"Kenapa kamu ikut kembali? Aku sudah bilang, kembalikan saja uang anakku!" Ucap Bu Ratih dingin.
"Maaf Bu ... ta-pi ... uangnya, sayaa .... kami belum bertemu suami saya. Saya ... tidak tau dimana dia sekarang," sahut Malilah sambil tertunduk.
"Lalu, untuk apa kamu ikut Hanan kembali ke sini? Jangan bilang kamu mau meneruskan bekerja di sini?" Tebak Bu Ratih langsung.
Malilah terdiam, mempertimbangkan saran Hanan sebelumnya.
"Tolong Ibu ... ijinkan saya untuk tetap bekerja di sini! Saya butuh pekerjaan ini!"
Tanpa sadar Malilah mengucapkan kalimat tersebut sudah berbarengan dengan isak tangisnya, sembari menjatuhkan diri di hadapan Bu Ratih. Padahal Hanan tidak menyuruh Malilah untuk melakukan ketiga sarannya secara bersamaan. Tapi Malilah memilih langsung memohon.
Lama Malilah terisak, tak ada jawaban. Bu Ratih tak berucap sepatah kata pun. Malilah sendiri bertekad tidak akan berdiri dan menganggkat wajah sampai Bu Ratih luluh dan menerimanya kembali, seperti ucapan Hanan.
"Sa-ya mo-hon, Bu. I-jinkan sa-ya," pintanya Lagi terbata-bata di sela isak tangisnya.
"Bangunlah!"
Tangis Malilah spontan berhenti. Perintahnya bukan dari suara Bu Ratih, melainkan suara Hanan. Perlahan Malilah mengangkat wajah kemudian langsung berdiri tegak dengan wajah yang terasa memanas. Untung saja malam hari, hingga perubahan warna dan raut wajahnya tak begitu nampak. Sejak kapan Hanan yang berdiri di pintu? Kemana Bu Ratih?
"Jangan bilang sejak tadi dia yang kusembah? Sialan!" Malilah menggerutu pada dirinya sendiri sendiri dalam hati dengan tangan mengepal yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya.
"Masuklah! Kamu kembali diterima bekerja!" ucap Hanan sambil meraih tas dari samping Malilah, kemudian mengantarnya sampai ke kamar semula.
"Mandi cepat, dan ganti bajumu!" Perintah Hanan lagi.
Malilah mengangguk, langsung mencari handuk dan baju ganti dalam tasnya. Sampai di dapur Malilah seperti mengingat sesuatu. Tidak baik bagi ibu yang belum seminggu habis melahirkan mandi air dingin malam-malam. Malilah berpikir sebaiknya ia mandi air hangat. Ia berinisiatif untuk merebus air, dan duduk sebentar menunggu air rebusan mendidih.
Setelah mendidih Malilah langsung membawa air rebusan menuju kamar mandi, dan bengong kemana ia menuang air panasnya yang hanya sepanci tanggung, karena bak mandinya sangat besar.
"Malilaaah! Cepat Mandinya jangan lama-lama!" suara Hanan terdengar dekat.
Aduh!
Malilah makin bingung karena tidak ada baskom yang ukuran besar untuk menuang air. Akhirnya ia kembali ke kamar Arumi."Sudah?" tanya Hanan.
"Ya ampuuuun! Kok belum apa-apa sih! Bergerak cepat sedikit, Malilah!" Omel Hanan.
"Pak Bos, a-ku mau mandi air hangat, ada enggak, baskom yang gedean dikit buat nuang airnya?"
Bukannya menjawab, Hanan malah menatap Malilah dengan wajah dongkol.
"Jadi, kamu mau mandi air hangat? Ngerebus air?"
Malilah mengangguk polos.
"Ya Tuhan. Sini! Kuajarin!"
Hanan memegang lengan Malilah geregetan, dan menariknya ke kamar mandi.
"Ini, Malilah! Kalau mau mandi pakai ini! Tinggal putar buat kamu ngatur tingkat kepanasannya!" Ucap Hanan sambil mempraktekkan cara menggunakan Water Heater di dalam kamar mandi tersebut, lalu meninggalkan Malilah buru-buru karena terdengar suara Arumi bangun dari kamar.
"Cepat Malilah mandinya! Arumi haus!"
Malilah tak menjawab lagi, buru-buru mandi dan berpakaian. Tiba-tiba saja ia merasa sangat rindu ingin memangku dan menyusui Arumi.
