Share

Malam Eriska di Kamar Baru

Malam ini Eriska berbenah, dia pindah ke kamar di sebelah kamarnya bersama Bagas dulu. Wanita itu merasa diusir secara tidak langsung dari kamarnya sendiri. Tanpa izinnya Bagas menyulap kamar mereka menjadi kamar pengantin dengan dekorasi mewah dan di sana juga terdapat rangkaian bunga bertuliskan 'Welcome to Andin.'

 

Jelas Eriska harus keluar dari kamar penuh kenangan bersama Bagas sejak malam pertama sampai malam terakhir sebelum suaminya selingkuh. Tangan Eriska sempat menyapu ranjang pengantin yang kini milik Andin. "Dulu kamu seneng tidur sama aku, mas," lirihnya, tapi dia tidak mau tenggelam dalam kesedihan yang sudah tertulis dalam takdir hidupnya. 

 

Setelah melihat-lihat seisi kamar yang telah hilang kenangannya, Eriska mulai mengambil bajunya satu persatu dari dalam lemari yang cukup besar hingga tidak satu pun tersisa. Dia menarik baju dari dalam koper besar menuju ke kamar barunya yang terletak di samping kamar lamanya. Dulu kamar itu selalu digunakan oleh orangtua Bagas atau orangtua Eriska kala mereka menginap, tapi sekarang kamar itu resmi jadi miliknya. 

 

Kala malam petaka itu Eriska sengaja tidur di kamar tamu di lantai bawah karena tidak sanggup menyaksikan Bagas dan Andin berduaan di dalam kamarnya, tapi untuk sekarang dan kedepannya Eriska ingin menjaga Bagas. Dia takut Andin hanya memanfaatkannya saja jadi, tentu kamar mereka tidak boleh berjauhan.

 

Eriska berbenah agar kamarnya nyaman untuk ditempati olehnya sendiri. Walau Bagas dan dirinya masih sah suami dan istri, tapi dia tidak mengharapkan nafkah batin dari Bagas. Suaminya sudah menemukan istri sempurna menurut penglihatannya jadi, mungkin dia tidak akan kembali memeluk tubuhnya. 

 

Eriska berbaring ditemani sepi dan sakit. Malam ini pikirannya memaksa untuk membayangkan sang suami dengan madunya. Isak tangis kembali hadir hingga pipinya kembali basah. "Kamu jahat, mas. Kamu nggak pikirin perasaan aku." Suaranya sangat lirih selagi memeluk diri sendiri. 

 

Malam semakin larut saja. Namun, Eriska belum berhasil memejamkan matanya yang sudah sembab. Sekitar pukul tiga pagi barulah wanita itu tertidur tidak nyaman.

 

Pagi harinya Eriska terbangun dengan mata bengkak. "Ya ampun ... kok gini, kalo gini aku nggak akan bisa kerja, keluar rumah juga malu!" paniknya kala melihat pantulan dirinya di dalam cermin.

 

Langkah kakinya segera menuju ke dapur mengambil es batu sebagai kompres. "Kalo sampai siang nanti keadaannya kaya gini, kayanya aku emang harus ambil libur." 

 

Wanita itu duduk di depan meja makan yang tersedia beberapa buah-buahan kesukaan Bagas, dia meliriknya. "Mas Bagas udah makan, belum? Biasanya ini jam sarapan Mas Bagas." 

 

Sorot mata Eriska segera mengarah pada telepon di sisi kulkas, dia sudah menekan deretan angka yang akan tertuju pada Bagas, tapi dia mengurungkan niatnya kala mengingat Andin. "Pasti dia marah kalo aku telepon Mas Bagas." Telepon itu segera disimpannya kembali.

 

Ting Tong Ting Tong!

 

Suara bel ditekan tidak sabaran oleh seseorang di luar sana. Eriska berjalan perlahan menghampiri seseorang yang entah siapa, tidak lupa sebuah kaca mata hitam hadir menutupi mata sembabnya. 

 

"Nina! kok pagi-pagi udah dateng?" heran Eriska hingga dahinya berkerut. 

 

Nina nyengir. "Aku mau cek keadaan mbak, mbak baik-baik aja kan?" 

 

Eriska tersenyum singkat. "Aku nggak apa-apa, aku sehat."

 

"Hm ... iya deh, kalo mbak emang nggak apa-apa. Eh, by the way kenapa pake kaca mata hitam, mbak mau pergi?"

 

"Hm ... iya. Aku ... mau belanja," dusta Eriska, alasan itu keluar begitu saja. 

 

Heran Nina kembali naik level. "Kok ada cewek setegar mbak? Kalo suami aku kaya suami mbak, udahlah habis dia aku caci aku cincang, aku makan sekalian!" rutuk Nina. 

 

Sebenarnya hati Eriska sangat-sangat membatin andai dia mengungkapkannya maka, orang yang mendengar akan ikut teriris, tapi dia memilih bungkam karena cintanya pada Bagas mengalahkan rasa sakit. Setidaknya untuk saat ini. Namun, manusia memang tidak sempurna walau hari ini Eriska masih bisa bertahan, tapi apa mungkin besok dia memilih pergi?

 

Hati Eriska berkecamuk, tatapan matanya kosong di balik kaca mata hitam.

 

"Mbak!" Nina melambaikan tangannya di depan wajah Eriska. 

 

Wanita itu mengerjap. "Iya, kenapa?" 

 

"Tuh kan, mbak ngelamun ... mbak boleh cerita kok sama aku." Nina begitu prihatin pada keadaan Eriska, dia juga wanita, dia tahu isi hatinya. Hanya Eriska tidak mau mengaku.

 

Bersambung ....

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status