Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p
"Kamu seharusnya menungguku, bukannya memilih diantar oleh seorang pria asing."Jovanka memegangi pelipisnya. Dia pusing mendengar Revan yang mengikutinya sambil mengoceh. Apa pria itu masih belum puas mengeluarkan kekesalannya? Apa Revan tidak tahu jika Jovanka sama sekali tidak peduli dengan rasa keberatan Revan?"Cerewet!" Jovanka berbalik, menatap Revan dengan tajam. "Yang penting sekarang aku sudah berada di rumah. Untuk apa kamu masih mengomel?""Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak mengulangi kesalahanmu itu," ucap Revan.Jovanka tertawa sembari mengibaskan tangannya tidak percaya. "Apa kamu yakin? Apa kamu akan benar-benar menghampiri aku saat aku sedang kesusahan?""Tentu saja. Bagaimana pun juga, kamu itu istriku," jawab Revan mantap."Istri terpaksa." Jovaka bergumam mencibir. Dia tahu Revan tidak pernah sepenuh hati mengakuinya. Bahkan dulu, pria itu tidak sudi menyebut Jovanka sebagai istrinya.Jika dulu Jovanka akan berusaha menjadi istri yang baik supaya Revan bisa
"Kamu masih marah?" Savira tidak menjawab. Dia sibuk memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang. Tapi Revan tampaknya tidak menyerah, pria itu masih mengikuti Savira dari belakang. Ini salah Revan. Dia yang melupakan janjinya hingga membuat Savira menunggu selama dua jam di depan kantor dengan sia-sia. Seharusnya jika tidak bisa datang, Revan mengabarinya, bukan membiarkan Savira menunggu. Revan tidak tahu begitu malunya Savira harus berdiri di sana waktu itu, diperhatikan oleh orang yang lalu lalang, dengan pandang bertanya-tanya. Jika bukan karena berpikir Revan akan segera menjemputnya, Savira tidak mungkin bertahan di sana. "Sayang," panggil Revan. Dia menahan tangan Savira supaya tidak lagi menghindarinya. Untungnya Savira lekas berhenti, dan berbalik menatap Revan dengan wajah masam. "Kamu mengecewakan aku, Revan." "Aku minta maaf." Revan mengusap wajah Savira dengan lembut. Dia benar-benar lupa akan janjinya dengan Savira. Karena berurusan dengan Jovanka kemarin, Revan ha
Revan pulang dengan senyum yang tak memudar dari wajahnya. Dia akan menanti ekspresi seperti apa yang akan Jovanka tunjukkan, kata-kata seperti apa yang akan istrinya itu katakan. Revan tidak sabar menyaksikan semuanya untuk mendapat apa yang ia inginkan. Tapi, semua tak sesuai ekspektasinya. Kala Revan sampai, dia melihat Jovanka tengah duduk tenang di ruang santai sembari menonton televisi. Dia menoleh sesaat ketika menyadari kehadiran Revan, tapi sikapnya sangat acuh tak acuh. Dia melanjutkan acara menontonnya tanpa peduli pada Revan sama sekali. Bukan ini yang Revan inginkan! "Jo," panggil Revan. Dia tidak mengerti kenapa Jovanka masih bersikap biasa. Padahal Revan tahu jelas, istrinya itu baru saja memergokinya bersama perempuan lain. Tapi, apa Jovanka memang tidak mengetahui jika seseorang yang ia temui itu adalah Revan? Rasanya mustahil. Karena mereka berhadapan kala itu. Tapi, kenapa Jovanka bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi? Revan tidak mengerti. "Kamu di
Razka urung melangkah saat dia melihat siluet seseorang yang tak asing baginya. Mata Razka menyipit, berusaha melihat dengan jelas sosok yang ia perhatikan itu. "Revan?" gumam Razka. Razka memutuskan untuk melangkah mendekat. Dia harus memastikan jika orang yang ia lihat itu adik iparnya atau bukan. Sayangnya, dia terlambat. Karena pria itu lebih dulu masuk ke dalam mobil bersama seseorang yang bicara dengannya sejak tadi. Razka termenung di tempat. Pertanyaan besar bersarang di otaknya sejak dia melihat pria tadi. "Revan bersama siapa?" **** "Kenapa kamu sering marah-marah akhir-akhir ini?" Revan mengeluh tepat setelah ia tiba di sebuah restoran bersama Savira. Dia bahkan sengaja menunda perdebatan mereka sepanjang jalan, karena ingin menyelesaikan masalah mereka dengan tenang di restoran ini. Kekasihnya itu memasang wajah masam. Dia mana mungkin mau mengalah untuk Revan? Savira hanya selalu menuntut untuk dimengerti. Padahal Revan tidak pernah mudah menebak apa yang diinginkan
"Jo!" Revan menahan tangan Jovanka ketika perempuan itu hendak beranjak dari ruang tengah. Jovanka berhenti dan menoleh padanya. "Apa ... kamu bisa tidur bersamaku malam ini?" tanya Revan gugup. "Tidak mau," jawab Jovanka tanpa pikir panjang. Dia memutar tangannya dan lepas dengan mudah dari cekalan Revan. Dia memandang pria itu dengan sinis. "Untuk sekedar berbagi udara saja aku harus menahan muak, apalagi jika harus seranjang dengan kamu." "Kenapa kamu sangat membenciku?" tanya Revan bingung. Apakah dia memang pernah melakukan kesalahan yang begitu fatal hingga Jovanka berubah begitu banyak? Seseorang yang tadinya begitu memuja dirinya kini menjadi musuh sejati. "Kamu bisa bicara padaku jika memang aku pernah membuat kesalahan. Kita mungkin pernah memiliki kesalahpahaman." Karena tidak mungkin Jovanka berubah seperti ini tanpa alasan. "Aku tidak punya alasan khusus. Aku hanya lelah terus berharap dengan pria jelek seperti mu," ucap Jovanka. Dia berjalan menuju kamarnya yang ber
Savira tidak mendengar peringatan Revan. Karena menurutnya Revan hanya terlalu cemas akan Jovanka. Padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Seharusnya Revan lebih memikirkan janjinya yang akan segera menikahi Savira. Jujur, Savira terus menunggu Revan membahas tentang mereka. Tapi pacarnya itu justru malah selalu membahas tentang istrinya. Savira mulai khawatir. Terlebih, Savira menyadari Revan mulai melirik istrinya itu. Meski Savira tetap merasa percaya diri, akan tetapi dia tetap cemas, Savira tidak suka berbagi. Dia takut jika seandainya suatu saat nanti Revan justru tetap ingin mempertahankan Jovanka di sisinya. Savira tidak sebaik itu dengan sudi berbagi prianya. Baginya jika Revan sudah menjadi kekasihnya berarti pria itu hanya miliknya. Savira mulai berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk membuat Revan mau segera menikahinya. Karena jika dibiarkan berlarut-larut, Savira mungkin akan benar-benar kehilangan Revan. Saat tengah sibuk berpikir, Savira nyaris menabrak seseoran