Setelah menyusui Arumi, Malilah merasa perutnya sangat lapar. Entah lupa karena terlalu sibuk mondar-mandir atau sengaja, Hanan tak ada mengajaknya makan dari tadi.
Malilah tak tahan lagi. Lapar yang ia rasa bukan lapar biasa. Ini laparnya seorang wanita menyusui. Malilah memberanikan diri ke dapur walau tanpa di persilahkan untuk mencari makanan.
Terdengar suara brisik dari dapur. Malilah memperlambat langkah. Dahinya mengernyit melihat Hanan sedang memasak seorang diri.
"Pak Bos! A-ku la-par!" ucap Malilah malu-malu.
"Iya! Tunggu sebentar! Duduk saja di situ!" Hanan menunjuk ke kursi. Tak lama kemudian, ia mengambil nasi di piring dan meletakkan di depan Malilah dengan semangkuk sup panas.
"Maaf, makan pakai sup telur aja dulu ya. Mama enggak masak. Sepertinya Mama masih kesal," ucap Hanan membuat Malilah terheran-heran sekaligus kagum. Ternyata Hanan bisa mendadak lunak juga. Pakai acara minta maaf pula. Jangan-jangan, dia punya orang yang punya kpribadian ganda.
"Maaf? Pak Bos minta maaf? Sama aku?" Malilah ingin memastikan bahwa fungsi telinganya masih normal.
"Iya? Kenapa? Ada yang salah?"
"Enggak. Justru aneh karena Pak Bos enggak ada salah minta maaf," jawab Malilah sambil menyibak nasi menggunakan sendok supaya cepat dingin.
"Kuberitahu kau satu hal, Malilah. Bosmu ini orangnya lumayan keras. Kalau kamu berbuat kesalahan fatal, tak perduli di depan seratus orang pun kamu tetap akan terima kemarahanku. Tapi aku juga bukan pengecut. Kalau aku memang salah. Di depan seribu orang pun, aku enggak malu untuk meminta maaf. Maka baik-baiklah kamu bekerja dengan aku! Apalagi aku membayarmu di atas rata-rata!"
Malilah mengangguk-angguk sambil mulai menyendok makanan.
"Syukurlah kalau Pak Bos sadar kalo sejak tadi berbuat salah ke aku," gumam Malilah sambil tersenyum.
"Ha? Jangan salah sangka. Aku minta maaf bukan untukmu. Aku minta maaf untuk anakku, karena memberinya makanan melalui ibu ASI hanya sup telur!" ucap Hanan sambil berlalu meninggalkan Malilah.
"Dasar orang aneh!" Gumamnya Malilah tengsin.
***
Pagi-pagi sekali Malilah harus mandi dan berganti pakaian lagi. Setelah mandi ia langsung di suruh sarapan. Matanya terbelalak melihat menu makanan bermacam-macam di atas meja."Banyak-banyak makan, apalagi sayur! Ada Jangan lupa susunya dihabiskan," perintah Hanan.
"Siapa yang masak?" Pikirnya heran. Ah, pikirkankah? Kebetulan perut lapar, dan ada makanan enak. Sejenak Malilah merasa ia menjadi Tuan Putri di rumah Bosnya. Ia pun makan dengan lahap.
"Sudah selesai makannya, Malilah?" Tiba-tiba Bu Ratih sudah berdiri di dekatnya.
"Eh, em. I-ya Bu. Sudah," sahut Malilah gugup.
"Aku mau bicara."
Bu Ratih menarik kursi, dan duduk berhadapan dengan Malilah.
"Aku sudah mendengar semuanya dari Hanan, soal uang yang tak bisa kamu kembalikan karena dibawa kabir oleh suamimu yang brengsek itu!" ucap Bu Ratih dengan nada penuh kebencian.
"Tapi aku tak perduli soal kamu harus menanggung beban apalah di pegadaian!"
Malilah tertunduk.
"Aku hanya menerimamu sebulan di sini, karena sudah terlanjur dibayar. Setelah itu mungkin lebih baik kamu cari pekerjaan lain saja," ucap Bu Ratih langsung berdiri.
"Ibu!"
Spontan Malilah berdiri dan menahan langkah Bu Ratih.
"Saya tidak akan membantah apapun keputusan ibu. Tapi bolehkan saya meminta penjelasan? Kenapa ibu begitu membenci suami saya?"
