Share

Ujian Pertama Menjadi Istri

Sontak anak laki-lakinya itu menghempaskan nafasnya kasar.

Hamzah melangkahkan kakinya menuju tepi ranjang. Ia raih kaki sang ibu, lalu di pijatnya perlahan. 

Bu Santi tersenyum tipis menatapnya seraya terbaring, tak lama berselang ia kembali mengambil benda pipih yang sebelumnya ia letakkan di samping dirinya.

“Hahaha.” Tawa Bu Santi menggelegar di dalam ruangan itu. 

"Ada apa sih Bu?” tanya Hamzah dengan raut penasaran sembari terus memijat kaki ibunya.

“Ini ibu lagi chat’an sama Jeng Rani,” sahutnya.

“Hmmmm,” balas Hamzah. Sejenak kemudian laki-laki itu terdiam, ia jadi ingat sang istri yang masih di belakang sana. 

“Hamzah mau ngecek Syifa dulu Bu,” tutur Hamzah menyudahi aksi pijat memijatnya, sejurus kemudian ia keluar dari ruangan itu.

“Hmmm, istri manja! Masak aja di temenin,” geram Bu Santi saat pintu kembali tertutup.

“Dek, kamu masak apa?” ujar Hamzah seraya menghampiri Syifa di dapur. Sang istri nampak sibuk mengulek sesuatu di atas cobek. Hijab nya terselampir di bahu dengan sedikit keringat yang membasahi keningnya.

Seketika Syifa menoleh ke asal suara,” Ini Mas, sayur bening sama tempe goreng aja. Berhubung cuman ini bahan yang tersedia di dapur. Kira-kira ibu mau nggak, ya, Mas?” 

“Ohya, ini aku buatkan sambal juga buat pelengkap,” lanjutnya seraya mengibaskan sedikit keringat di dahi dengan lengan gamisnya yang panjang.

Hamzah tertegun, ia bergeming menatap wajah sang istri. Ia merasa kasihan kepadanya, entah karena rasa sayang yang mulai merasuki hatinya atau rasa itu timbul karena melihat perjuangan sang istri yang baru saja ia nikahi siang tadi.

“Ibu pasti suka ini. Jangankan ibu, mas juga suka sekali masakan kaya ini, tambah sambel makin mantul.” Hamzah mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum sumringah.

“Hehehe Mas bisa aja.” Syifa terkekeh.

“Ayo mas bantu siapkan di meja makan.” Tanpa menunggu persetujuan istrinya, Hamzah membawa wadah berisi sayur dan tempe goreng menuju meja makan.

“Bu, Ibu ayo makan! Masakan menantu Ibu sudah siap,” teriak Hamzah dengan senyum yang mengembang. 

Syifa menyunggingkan senyumnya  sembari menyiapkan piring dan sendok, sesekali ia menatap wajah suaminya yang terus menampakkan wajah ceria.

Bu Santi menjejakkan kakinya tegas menghampiri meja makan yang terletak tak jauh dari tempat dapur itu.

“Masakan apa kaya gini? Sayur bening, tempe. Bikin nggak selera makan!” cibir Bu Santi seraya mendaratkan tubuhnya di atas kursi, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

Seketika raut bahagia di wajah Syifa memudar, ia tertunduk malu seraya berdiri di samping meja.

“Ibu, nggak boleh bilang gitu! Bahan-bahan ini aja yang ada di dapur,” sahut Hamzah menatap lekat wajah sang ibu, sesekali ia melirik wajah lesu sang istri yang berdiri mematung di sampingnya.

“Ya belilah! Pelit amat sih! Ngasih makan mertua cuma-cuma. Telor kek, ayam kek, atau ikan,” balas Bu Santi tak kalah seru suaranya.

Syifa segera bergegas keluar.

“Dek, kamu mau kemana?” tanya Hamzah dengan khawatir, ia menatap tubuh istrinya memasuki kamar pengantin mereka.

Hamzah menghempaskan nafasnya kasar, sesaat kemudian ia berjalan mengejar langkah sang istri dan tak menghiraukan lagi ocehan sang ibu.

Belum sampai ia memasuki pintu tiba-tiba Syifa keluar melewatinya. 

“Dek, mau kemana?” panggilnya menatap kepergian sang istri yang nampak buru-buru, akan tetapi tanpa membawa barang atau perbekalan apapun seperti yang ia khawatirkan dalam pikirannya.

