Hari sudah sore.
Setelah kue yang dibuatnya selesai dipanggang hingga matang dan tentunya dengan rasa yang memuaskan, chef memperbolehkan Jane untuk pulang lebih dahulu dari tiga orang lainnya.
Seperti yang diinginkan gadis itu dari awal.Tapi bukannya sudah berbaring di sofa empuk atau juga ranjangnya yang luas dan nyaman Jane justru masih berdiri di depan bangunan bertingkat tempatnya menjalani kursus beberapa saat lalu, meski banyak taksi driver melintas di jalanan yang sudi mengantar Jane pulang dengan nyaman.
Jane menoleh ke samping melihat seberapa sibuknya jalanan ini ketika menjelang sore, sesekali Jane menilik kembali arloji di tengannya. Gadis yang menggunakan kaos santai dan juga celana jeans panjang itu menyentuh telinga polos-nya karena bosan menunggu.
Iya. Jane sedang ada janji.
Dengan Juni.
Jane mengirim pesan megajak sebuah pertemuan dengan Juni beberapa saat lalu ketika kue miliknya masih dalam mesin pemanggang, dan
Setelah mau-maunya ikut saja kemanapun tujuan pergi yang di inginkan Karina sesore tadi, akhirnya malam pun tiba. Jane hanya duduk tanpa banyak bicara sedari tadi diantara tiga orang lainnya. Jane tidak bohong ketika bilang bahwa ia lelah sekali. Bukan hanya sekedar alasan atau upayanya untuk menghindar dari perkumpulan dimana ada Theo di dalamnya. Meski itu juga salah satu alasan Jane ingin pulang. Lihat saja. Laki-laki itu begitu tidak tau malu, beberapa kali sudah tertangkap basah curi-curi pandang pada Jane. Jane mengangguk sesekali saat Karina mengajaknya bicara, mereka sedang berkumpul di sebuah pub kelas atas yang elit. Dan meski ada di tempat penuh minuman beralkohol yng pastinya mahal dan juga lezat Jane tidak menyentuh minuman memabukan itu sama sekali. Ia punya kenangan buruk saat mabuk. Jane tidak berniat sedikitpun untuk mengulangnya. Jane menilik lagi pada jam di tangannya. Sudah hampir jam delapan. Jane m
Entah apa yang sedang Jane pikirkan sebenarnya sampai mau saja melakukan ini. Memutar setir ke kanan dan juga fokus pada jalan agar Mendes tidak terluka lagi. Jane sesekali melirik orang yang tengah teler di kursi belakang. Dengan bantuan Juni, Jane benar-benar bisa mengikat Theo di kursi belakang. Mungkin kedengarannya sangat tidak berperi kemanusiaan, namun mau bagaimana lagi, ini semua demi keselamatan Jane. “Makan malam hari ini apa?” ditengah suasana hening mobil yang sedag melaju itu sebuah suara terdengar. Jane melirik ke kaca belakang. Melihat Theo masih setengah terpejam dengan dua tangan terikat diatas paha. Makan malam? Jane memutar mata malas. Bersyukur saja Jane mau membawa Theo pulang dengannya dan juga masih menjaga penuh kesadaran tanpa satu tetes alcohol pun. Tidak seperti Theo dulu, di Korea, dia juga ikut minum tapi berani-berani menyetir mobil dengan Jane di dalamnya. Untung saja Jane tidak mati. “Kenapa kam
Sama seperti pagi biasanya. Pagi hari ini pun Jane berhasil membuka kelopak matanya dengan bantuan suara merdu setelan alarm. Tidak begitu saja bisa mengusir rasa kantuk yang sudah semalaman merajainya. Jane mengangkat tangan, menutupi mulut yang menguap, lalu ia mengucek mata guna mengusir residu pagi yang dihasilkan, lalu sibuk mengumpulkan nyawa. Setelah beberapa saat bertahan di ranjang, Jane berhasil bangun, melemaskan badannya yang kaku sembari menyingkirkan selimut putih yang ia gunakan semalaman. Jane merapihkan rambutnya dengan jemari kemudian mengumpulkannya menjadi satu menjadi gulungan bundar di belakang kepala. Gadis ayu itu kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur. Seperti biasa, seperti orang kebanyakan. Setiap baru bangun tidur Jane selalu mengambil satu gelas air putih untuk di minum. Setelah selesai dengan mengisi mineral Jane hendak menuju kamar mandi, baru hendak, karena sepagi ini siapa yang sangka ada orang yang
“Kamu tidur sama dia?” Suasana hening dalam mobil yang di tunggangi Theo itu seketika berubah atmosfir menjadi lebih pekat. Setelah menemui ayahnya di rumah Jane tadi, Theo tidak menunda untuk segera membawa pergi ayahnya dari sana, namun ketika ingat kunci rumahnya di buang kemarin malam lelaki itu tanpa kata hanya menuju mobil dan duduk di kursi penumpang Ferrari milik Kevin itu. Membuat sang ayah yang tadinya ingin mengunjungi tempat tinggal sang anak harus mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah-nya sendiri. Kevin mengambil kemudi. Menyetir dengan sang anak di sebelahnya. Menanyakan hal yang harusnya tidak ditanyakan. Kevin tinggal di Jerman, dan tidak ada orang tua menanyakan hal semacam itu pada anak mereka, Kevin pun tau itu, hanya saja, ia ingin bertanya. Helaan napas santai menjadi balasan dari pria yang masih membuang pandangannya ke jalanan itu. “Usia saya tiga puluh satu tahun beberapa bulan lagi.” Yang ar