Bu Ratih terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Kemudian berlalu dengan ekor mata melirik Malilah tajam. Bukannya memberi penjelasan, wajahnya malah menapakkan ketidaksukaan lebih dari sebelumnya.
Malilah menarik napas panjang dan menghembus dengan kasar. Ia merasa Bu Ratih seperti mengajaknya bermain teka-teki, dan karena perlakuan Bu Ratih yang demikian, Malilah merasa tertantang untuk membuat Bu Ratih merasa berat untuk melepasnya keluar dari rumah tersebut.
Setelah menyelesaikan makan, Malilah bergegas mencuci piring, sebelum Arumi terbangun.Sekilas ia melirik Hanan yang menggantikan posisinya duduk di meja makan. Hanan pun memperhatikan Malilah dengan seksama, sampai Malilah selesai mencuci piring."Kenapa?"Malilah merasa risih, saat menyadari mata Hanan masih mengawasi dirinya."Enggak apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan dapur tidak termasuk dalam tugasmu, kamu fokus ngurus anakku saja," jawab Hanan datar."Aku sudah biasa melakukannya, ini hanya mencuci bekasku sendiri! Lagi pula Arumi masih tidur.""Oh, ya Malilah. Nanti kalau Arumi sudah bangun, sebelum mandi kamu bawa dia berjemur sebentar. Tapi .... bajumu itu loh!"Hanan menopang wajahnya dengan tangan yang ditumpukan ke meja makan."Kenapa dengan bajuku, Pak Bos? Apa ada yang robek?"Malilah berputar di depan Hanan, menoleh ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap bagian dasternya.
"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?"Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam."Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos.Ckk!Hanan berdecak sebal."Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama."Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil."Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga."E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."Malilah menggeleng."Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelama
Hari Posyandu.Malilah bingung karena tak ada baju bagus. Pasti Hanan akan protes lagi dengan penampilannya. Lama Malilah mematut diri di depan cermin, menatap wajahnya dan berbicara sendiri,"Siapkan hatimu Malilah, Hanan pasti menghinamu lagi. Sabar ... sabar ... sabar ...."Malilah membalik badan menghampiri Arumi. Ia tersenyum menatap Arumi yang sudah siap dari tadi. Malilah bersyukur karena bayi mungil itu sangat pintar. Dia rewel hanya saat mengantuk dan lapar."Anak cantik, ayo kita timbang dulu," ucap Malilah sambil mengangkat tubuhnya."Bismillah!"Malilah menarik napas panjang sambil melangkahkan kaki keluar kamar. Ragu-ragu ia menghampiri Hanan yang sejak tadi menunggu mereka di ruang tamu."Kami sudah siap, Pak Bos," ucap Malilah menyiapkan telinga. Pasti Hanan menghina bajunya lagi kalau sudah menoleh."Ya sudah. Ayo!""Lah, kok tumben dia anteng?" Pikir Malilah heran. Tak menoleh pun.
Selama perjalanan pulang Hanan dan Malilah sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Malilah terlihat murung. Bohong kalau ia mengatakan bahwa perasaannya baik-baik saja. Sakit hati, kesal dan marah bercampur aduk dalam hatinya. Dimas benar-benar keterlaluan.Sedangkan Hanan yang juga masih terbawa emosi, sibuk memikirkan waktunya yang tepat, tanpa Malilah dan ibunya tahu bahwa ia mencari tahu tentang Dimas. Tak sabar ia ingin berjumpa dengan orang yang berani mencari masalah dengannya di depan umum tadi.Berkali-kali ia melirik Malilah yang jadi banyak melamun. Sedikit rasa iba di hatinya muncul, melihat wanita yang begitu tulus menyayangi buah hatinya tersebut harus menjalani hidup yang sangat rumit."Sudah sampai!" ucap Hanan beberapa sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Malilah tak menyadari mereka telah tiba di rumah, karena pikirannya masih sibuk.Hanan kembali membantu Malilah turun dan membawa dua paper bag tadi.
