Wanita yang Merebut Hati Suamiku
Part 4Suasana di dalam lift masih mencekam. Attar sibuk menenangkan Naura, sedangkan Nada terisak sambil duduk memeluk lutut. Menyaksikan langsung perhatian suaminya kepada wanita lain, Nada merasa tersisihkan sebagai istri. Apa Attar tidak sadar kalau saat ini ia pun berada di tempat yang sama? Ataukah karena terlalu khawatir pada Naura, ia sampai melupakan kehadiran Nada di antara mereka?Tak lama kemudian, lift akhirnya kembali menyala dan terbuka. Orang-orang sudah berkerumun di depan sana. Mereka langsung menyambut Attar yang membopong Naura dengan wajah panik."Mbak Naura kenapa, Pak?" tanya salah satu karyawan."Dia hampir kehabisan napas. Naura takut akan gelap. Saya harus segera membawanya ke rumah sakit." Attar melangkah cepat, tetapi perkataan karyawannya sukses membuatnya membeku di tempat."Pak, bagaimana dengan istri Bapak? Dia juga sepertinya terlihat syok."Teringat Nada, Attar berbalik ke arah lift, bergegas menghampiri Nada dengan Naura yang masih ia bopong. Wajah istrinya terlihat pucat. Salah satu karyawan memberikan minuman pada Nada. Attar didera rasa bersalah pada istrinya. Karena terlalu panik akan keadaan Naura, ia sampai melupakan keberadaan istrinya itu.Nada berusah berdiri dengan dibantu oleh salah satu karyawan. Perlahan ia mulai mengatur napas agar merasa lebih tenang. Seketika, matanya beradu tatap dengan mata milik Attar. Nada memalingkan wajah melihat suaminya masih membopong Naura. Tidak bisakah wanita itu diserahkan pada karyawan yang lain saja?"Kamu baik-baik saja?" tanya Attar terdengar khawatir, tetapi bagi Nada, suaminya hanya berbasa basi.Nada hanya mengangguk sebagai jawaban. Mulutnya tak kuasa untuk sekedar menjawab. Mungkin efek dari hatinya yang merasa terluka."Syukurlah. Kamu nanti pulang diantar Pak Anton. Aku harus mengantar Naura ke rumah sakit. Aku pergi dulu, Naura harus segera ditangani," pamitnya, lalu berbalik dan melangkah cepat keluar dari kantor.Nada tidak percaya akan apa yang suaminya lakukan. Ia lebih memilih membantu Naura tanpa memikirkan perasaannya. Tatapan iba dari para karyawan, membuat Nada merasa malu. Mereka pasti mengasihani dia karena suaminya lebih memilih mengantar wanita lain."Ibu mau saya bantu sampai ke depan?" tawar salah satu karyawan."Terima kasih, tapi tidak usah. Saya bisa berjalan sendiri," tolaknya. Nada melangkah gontai menuju parkiran. Di sana, Pak Anton yang merupakan sopir kantor, sudah menunggunya di dekat mobil."Saya bisa pulang sendiri, Pak. Bapak tidak usah mengantar.""Tapi, Bu, nanti kalau Bapak tanya, bagaimana? Saya tidak mau kalau Bapak sampai marah.""Bapak bilang saja ini kemauan saya. Kalau dia marah, biar nanti saya yang menjelaskan.""Baiklah kalau begitu, Bu."Nada memasuki mobil dan keluar dari area kantor. Tujuannya bukan pulang ke rumah, tetapi ke Apartemen Cindy, sahabatnya. Nada butuh menenangkan diri sebelum bertemu kembali dengan Attar. Ia masih berusaha mencerna kejadian di dalam lift. Benarkah Attar sekhawatir itu pada Naura? Bahkan suaminya sampai tega meninggalkan dirinya yang masih syok. Sepertinya memang Naura menempati posisi istimewa di hati suaminya. Perhatian yang Attar berikan terlalu berlebihan untuk seorang atasan pada bawahannya.Nada tak kuasa menahan tangis. Ia takut, sungguh takut, perlahan posisinya di hati Attar akan tergeser. Tidak menutup kemungkinan jika Attar berpaling pada Naura. Dari tatapan dan sikap yang Attar tunjukkan, Nada bisa melihat ketertarikan di diri suaminya pada sekretarisnya itu.