"Selamat atas pernikahanmu, Alina." Ucapnya sambil mengulurkan tangan."Anda mengenalku?" Aku langsung mengerutkan kening."Tentu saja.""Ehm, terima kasih. Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Refleks aku langsung bertanya padanya. ****Wanita itu mengulas senyum tipis lalu menaikkan salah satu sudut bibirnya. Entah mengapa, aku merasa tatapan matanya begitu dingin. Seakan berbeda dengan sikapnya yang ia tunjukkan saat ini.Mengenakan kebaya modern yang dipadukan dengan rok panjang, ditambah set perhiasan berlian yang menempel di tubuhnya membuat wanita itu terlihat berkelas. Meski kutaksir usianya sudah menginjak angka lima puluhan.Berulang kali ku coba mengingat wajahnya, aku yakin benar benar pernah mengenalnya. Namun, meskipun aku bersikeras, tetap saja memori ku begitu lemah untuk mengingatnya."Kau lupa padaku, padahal dulu kita pernah bertemu." Ucapnya."Benarkah?"gumamku langsung melirik ke arah Mas Reyhan. Raut wajah lelakiku itu masih nampak tegang, meski memaksakan
Satu persatu penghuni rumah ini akhirnya berkumpul di meja makan. Duduk di sebelahku ada Mbak Sita yang tengah menyuapi Diyara sementara Mas Reyhan asyik menyantap nasi gorengnya.Ponsel Mas Reyhan berdering sesaat setelah ia menyelesaikan sarapannya. Raut wajahnya seketika berubah ketika melihat ke layar ponselnya."Mas ada apa? Mengapa panggilan teleponnya tidak dijawab?" Tanyaku begitu melihat Mas Reyhan yang sengaja mengabaikan panggilan masuk ponselnya.****PoV ReyhanPonselku terus berdering, meski telah kuabaikan. Kucoba untuk bersikap setenang mungkin dihadapan Alina, agar tidak menimbulkan kecurigaannya. Aku enggan menerima panggilan telepon ini karena tak ingin mengundang masalah atau membuatnya khawatir.Mata Alina kembali melirik ketika ponselku kembali berbunyi. Namun, kali ini bukanlah panggilan telepon melainkan sebuah pesan WA yang masuk. Terpaksa, ku buka pesan itu di bawah tatapan mata Alina yang penuh tanya. Demi menghilangkan rasa penasarannya."Tak ada apa apa sa
"Baik, aku akan pergi, mas. Tapi, ingatlah, aku akan kembali." Balasnya dengan seringai tipis di wajahnya. Kututup rapat pintunya setelah memastikan ia keluar, segera ku keluarkan ponselku lalu menghubungi seseorang."Sudah sejauh mana penyelidikanmu, Fikri?" Tanyaku begitu panggilan telepon ini tersambung.***PoV Reyhan."Kau tak apa apa, Aisyah? Kau nampak sedikit tegang?" Tanyaku padanya saat kami tak sengaja bertemu di kantin.Aku dan Aisyah memang kuliah di satu universitas yang sama. Tepatnya satu tingkat diatasnya. Kami pertama kali bertemu ketika tak sengaja ia mengembalikan kartu mahasiswa milikku yang tertinggal di perpustakaan kampus. Melihatnya yang begitu pemalu dan pendiam, entah mengapa membuatku penasaran. Aku sadar sejak pertemuan pertama kami, pesonanya tak bisa kuabaikan.Aisyah gadis yang berbeda. Setidaknya itulah kesan pertamaku saat pertama kali melihatnya. Tak seperti para gadis lain yang kebanyakan selalu tebar pesona. Aisyah malah lebih suka menyendiri da
PoV Reyhan.Mataku mengerjab beberapa kali, entah mengapa kedatangan Erika ke kantor membuka kembali ingatan tentang Aisyah. Kutarik salah satu laci meja kerjaku. Laci bagian bawah kini terbuka, sebuah foto yang diambil beberapa tahun lalu kini sudah berada di tanganku. Sebuah foto yang memiliki kenangan manis untukku.Wajah Aisyah bersemu merah dengan senyuman yang begitu manis terlihat. Foto dengan latar belakang pagoda tinggi berlantai sembilan di pulau Kemaro, menjadi satu satunya foto dirinya yang masih kusimpan.Pulau Kemaro adalah sebuah tempat yang paling ingin dikunjungi oleh Aisyah semasa hidupnya, akupun mengabulkan keinginannya, ditemani tiga orang teman lain, kami berlibur ke Palembang beberapa hari.Kisah Pulau Kemaro dipercaya berasal dari legenda cinta seorang saudagar Tiongkok dan seorang putri Palembang. Sang saudagar Tiongkok bernama Tan Bun An jatuh cinta kepada Siti Fatimah. Kisah cinta mereka yang berakhir tragis dan masih dikenang hingga sekarang menjadi daya t