"Mbak, maaf! Pernah liat orang ini enggak, disini?" tanya Hanan pada seorang wanita yang sedang menyapu halaman rumahnya. Wanita tersebut mengamati sejenak foto yang ditunjukkan Hanan, kemudian menggeleng. "Coba Mas tanya sama Bapak-Bapak yang di sana. Siapa tau teman ngumpulnya," tunjuk Wanita tersebut pada seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan burung peliharaanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Hanan beralih menghampiri Bapak tersebut. "Pak, Maaf. Pernah liat orang ini enggak di sekitar sini?" Bapak tersebut mengamati foto dengan seksama, kemudian menatap Hanan lekat-lekat. "Ada perlu apa?" tanyanya menyelidik. "Oh, itu. Sudah hampir sebulan enggak pulang. Ibunya di rumah sendiri dan sedang sakit. Saya tetangganya," jawab Hanan berbohong dan memilih Bu Ana jadi objeknya. "Aku sih, sering liat. Kalau malam lewat ke arah sana. Entah kumpulan di pos atau ke komplek, aku enggak tahu," jawab Bap
Rumah itu sangat berarti untuk Malilah. Hasil jerih payah orang tuanya saat merantau dulu. Ia ingat betul bagaimana kedua orang tuanya kerja keras tak kenal lelah saat masih kecil dulu, demi membeli sebuah rumah sederhana tersebut."Ayo. Ambil sekarang! Aku pinjam! Aku janji, kamu akan tetap kerja disini, asal kamu mau ambil suratnya sekarang!" Hanan memaksa sambil menarik Malilah mengikutinya keluar.Setelah menitip Arumi pada Bu Ratih dengan alasan mau belanja baju-baju Arumi yang sudah mulai sempit, mereka langsung menuju ke rumah Malilah."Gimana cara masuknya? Gara-gara Pak Bos dulu bawa aku buru-buru, kan aku sampe lupa bawa kunci serap rumah!" Omel Malilah beberapa saat setelah mereka tengak-tengok ke sekeliling rumah."Didobrak, kan bisa!""Eh, Malilah! Malilah! Akhirnya kamu muncul juga! Kalian ini ya, suami istri sama aja. Sama-sama tukang ngutang, sama-sama tukang ngilang!"Baru saja Hanan bersiap mau mendobrak p
Hanan dan Malilah pun melangkah keluar bersamaan."Hey, Malilah! Kata Bu Tuti utangmu di warungnya sudah mau dibayar sama ... Bosmu yang katanya horang kaya ini. Jangan Warung Bu Tuti aja dong. Kami juga perlu modal!" Bu Indri bicara dengan lantang dan penuh emosi."Iya! Emang Bu Tuti aja yang perlu uang. Kita juga!" Timpal Ibu yang lain.Hanan menarik napas. Utang lagi, utang lagi. Enggak ada masalah lain apa? Sementara Malilah yang masih memegang map tak bisa menjawab apa-apa."Tenang ibu-ibu. Berapa utangnya bilang aja. Nanti saya bayar!""Waah! Benar kata Bu Tuti ya, dia horang kaya," wajah Bu Indri mendadak cerah."Udah, totalin aja utangnya, nanti kami kembali untuk membayar, uang cash saya enggak cukup," janji Hanan lagi. Ia yakin totalnya lumayan banyak."Eh, gak percaya aku. Jangan dilepas. Bisa-bisa dia gak balik lagi," Bu Widi nyolot."Ya sudah kalau gak percaya! Ibu-ibu tunggu di sini!
"Wah, masih punya nyali dia datang lagi!" Hanan langsung menarik kerah baju Dimas membawanya menjauh dari pintu.Buk! Buk! Dugh!Tiba-tiba Dimas meninju wajah Hanan dan menendang perutnya dengan kuat.Buk! Buk! Buk!Dugh! Dugh!Hanan langsung balas meninju wajah Dimas dan menendangnya di bagian yang sama. Hanan kembali mengangkat tangan."Pak Bos!"Jika saja Malilah tidak menangkap tangan Hanan, tentu Dimas masih mendapat pukulan bertubi-tubi lagi seperti sebelumnya."Pak Bos, sudah Pak Bos. Sudah. Dia lagi mabuk. Percuma!" Malilah memegang erat tangan Hanan. Walaupun hatinya sakit, tapi masih ada iba dalam hati Malilah untuk suaminya.Buk!Tanpa diduga, Dimas mengambil kesempatan membalas pukulan Hanan lagi. Keduanya kembali terlibat baku hantam yang membuat Malilah menjerit histeris memanggil Bu Ratih."Ibuuu! Ibuu! Tolong buka pintunya ibu!"Gantian Malilah yang mengged