Meskipun selama ini hanya diam, bukan berarti Chiara tidak menyadari perubahan sikap Evan padanya. Terhitung sejak dia memberitahukan tentang hubungannya dengan mantan calon suami kakaknya, sejak saat itu pula pemuda itu seakan membangun tembok tebal di antara mereka. Jujur saja, Chiara merasa kehilangan. Mereka bersahabat sejak masih sama-sama memakai popok, dia ... sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Evan.Sedikit menghela napas panjang, gadis itu mencoba melengkungkan sebuah senyuman saat sudah semakin dekat dengan sosok sang sahabat. Chiara masih berharap jika apa yang dia rasakan hanya perasaannya saja, dia berusaha berpikir positif."Loh, Van, Sel ... kalian ke sini juga?" tanya Chiara. Dia sudah berdiri di sisi meja Evan beserta Selena sekarang."Iya. Memangnya kenapa?" Yang terjadi nyatanya tidak sesuai ekspektasi Chiara. Evan menjawab dengan enggan, tidak terlihat terkejut sama sekali. Pemuda itu hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menyedot segelas jus di atas meja me
Nardo menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang rumah Chiara. Dia tidak begitu fokus mengemudi tadi. Berkali-kali dia menoleh ke sisinya, memperhatikan wajah sang kekasih yang semakin pasi. Dia cemas, sangat cemas. Gadisnya tidak berhenti menangis sejak tadi. Dari raut yang terbaca, Chiara terlihat kesulitan bernapas.Kekasihnya sedang berduka, Nardo tahu itu. Sangat menyakitkan saat sahabat terbaikmu tiba-tiba memutuskan hubungan pertemanan, bukan? Apalagi jika kamu tidak tahu di mana letak kesalahanmu. Yah, Nardo tidak bisa melakukan apa-apa selain mencoba menenangkan.Pria itu bergegas turun dari mobil, melesat ke sisi pintu tempat di mana Chiara berada kemudian membukanya. Tatapan mata biru itu semakin tampak khawatir."Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Chia?"Gadis manis itu menggeleng, menolak tawaran Nardo. Dia mencoba mengukir senyum lemah dengan susah payah. "Tidak perlu. Chia cuma perlu istirahat, Kak."Dan Nardo hanya bisa mengembusan napas berat, menuruti ke
Seakan baru saja menaiki roller coaster, kepala Chiara terasa berputar-putar. Pusing sekali. Susah payah dia membuka matanya yang terasa begitu berat, dan ruangan yang sudah tidak asing lah yang menyambut pandangannya. Rumah sakit, gadis itu sudah sangat hafal suasana dan aromanya karena dulu dia pernah dirawat di sana dalam waktu yang cukup lama.Si gadis menyipitkan mata saat cahaya lampu membuatnya sedikit silau. Salah satu tangan rapuh itu naik perlahan, mengurut keningnya yang pening. Dan dia menangkap presensi kekasihnya, pria yang dia cintai itu tersentak saat tahu dirinya sudah tersadar dan membuka mata."Mmhhh ... Kak?" Chiara melenguh, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar."Kamu sudah bangun? Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apakah ada yang sakit?" Nardo menegakkan posisi duduknya, memberikan atensi penuh pada Chiara. Pria itu segera meneliti raut muka, kedua mata, bahkan mengecek kedua tangan kekasihnya. Dia terlalu cemas, membuat si gadis sedikit terkikik tanda bahagia.