Dari jarak sepuluh meter, aku melihat seorang wanita melangkah masuk ke arah lobby kantor. Kufokuskan pandangan menatapnya. Meskipun di tutupi kacamata hitam yang membingkai hampir sebagian wajahnya. Namun, garis wajahnya masih kuingat dengan jelas."Itu, Tante Nur ...? Untuk apa dia datang kesini?" Gumamku tanpa sadar.****Mataku masih terus menatapnya yang berjalan masuk ke dalam bangunan berlantai dua puluh itu, sambil menenteng tas H*rmes Birk*n dilengan kirinya. Ia lalu berdiri di hadapan resepsionis, entah apa tujuannya datang ke kantornya Mas Reyhan.Benakku kini mulai bertanya, ia tak mungkin datang kesini jika tanpa alasan. Perasaanku mulai tidak nyaman, entah mengapa aku merasakan kedatangan Tante Nur kemari memiliki niat yang tidak baik.Aku bingung, pikiranku mulai ragu. Haruskah aku mengabaikan kedatangannya atau menonjolkan rasa keingintahuanku akan tujuannya?Arloji ditanganku sudah menunjukkan pukul empat sore, itu artinya tak lama lagi para karyawan akan pulang. Hal
"Mbak, ruangan Pak Reyhan, ada dilantai berapa?" Tanyaku kemudian pada resepsionis wanita ini.***Aku memutuskan untuk menunggu saja di lobby, meskipun aku tahu jika Tante Nur pasti menemui Mas Reyhan di ruangannya. Entah mengapa, ada rasa takut di hati jika nantinya kedatanganku yang mendadak ke ruangan Mas Reyhan akan membuat mereka berdua tidak nyaman untuk bicara.Ku buang pandangan ke arah luar, menatap jalanan yang masih dipenuhi oleh kendaraan yang padat merayap. Meski wajahku terlihat tenang, Namun hatiku bergemuruh gelisah.Beberapa menit berlalu, namun, sosok yang kutunggu belum juga datang. Benakku kini mulai bertanya, apa yang sedang mereka bicarakan disana? Apakah ini ada hubungannya dengan Erika, Putri semata wayang Tante Nur?Sampai sekarang, Mas Reyhan masih belum terbuka dan menutupi siapa pengirim paket teror itu kepadaku. Ia beralasan jika hal itu tak akan ada lagi, dan memintaku untuk segera melupakannya. Kuakui, ucapannya benar, setelah menikah dan memboyong kami
Tak perlu, aku tak ingin kau terlibat masalah dengannya." Ucap Mas Reyhan.Lima menit kemudian, ponselnya kembali berdering. Namun, kali ini bukan panggilan telepon melainkan sebuah pesan WA yang masuk. Meski nampak enggan, ia masih memaksa diri untuk membukanya."Sial!" Ujar Mas Reyhan setengah berteriak sambil membanting ponselnya, seketika membuatku terkejut dan menatap penuh tanya padanya.****Sikap Mas Reyhan yang tak biasa, tak ayal membuat jantungku ikut berdegup kencang. Sorot matanya menatap tajam ke langit-langit kamar, aku tak mengerti sebenarnya pesan apa yang telah di kirim ke ponselnya hingga membuat lelakiku itu bisa semarah ini."Mas ...?" Panggilku hati-hati. Ia menoleh."Maaf, Alina. Tak seharusnya aku bersikap seperti ini dihadapanmu." Sesalnya, namun aku masih bisa merasakan amarah yang besar dalam nada suaranya."Pesan dari siapa? Apakah Tante Nur?" Aku menebak.Ia tak menjawabnya. Mas Reyhan lebih memilih mengabaikan pertanyaanku.Aku beranjak, mencoba untuk men
Aku hanya bisa menutup mulut. Sebenarnya apa yang ada sedang mereka bicarakan dan sembunyikan dariku. Apakah dugaanku selama ini benar jika semua kejadian ini ada hubungannya dengan Tante Nur dan putrinya, Erika?Entahlah. Hanya saja, aku sudah tak sabar untuk menunggu lagi. Aku akan meminta Mas Reyhan menjelaskan semuanya padaku. ****Aku menghela nafas panjang, niatku pergi ke kamar Diyara untuk mengambil cincin yang tertinggal di kamarnya, sejenak terlupa karena tak mendengar pembicaraan mereka. Apa yang di sembunyikan Mas Reyhan padaku, hingga begitu berat baginya untuk menceritakannya padaku?Masa lalunya?Wanita yang dicintainya?Atau, ada hal lain yang kebenarannya tidak ingin kuketahui?Entahlah. Tapi, aku merasa jika sikapnya yang terkesan menghindar membuatku sedikit curiga, bukan menuduhnya berselingkuh atau memiliki wanita lain di belakangku hanya saja, aku tahu, siapa itu Tante Nur, seorang wanita yang licik, yang begitu memuja kekayaan dan kemewahan.Bukankah terdengar