šŗšŗšŗAttar hampir saja membanting ponselnya ketika mendengar laporan dari Pak Anton. Nada menolak untuk diantar dan memilih pulang sendiri. Attar berusaha menghubungi istrinya, tetapi ponsel Nada malah tidak aktif. Attar belum bisa pulang karena masih menunggu Naura yang sedang ditangani Dokter.Attar sadar ia salah. Karena terlalu panik akan keadaan Naura, ia sampai melupakan keberadaan istrinya. Ditambah, ia lebih memilih mengantar Naura ke rumah sakit. Nada pasti kecewa padanya. Namun, Attar pun dilema. Ia begitu khawatir pada Naura. Apalagi melihat wajah wanita itu yang begitu pucat. Naluri ingin melindungi seketika hadir. Ia sampai tak sadar telah memeluk wanita itu dan mengecupi rambutnya di depan Nada."Dengan keluarga pasien bernama Naura?"Lamunan Attra buyar. Ia bergegas menghampiri Dokter yang menangani Naura. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Mbak Naura hanya syok. Setelah beristirahat selama satu jam, ia sudah diperbolehkan pulang.""Syukurlah. Saya boleh menemuinya?""Tentu. Silahkan, Pak."Attar berterima kasih. Ia pun bergegas menemui Naura yang terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya. Melihat kedatangan Attar, Naura mengulas senyum. Ia sangat berterima kasih karena Attar sudah menolongnya."Bagaimana keadaan kamu? Sudah baikan?" tanya Attar ketika sudah berdiri di sebelah ranjang yang ditempati Naura."Alhamdullillah, sudah, Pak. Terima kasih Bapak sudah bersedia menolong saya.""Sama-sama. Satu jam lagi kamu sudah boleh pulang. Saya akan menunggu dan mengantar kamu," terang Attar.Naura menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia tidak ingin merepotkan Attar lagi. "Tidak usah, Pak. Bapak sudah terlalu sering membantu saya," tolaknya."Naura, saya yang membawa kamu ke sini. Saya juga harus memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Tidak usah terlalu sungkan, saya senang bisa membantu kamu.""Tapi, Pak, bagaimana dengan Bu Nada?" Naura merasa bersalah pada istri atasannya itu.Attar sempat membeku, tetapi dengan cepat ia mengulas senyum. "Nada baik-baik saja. Dia sudah pulang ke rumah.""Tapi--""Jangan lagi membantah, Naura. Saya tidak suka," sela Attar cepat. Ia yakin, Naura akan memberikan penolakan."Kamu istirahat, saya menunggu di depan. Setelah satu jam, kita pulang," timpalnya tak ingin dibantah.Naura hanya bisa menurut. Ia berusaha memejamkan mata untuk menghindari tatapan mata Attar yang begitu lembut. Naura tidak ingin jantungnya berulah lagi. Sudah cukup ia merasakan perhatian dari atasannya ini. Ia selalu berusaha mengingatkan dirinya sendiri, bahwa ini semua salah. Attar milik Nada, ia hanya orang lain di hidup pria itu.Attar memandangi wajah Naura yang kini sudah terlelap. Tangannya terulur menyingkirkan anak rambut sang Sekretaris yang menutupi dahi. Seulas senyum terukir dari bibirnya. Wanita ini, kenapa selalu membuat Attar sulit mengalihkan pandangan."Saya keluar dulu," bisiknya tepat di telinga Naura.Setelah kepergian Attar, mata Naura kembali terbuka. Senyum yang sama terukir dari bibirnya. Pipinya bersemu merah, dadanya pun bergermuruh tak beraturan. Mungkinkah ia jatuh cinta?**Bersambung.Wanita yang Mencuri Hati SuamikuPart 5"Terima kasih, Pak. Hari ini Bapak sudah banyak menolong saya," ucap Naura tulus. Saat ini mereka baru saja sampai di depan rumah Naura. Seperti janjinya, Attar menunggui sekretarisnya itu hingga diperbolehkan pulang oleh Dokter. "Tidak usah berlebihan, Naura. Sudah menjadi tugas saya untuk membantu. Kalau kamu masih belum sehat, besok tidak usah masuk kerja. Kamu boleh istirahat selama dua hari.""Ti-tidak perlu, Pak. Saya sudah baikan, kok. Besok saya pasti masuk kerja.""Kamu yakin?" Attar memastikan. "Sangat yakin. Bapak tenang, saya pasti baik-baik saja," jawabnya dengan senyuman."Ya sudah, terserah kamu. Sekarang, kamu masuk, gih! Istirahat.""Kalau begitu, saya masuk dulu. Sekali lagi te--""Jangan ucapkan itu lagi. Saya bosan mendengarnya," sela Attar cepat, membuat tawa Naura berderai indah dan Attar terpaku dibuatnya."Maaf," ucapnya di sela tawa. "Bapak juga hati-hati di jalan," imbuhnya.Attar hanya mengangguk. Ia pun berjalan men
