekeh pelan menanggapi ungkapan Geisha. Sementara, gadis itu terlihat memberengut tak suka."Lagi pula, kau ini punya kekasih! Jangan mempermainkan perasaanku!" dengus Geisha seraya kembali menyuap makanannya."Oh .... Sudah tumbuh rasa padaku, rupanya." Ganesha bergumam. "Aku ucapkan terima kasih atas perasaanmu terhadapku. Tapi maaf, aku tidak mungkin bisa membalasnya."Ganesha melirik pada Geisha yang kini semakin memasang wajah muram. Padahal, ia hanya berniat menggoda gadis itu saja. Tapi, sepertinya Geisha benar-benar terlihat marah.M
Segala persiapan untuk berangkat ke Turki hampir selesai. Dokumen seperti paspor, visa, dan kartu identitas lain sudah siap. Tinggal menunggu waktu keberangkatan saja, yaitu tiga hari lagi.Ganesha terlihat berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya saat sebuah nomor yang ia panggil tak kunjung menjawab teleponnya. Pria itu berdecap, juga mengumpat. Ia berniat meninggalkan ruangannya, sebelum akhirnya teringat bahwa Geisha berada di sana."Aku akan keluar sebentar. Kau tunggu di sini saja," ucap pria itu kepada Geisha yang kini berjalan mendekatinya.Gadis itu memegangi lengan Ganesha, dan menatapnya. "Master tidak akan lama, 'kan?" tanyanya dengan wajah lugu."Tidak. Tenang saja. Aku akan langsung kembali saat urusanku selesai." Ganesha menepis perlahan tangan Geisha yang memegangi dirinya. Pria itu berlalu keluar dari dalam ruangannya, meninggalkan Geisha seorang diri di sana."Perasaanku benar-benar tidak enak. Semoga saja tidak terjadi apa-apa," gumam Geisha yang masih mematung
Geisha hampir saja tertidur dalam posisi duduknya di atas sofa kantor, sebelum akhirnya tersentak ketika mendengar suara ketukan pintu. Gadis itu mengucek matanya sejenak, kemudian memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya. Ia pun berjalan mendekati pintu.Tok! Tok! Tok!"Iya, sebentar," sahut gadis itu ketika pintu ruangan tersebut kembali diketuk.Geisha meraih gagang pintu, membukanya perlahan. Gadis itu tertegun untuk sejenak. Menatap pada pria jangkung yang kini berdiri di hadapannya."Oh? Bagaimana kau ada di sini?" tanya pria itu.Geisha masih terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, gadis itu menjawab, "Aku ... bekerja di sini.""Di mana kakakku?" tanya pria itu lagi. Samuel melongokkan kepalanya untuk mengamati ruangan kerja Ganesha di kantor, dan ia tak mendapati pria itu di sana."Ganesh– Ehm! Maksudku, Pak Ganesha sedang keluar. Dia ... ada urusan." Geisha masih berdiri, memegang gagang pintu."Boleh aku masuk?""Oh? Y–ya. Tentu." Geisha menggeser tubuhnya. Memberi
Geisha melirik ragu pada Ganesha yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua tengah berada di loteng rumah sakit saat ini. Berdiri di belakang dinding setinggi delapan puluh sentimeter yang menjadi pagar pembatas. Angin sore menerpa wajah keduanya. Menerbangkan rambut Geisha yang tergerai panjang.Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah. Oh, apa Ganesha berniat mendorongnya dari lantai delapan rumah sakit?"Kau tahu apa salahmu?" tanya Ganesha dengan suara dinginnya. Pria itu masih enggan menatap Geisha. Pandangannya lurus ke arah depan. Di mana hamparan perkotaan padat, berserta gedung-gedung pencakar langit terlihat."Aku sudah minta maaf.""Apa itu cukup?" sela Ganesha. Pria itu lantas menatap pada Geisha yang kini kembali menundukkan kepalanya. "Di mana-mana, wanita sama saja. Mudah berkhianat, mudah pula mengucapkan maaf. Seakan perasaan kami, para pria, tidak ada artinya bagi mereka." Ganesha mendengus di akhir kalimatnya."Tapi, aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.
Tiga hari telah berlalu semenjak insiden di rumah sakit, dan ini adalah hari di mana Ganesha akan berangkat berlibur ke Turki bersama dengan Geisha. Mereka sudah menyiapkan apa-apa saja yang akan mereka bawa sejak semalam, terutama Geisha. Bagi gadis itu, ini adalah perjalanan pertamanya ke luar negeri. Ia sungguh bersemangat."Master, apa aku perlu meminum obat anti mabuk perjalanan?" celetuk Geisha saat ia dan Ganesha baru saja menyelesaikan sarapan paginya.Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Sementara, mereka akan berangkat pukul setengah tiga siang ini."Kau mabuk udara?" tanya Ganesha dengan sebelah alis yang terangkat kala menatap Geisha.Gadis itu menggeleng. "Aku belum pernah naik pesawat."Ganesha terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Bagaimana dengan vitamin yang aku berikan?""Astaga. Iya, iya. Aku meminumnya sejak kemarin," decak Geisha. Ia benar-benar merasa jengah saat Ganesha terus saja mengingatkannya untuk meminum obat dari pria tersebut."Bagus. Jangan
"Apa Master hanya mencoba mengelak?" tanya Geisha, "aah ...." Gadis itu tersenyum geli. "Master menyukai aku?"Geisha berdecap. Ia lantas melirik suasana sekitarnya. Kemudian, pria itu berbisik di telinga Geisha, "Tidak ada hal lain yang aku sukai darimu, selain tubuhmu." Pria itu mengecup cuping telinga Geisha, kemudian melanjutkan, "Apa kau sudah selesai datang bulan? Sepertinya ... aku harus menghukummu karena sudah lancang memberi kesimpulan tentang perasaanku."Geisha bergidik ngeri. Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah saat Ganesha terus saja menggodanya dengan meniup dan mengecup daun telinganya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, saat sebuah lenguhan hampir lolos dari dirinya. "Please ....""Kenapa?" tanya Ganesha dengan suara beratnya. Pria itu masih berbicara di dekat telinga Geisha."Ja–jangan seperti ini di dalam pesawat," peringat gadis itu.Ganesha menyeringai. "Aku rasa, kita bisa mencari hotel di dekat bandara begitu transit di Hongkong.""Hah? Ap–apa?"Tib