Hamzah memeriksa sekilas kamarnya, ia melihat tas berwarna pink sang istri tergeletak di atas kasur dengan resleting yang terbuka.

“Mungkin dia hanya membawa isinya saja,” gumam Hamzah, ia menebak sang istri keluar dengan membawa dompet.

Sebagai seorang suami yang masih diliputi rasa kekhawatiran dengan keadaan rumah tangga yang baru di binanya dalam hitungan jam itu, ia segera bergegas keluar mencari keberadaan sang istri.

Usai melangkah beberapa meter dari rumahnya ia mendapati sang istri berdiri di depan warung terdekat dari rumahnya. Syifa nampak menyodorkan beberapa lembar uang di barengi dengan Bu Minah tetangga sekaligus pemilik warung yang menyodorkan beberapa butir telor dalam bungkusan plastik.

Seketika langkah Hamzah terhenti saat sang istri nampak menyudahi transaksi jual belinya di warung itu.  

Mata hitam Syifa dengan bulu mata yang lentik menatap kehadiran Hamzah di jalan setapak itu, pandangan keduanya saling bertemu. Tak lama berselang pandangan Hamzah beralih ke sebuah bungkusan yang di bawa oleh istrinya.

“Dek, kamu nggak perlu melakukan ini semua. Tolong jangan di ambil hati omongan ibu, ya?” tutur Hamzah.

“Nggak papa Mas, ini salahku dan aku memang harus melakukan ini,” sahut Syifa lalu ia berlalu meninggalkan sang suami yang bergeming di jalan itu.

Ada perasaan kecewa yang menyertai langkahnya. 

“Mengapa tidak ada kata maaf yang terucap, setidaknya dia mewakili permintaan maaf atas ucapan ibunya yang jujur begitu menyakitkan,” benak hati Syifa.

Sejenak kedua netranya terpejam sembari langkah kakinya terus berjalan, ia menarik nafas panjangnya lalu menghempaskannya dengan kasar. 

Saat manik matanya terbuka ia mendapati ibu mertuanya telah berdiri di depan pintu rumah.

Ada perasaan takut yang menjalar di hatinya, akan tetapi Syifa terus melangkah mantap seraya menghilangkan rasa gugup dan takutnya.

Gadis berjilbab itu sedikit menunduk di depan ibu mertuanya ketika akan memasuki rumah. Bu Santi menatap Syifa dengan sinis seraya menatap langkahnya sampai menghilang di balik tirai yang terdapat ruangan dapur.

“Bikin drama apa istrimu itu?” ujar Bu Santi kepada sang anak yang baru saja sampai di hadapannya.

Hamzah hanya menggelengkan kepala dengan wajah datarnya.

“Baru saja sehari menikah udah durhaka sama orang tua, pasti hasutan istrimu itu,” cibir Bu Santi tepat di samping telinga Hamzah saat ia berjalan di samping sang ibu.

“Bu, kalau ngomong tolong di jaga! Jangan sembarangan Bu!” ucap Hamzah seketika.

Sejurus kemudian ia meremas rambut kepalanya sembari menghempaskan nafasnya kasar.

“Maafkan Hamzah Bu! Tolong hargai Syifa! Dia sudah menjadi istri Hamzah, dia itu menantu ibu, anak ibu juga,” lanjut Hamzah.

Sontak Bu Santi membuang pandangannya ke arah lain sebagai respon dari ucapan anak laki-lakinya.

Hamzah geleng-geleng kepala melihat tingkah sang ibu.

“Astaghfirullahaladzim, ya sudah Bu Hamzah masuk dulu,” tutur Hamzah sembari mengusap punggung ibunya, lalu meninggalkannya berdiri di depan sana.

Hamzah segera menghampiri Syifa dan berusaha membantunya. Walaupun sang istri beberapa kali menolak, akan tetapi Hamzah bersikukuh untuk membantunya. 

Selang beberapa waktu kemudian ... 

“Adek istirahat di kamar aja, bawa makanan ini ke dalam, ya?” ujar Hamzah seraya menyodorkan makanan di atas nampan lengkap dengan air putih di dalam gelas. 

“Kenapa Mas?” sahut Syifa dengan ekspresi menuntut penjelasan. 

“Terus ibu?” lanjutnya lagi. 

“Ibu biar mas aja yang nyuruh makan, adek istirahat dulu. Makanan taruh di atas meja aja, nanti mas nyusul buat makan sama Ade,” jelas Hamzah dengan mengembangkan senyumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status