Wanita yang Mencuri Hati SuamikuPart 6Attar menatap punggung Nada yang tidur membelakanginya. Semenjak pertanyaan yang istrinya lontarkan tidak bisa ia jawab, Nada mediamkannya sampai saat ini. Attar bingung dengan perasaannya sendiri. Seharusnya ia menjawab dengan tegas bahwa Nada lah pemilik hatinya. Namun, sebagian dari dirinya kini tidak mengatakan demikian. Ada nama wanita lain yang diam-diam menyusup dan menggeser posisi Nada.Kenyamanan yang ia rasakan bersama Naura dan tidak bisa Nada berikan, membuatnya sulit menampik jika sebagian hatinya kini berpaling kepada sekretarisnya itu."Nad, kamu sudah tidur?" Tidak ada jawaban, tetapi Attar tahu Nada masih terjaga. Isakan kecil yang lolos dari bibir istrinya sesekali terdengar, menandakan Nada belum bisa memejamkan mata, seperti dirinya."Nad, aku minta maaf. Jangan marah lagi, ya."Nada tetap bergeming tanpa berniat menjawab. Attar pun akhirnya pasrah. Ia akan memberikan kesempatan pada Nada sampai kemarahan istrinya mereda. S
Sudah tiga hari Nada berada di Anyer, belum pernah sekali pun ia menghubungi Attar. Hal itu tentu saja membuat Attar cemas. Tidak seperti biasanya Nada seperti ini. Istrinya itu pasti akan menghubunginya setiap hari ketika mereka berjauhan.Attar yakin, Nada masih marah karena kejadian di dalam lift waktu itu. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi istrinya, tetapi sayang ponsel Nada tidak aktif dari kemarin. Hal itu lah yang makin membuatnya merasa cemas. Sayangnya, Attar tidak mempunyai nomor teman-teman istrinya sehingga ia tidak bisa menanyakan kabar Nada kepada mereka.Ketukan di pintu, membuyarkan keterpakuan Attar yang tengah memperhatikan ponsel. Menunggu, siapa tahu Nada memberinya kabar, itu yang Attar lakukan saat ini."Masuk!" serunya setelah meletakkan ponsel ke atas meja.Naura muncul begitu pintu terbuka. Senyum manis tersungging dari bibir wanita berusia dua puluh enam tahun itu."Maaf, Pak. Saya hanya ingin mengingatkan kalau jam dua siang nanti kita ada meeting d
Wanita yang Mencuri Hati SuamikuPart 8"Kamu yakin dengan keputusan ini? Gak akan menyesalinya nanti?""Aku yakin, Cin." Nada berujar sembari menyesap secangkir espresso kesukaannya. Saat ini mereka sedang berada di sebuah cafe setelah melakukan sesi pemotretan beberapa kali.Sebenarnya Cindy kurang setuju dengan keputusan yang diambil oleh sahabatnya. Mengingat karir Nada sedang bagus-bagusnya dan sayang jika harus dilepas begitu saja. Akan tetapi, Cindy juga mengerti akan permasalahan yang sedang dihadapi Nada, hingga sahabatnya itu harus mengambil keputusan ini."Nad, sebagai sahabat, aku hanya bisa mendukung setiap keputusan yang kamu ambil. Apalagi ini menyangkut nasib rumah tangga kamu. Tapi bagaimana dengan uang ganti rugi? Kamu yakin mau mengeluarkan uang sebesar itu?" tanya Cindy ingin memastikan. Sudah menjadi resiko bagi mereka jika memutuskan berhenti sebelum kontrak kerja selesai. Membayar ganti rugi dan itu bukan uang yang sedikit."Aku sudah memikirkannya matang-matang