Ingat tentang rencana liburan berkedok survei tempat di Jogja? Jane serta kedua temannya melaksanakan rencana itu hari ini. Dan daripada menaiki pesawat ataupun kereta agar bisa sampai lebih cepat mereka memutuskan untuk naik mobil saja. Sembari menikmati perjalanan yang ada dan juga ingin sesekali mencoba menyetir ke tempat yang jauh. Lili datang ke rumah Jane dengan satu tas kecil, wanita itu tak membawa apapun selain pakaian dalam, skincare dan peralatan make up, katanya; gue yakin pasti ada orang jual baju di sana. No ribet-ribet club. Apalagi Maria. Sama seperti Lili barusan, ibu satu anak itu juga merasa keberatan jika harus membawa banyak barang. Meski tau kalau bagasi mobilnya mampu menampung lebih dari sekedar pakaian untuk lima hari. Berkat kemujuran hidup Maria, mereka juga tidak akan kebingungan dengan tempat menginap. Hotel besar milik keluarga sultan itu tentunya ada cabang di Jogja. Jane memeriksa kembali lembar jadwal liburan y
Suasana di ruangan lebar itu terasa sepi. Tembok berwarna cream dengan aksen modern yang kental itu juga menambah kesan dingin alih-alih warnanya bertone hangat, di samping jendela besar sana ada meja mahoni berukuran besar dan juga kursi kebesaran, lalu di seberangnya juga ada sofa besar mengisi kosong dalam ruangan. Ruangan ini adalah ruangan pemimpin perusahaan konstruksi yang semula menaungi Theo. Ruang kerja milik teman semasa SMA pria itu. Theo memang biasanya tanpa alasan mengunjungi beberapa teman, selain untuk kumpul saat sedang tidak sibuk, beberapa kali memang Theo hanya ingin menghilangkan pikiran. Seperti sekarang ini. Hidupnya tengah agak berantakan, Theo dengan sadar menyadari dan memulai kekacauan tersebut. Kendati demikian, keyakinan Theo sebagai individu yang pilihannya bisa direnggut oleh dirinya sendiri ini jelas menang. Theo tentu lebih memilih mengambil beberapa resiko daripada mengengkan kemauannya dan hidup deng
Sesampainya empat wanita itu di Jogja, mereka tidak lain tidak bukan langsung membawa diri pada ranjang hotel guna mengusir lelah dan pegal karena seharian menyetir. Tidur di sana hingga sore sebelum kembali mendapat energy untuk segera menyicipi pemandangan pantai yang bisa mereka dapat tak jauh dari lokasi hotel. Sewaktu dengan santai dan juga rileks menikmati pemandangan alam yang amat luar biasa ini, seperti biasa manusia yang paling tidak bisa diam diantara mereka langsung menawarkan sebuah permainan. Maria menunjuk satu laki-laki didepan sana, laki-laki dewasa yang tidak memakai atasan apapun untuk menutupi segenap otot tubuh bagian atas, membuat taruhan mengenai apa orientasi seks laki-laki itu dengan empat orang lainnya. Jane tau ini sangatlah tidak penting dan juga sangat tidak sopan, namun ia bisa berbuat apa ketika Lili dengan semangat mengatakan pilihannya? Jane tidak bisa menolak dan segera membuat pilihan juga. Tentu. Manusia den
Sepasang kaki putih berbalut sandal yang terbuat dari rotan itu berjalan santai diantara berpasang-masang kaki lainnya, sibuk bergerak menuju ke tujuan masing-masing. Sudah dengar bahwa Jane telah divonis hukuman bukan? Ia mendapatkan sebuah piercing di pusar. Jane suka itu. terdengar cukup seksi namun tidak berlebihan menurutnya. Maka disinilah ia, sedang berjalan dengan tiga orang wanita yang ia bawa untuk berlibur bersama. Menapaki lantai bersih sebuah mall besar yang ada di Jogja, tak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Setelah sekitar dua jam berjalan-jalan hanya untuk shopping dan juga kulineran, Jane akhirnya akan segera di eksekusi. Maria dengan empat paperbag di tangannya menyamai langkah Jane yang semula ada di baris depan bersama Lili. Kelihatannya masih saja ingin bertanya-tanya tentang suatu hal yang telah mereka bahas sebelumnya. Sebuah rahasia yang tiba-tiba saja diungkap oleh mulut besar Lili. Jane m