Menunggu sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang menyebalkan bagi Chiara, sebab kali ini dia ditemani oleh sang sahabat terbaik dan juga kekasih si pemuda. Gadis itu tersenyum menatap pasangan baru di depannya. Bersatunya Evan dengan Selena membuat dia turut merasakan kegembiraan tersendiri. Sebagai informasi, Evan sudah menerima cinta gadis paling teladan di kampusnya itu tepat setelah Chiara keluar dari rumah sakit tempo hari.Mereka bertiga sudah bersiaga berdiri di sisi gerbang, berpayungkan rimbunnya dedaunan pohon beringin yang masih tumbuh di dalam pagar, masih di area universitas Nusa Bangsa. Evan dan Selena memang sengaja menemani Chiara menunggu kedatangan Nardo untuk menjemput gadis manis itu seperti biasanya. Semenjak Selena resmi menjadi kekasih Evan, gadis itu memang menjadi semakin akrab dengan Chiara. Mereka bertiga menjadi teman karib pada akhirnya. Cuaca sore ini sangat bersahabat, mentari tidak terlalu terik sehingga membuat ketiga manusia yang beranjak dewasa terseb
Dalam perjalanan pun Chiara menjadi lebih sering diam, padahal biasanya gadis manis itu tidak akan pernah kehilangan topik pembicaraan. Dia hanya menatapi jalanan dengan hampa, seraya berusaha mengenyahkan keraguan di dalam hatinya. Entahlah, mendengar ucapan Nardo yang berkata jika dia menyukai tarian ballet sedikit mengganggu pikirannya. Karena ... yang menyukai tari ballet itu Naomi, bukan Chiara. 'Kak Nardo ... benar-benar mencintai aku, kan?' Chiara bertanya-tanya dalam angan. "Mau ganti baju di rumah atau mau aku belikan baju baru saja, Sayang?"Sedikit tersentak, Chiara segera menoleh pada Nardo yang sedang mengemudi di sisinya. Setelah dipikir sekali lagi, gadis itu mencoba melupakan kejadian tadi. Dia percaya Nardo, pria itu mencintai dirinya, begitu pula sebaliknya."Sok iya banget kamu. Ganti di rumah saja, sekalian kamu minta izin ke Mama. Mengajak anak gadis orang harus dengan persetujuan orang tuanya, tahu!" Chiara mencebikkan bibirnya, pura-pura kesal. Berbanding lurus
Waktu menunjukkan pukul lima sore saat Nardo memarkirkan mobilnya di halaman rumah Chiara. Setelah sedikit berbincang dengan ibunya, gadis itu langsung melesat ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian, meninggalkan Nardo di ruang tamu bersama sang ibu. Suasana canggung sudah tidak lagi Nardo rasakan ketika berhadapan dengan orang tua gadis itu, terlebih pada Ambar, ibunda Chiara, sebab dirinya sudah terlalu terbiasa. Sebelum ini pun pria itu sudah hampir menyandang status sebagai menantu di dalam keluarga itu.Dengan secangkir kopi hitam dan beberapa makanan ringan yang Ambar sajikan untuknya, mereka terlihat santai mengobrol ringan. Banyak hal yang mereka bicarakan, terutama tentang status hubungan Nardo yang kini sudah menjadi kekasih putri bungsunya.Ya, Nardo dan Chiara baru mengakui hubungan asmara keduanya pada sang ibunda setelah hubungan itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya.Ambar tidak terkejut sama sekali, sebab dia memang sudah menduganya sejak awal, tepatnya setela
"Selamat datang di apartemen sederhana aku, Sayang," ucap Nardo sesaat setelah membukakan pintu apartemennya untuk sang kekasih yang berdiri di sisinya. Kenyataannya tidak sesuai perkataan pria itu. Apartemen mewah bergaya bohemian adalah pemandangan yang Chiara tangkap, tidak ada kesan sederhananya sama sekali. Gaya yang cukup populer di kalangan milenial karena mencerminkan gaya hidup tanpa beban, bebas aturan. "Merendah untuk ditabok, ya? Apartemen semewah ini kamu sebut sederhana?" Chiara memasuki hunian sang kekasih lebih dalam, dengan menyapukan tatapan mata ke segala penjuru. Apartemen itu dihias dengan perabotan antik disertai aneka dekorasi berupa permadani, lampu, dan berbagai barang antik yang penuh kemewahan. Ada bantal kain tepat di tengah ruang duduk yang nyaman, ditambah dengan lampu gantung mewah dan furnitur tua yang menambah kesan unik."Aku kan orangnya rendah hati, Chia." Nardo melebarkan senyum, lalu menunjuk pada sofa di sisi kanan dengan dagu seraya melepas t
Perkiraan Nardo nyatanya memang tepat. Setelah dia berhasil memarkirkan mobilnya secepat kilat, jarum pendek pada arloji miliknya sudah menyentuh angka delapan, lebih sedikit. Mereka terlambat hampir lima menit dari jadwal pertunjukan dimulai.Dengan bergandengan tangan mesra, pria itu melangkah beriringan bersama Chiara dengan sedikit tergesa menuju pintu gedung Dirgantara. Dan ternyata Evan beserta Selena masih ada di pelataran sana, sepertinya pasangan itu sengaja menunggu mereka."Van, Sel ... maaf ya, kami telat," ungkap Chiara dengan wajah bersalahnya. Napasnya memburu, mungkin lelah karena berjalan terlalu terburu-buru tadi.Evan yang awalnya berdiri bersandar pada pilar, kini menegakkan tubuhnya dengan tangan bersedekap. Pemuda itu tampak sedikit kesal. "Ke mana saja, sih? Untung pertunjukannya belum dimulai," gerutunya. Sedangkan secara otomatis kedua pipi Chiara merona atas pertanyaan Evan, dia kembali mengingat 'momen' bersama pria jangkung yang berdiri menjulang di sisiny