"Terima kasih, Nak Attar. Sudah membantu Naura selama saya dirawat di rumah sakit. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya jika Nak Attar tidak ada. Sekali lagi, terima kasih.""Sama-sama, Pak. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menolong sesama, apalagi menyangkut Naura yang memang merupakan sekretaris saya," jawab Attar disertai senyuman tulus. Kini mereka sudah berada di rumah Naura setelah tiga hari ayahnya dirawat di rumah sakit. Attar sengaja menjemput mereka dan mengantar sampai ke rumah. Mungkin ini terlalu berlebihan. Akan tetapi, bagi Attar merupakan kebahagiaan tersendiri karena bisa membantu wanita yang diam-diam mencuri hatinya. "Naura ini putri saya satu-satunya. Saya tidak tahu bagaimana dengan nasibnya jika sampai saya meninggal. Semoga saja, sebelum saya menghadap yang kuasa, Naura sudah mendapatkan jodoh yang baik, yang bisa menyayangi dan mencintai dia setulus hati." Wandi, ayahnya Naura berujar dengan sendu. Ia memikirkan nasib putrinya jika ia sampai meni
"Ini ... kamu sengaja memesan tempat privat untuk kita?" Attar terkejut melihat sekeliling ruangan yang telah dipesan Naura. Di atas meja sudah tersedia berbagai hidangan dan juga kue ulang tahun yang bertuliskan angka 30. Semua telah dipersiapkan Naura untuk merayakan ulang tahun atasannya itu."Saya memang sengaja menyiapkan ini untuk Bapak sebagai kejutan. Semoga Pak Attar suka." Naura memasang senyum manis. Ia sangat senang melihat Attar yang terlihat takjub pada apa yang ia persiapkan untuk pria itu. Ia ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuk Attar, orang yang kini sangat spesial baginya."Apa ini tidak terlalu berlebihan?""Bapak tidak suka?" tanyanya dengan raut kecewa."Oh, bukan begitu. Justru saya sangat suka. Hanya saja, saya tidak menyangka kamu menyiapkan semua ini untuk saya."Naura bernapas lega. Ia mengambil kue ulang tahun yang sudah ia persiapkan dan membawanya ke hadapan Attar. "Bapak tiup dulu lilinnya, setelah itu kita nikmati hidang
Attar dan Naura masih sama-sama diam. Keduanya terlalu syok dengan apa yang terjadi barusan. Attar tidak menyangka Nada akan menyaksikan langsung pengkhianatan yang ia lakukan. Entah ada apa dengan dirinya bisa sampai lepas kendali dan mencium Naura. Apa mungkin karena terbawa suasana? Atau mungkin karena ia memang menginginkan Naura. Attar merasa dirinya telah menjadi suami yang paling buruk. Melakukan pengkhianatan di saat istrinya dengan susah payah menyiapkan kejutan. Namun, Attar tak bisa menampik adanya gejolak rasa ketika berdekatan dengan Naura. Kehangatan yang sudah lama tak ia dapatkan dari Nada, kini ia rasakan bersama sekretarisnya."Saya antar kamu pulang." Attar memecah keheningan di antara mereka. Ia tidak ingin lebih lama berada di tempat ini, tempat yang menjadi saksi betapa br*ngseknya seorang Attar."Tidak usah, Pak. Biar saya pulang sendiri. Lebih baik Bapak susul Bu Nada." Naura mencoba menolak. Ia terlalu malu atas apa yang terjadi di antara mereka barusan."Di
Dua hari semenjak kejadian itu, Nada masih belum ingin bertemu dengan Attar. Tak peduli dengan suaminya yang hampir dua jam sekali bolak balik ke Apartemen milik Cindy dengan harapan agar mereka bisa bertemu dan berbicara. Nada sadar sikapnya ini tergolong kekanakan. Akan tetapi, ia masih belum siap karena takut emosinya tidak bisa terkontrol. Ia ingin marah, mencaci dan memaki Attar yang telah tega mengkhianatinya. Meski hubungan Attar dan Naura belum sampai pada tahap yang lebih jauh, tetapi tetap saja mereka berdua sudah bersentuhan fisik. Nada tidak bisa terima. Selama ini ia selalu berusaha menjaga kesetiaan di tengah-tengah godaan yang selalu datang mendera. Namun kini, Attar dengan mudahnya berpaling hati karena ia belum bisa mewujudkan keinginan suaminya itu. Namun, perkataan Cindy pagi ini membuat Nada berpikir ulang. Sahabatnya itu benar, Nada tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut. Ia dan Attar harus bicara, setidaknya untuk menentukan tentang nasib rumah tangga merek