Malam sudah datang.
Komplek perumahan yang biasanya ramai ini tak seramai hari biasa, tak ada suara rengekan bayi, ataupun ibu-ibu muda yang rempongnya melebihi gadis remaja telat datang bulan.
Jane dirumah sendirian.
Malu mengatakannya namun, Iya, Jane memang merasa sedikit kesepian.
Sesore ini hanya ditemani oleh tayangan netfix series yang sudah ditontonnya dua kali dan beberapa pesan singkat dari rekan kerja yang mungkin baru mendengar kabar bahwa ia di PHK.
Bertanya ada apa dan kenapa bisa.
Jane hanya mendesah kecil, membalas dalam grup obrolan. I'm Jane, i'm oke!
Dan beberapa dari mereka berkata kalau ingin mengunjungi rumah Jane esok hari. Jane mengijinkan tentu saja, dengan syarat harus membawa beberapa menu minuman dari kedai kopi terkenal.
Setelah itu? Setelah dramanya selesai dan ia sudah membalas semua pesan ya
Dengan gerak jurus seribu bayangan Jane langsung menutup pintu rumahnya secepat kilat. Memukuli kepalanya sendiri karena terlalu malu. Kenapa ia bisa punya kepercayaan diri yang tumpah-ruah seperti ini sih? Dari siapa turunnya? Jane kira Theo ingin membahas hal-hal yang sebelumnya terjadi. Tetapi ternyata, semua adalah hasil dari naskah yang dibuat Maria. Jane membenarkan tata rambutnya dengan cepat. Ia menetralkan napas dengan tenang, meyakinkan dirinya kalau apa yang baru terjadi memang tidak sememalukan itu. Jane berdehem kecil, ia kemudian membuka kembali pintu rumahnya. Manusia tinggi besar rupawan tadi juga masih disitu. Memasukan beberapa anak rambut di sela daun telinga Jane kemudian mendongak dengan ekspresi yang masih tak bisa diajak kompromi. "Gue pernah bilang, kan?" tanya Jane tiba-tiba. Taehyung menoleh pada Jane. "Hm?" Tidak terlalu m
——— "Ganteng banget Weh, ampun Jane, punya tetangga caem begini diam-diam bae." Jane memutar mata malas satu kali lagi. Siapa yang sangka. Kata-kata 'kita ke rumah lo besok' yang dimaksud oleh rekan-rekan seprofesinya ini adalah tepat besok setelah mereka landing dari penerbangan, yang mana subuh-subuh sekali, waktu Jane masih terpejam dalam kedamaian tiba-tiba ada segerombolan wanita berseragam datang kerumahnya membawa kopi dan juga makanan manis. Dan juga! Hei! Kenapa hari ini harus akhir pekan sih! Kenapa tidak hari kerja saja. Waktu berkumpul ciwi-ciwi jadi harus terpecah setelah satu burung merpati melintas, mengunakan setelan olahraga yang pas di tubuh dan juga badan berkeringat karena telah berkeliling komplek perumahan. Jane jadi berpikir. Mereka ini mau acara pelepasan Jane dari maskapai atau cuma menonton manusia yang se
Tanggerang, 2015.Bandar Udara internasional Soekarno Hatta.— Waktu itu seorang laki-laki berusia awal dua puluhan duduk di bangku tunggu yang terlihat kosong dengan menenteng satu lembar tiket pesawat ditangan. Ia menatap bergantian antara tiket itu dengan ubin bandara sebagai landasan pikiran. Menimbang kembali. Iya atau tidak. Berangkat atau jangan. Sampai akhirnya ia hanya bisa mengerjap tipis ketika bunyi pengumuman berhasil mampir ke rungunya. Ia tertinggal pesawat. Tak apa. Tidak terlalu terasa mengesalkan. Malah sebaliknya, ia merasa batu ragu yang ada di benaknya telah terangkat. Semuanya wajar untuk ukuran anak yang diperintahkan pergi dari rumahnya sendiri untuk hidup bersama sang ayah di benua jauh. Meski sejujurnya ia amat sangat enggan. Membuatnya meragu ditiap detik hingga akhir waktu. Lebih baik disini. Betul. Menyadari hal itu, Theodore yang masih berusia dua puluh
Sabtu sore adalah jadwal paten dalam hidup Jane untuk menggunakan serangkaian perawatan wajah. Kendati sudah tak ada partner gelut yang suka ikut pakai dan berakhir dengan saling memakaikan, Jane tentu harus tetap merawat kulit wajahnya dengan rajin. Investasi pada tubuh itu penting, ladies. Jane menepuk-nepuk wajahnya yang masih basah karena baru selesai mencuci muka serta eksfoliasi. Didepan meja rias, gadis dewasa yang memakai tangtop putih serta celana bahan sebatas paha itu kemudian membuka satu bungkus sheet mask. Mengeluarkan isi tisyu penuh serum yang bergizi bagi kulit dengan hati-hati, melebarkannya lalu ia tempelkan di muka. Menekan-nekan pelan agar menempel sempurna sebelum meneteskan semua sisa serum yang ada dibungkus kewajah serta lehernya. Mulut kecil wanita itu tak selesai bergumam nada dari sebuah lagu, meski tak terdengar jelas lagu berjudul apa. Yang jelas, itu adalah pertanda bahwa ia sedang gembira. Setelah se
"Kita nggak melakukannya malam itu." Mendengar kalimat itu, bola mata Jane lantas bergerak-gerak canggung, sebelum kemudian si gadis ayu mengambil satu langkah mundur. Dia tidak mungkin percaya begitu saja. Bisa saja ini hanyalah akal-akalan Theo agar Jane tidak lagi malas dan canggung ketika diajak bicara. Apalagi, malam itu tubuh Jane jadi saksi. Selatannya perih, dilehernya ada beberapa tanda keunguan, perutnya mual dan juga ingat? Ia bangun dalam keadaan telanjang. Siapa yang akan percaya omong kosong itu. "Oke, jadi yang buat cupang di leher gue itu kadal Korea?" desis Jane tak tanggung-tanggung. Theo menyirit. "Yang bikin anu gue perih bukan lo tapi kodok Zimbabwe? Begitu?" Jane melepaskan sisa amunisi pancaran mematikan dari dua matanya. Gadis berkulit lembab itu mendecih."Gak sekalian lo bilang kalo yang telanjangin gue itu sotong Madagaskar?!" "Jeje?!" Panggilan keras dari Ratna mem
"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?" Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan. Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab. Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana. Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian. "Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi. Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif. Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business." Sikap yang wajar. Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak te
"Adek gue tau kalau tunangannya suka datang malam-malam kerumah tetangga buat minta makanan?"Untuk ukuran dua manusia, yang secara nyata adalah merupakan calon kakak dan adik ipar, Theo dan Juni memulai topik perbincangan dengan cara yang kurang mengenakkan.Terang saja, mereka memang tidak terlalu akrab.Pria tinggi yang mempunyai rahang tegas itu memasukan dua tangannya ke dalam kantong celana.Melirik sekilas antara piring nasi yang ada di tangan Theo dan juga wajah sang calon adik ipar secara bergantian."Mau apa kemari," balas Theo tak basa-basi.Membuat konversasi bersama Juni selalunya harus memakai pasokan tenaga yang banyak. Cukup melelahkan. Hingga Theo kebanyakan diam jika pria yang lebih tinggi darinya itu memancing emosi dengan menggunakan kalimat-kalimat sensitif.Jengkitan pundak dan juga kepala miring menjadi balasan. "Not your business."Sikap yang wajar.Untuk ukuran lumrahnya seorang kakak terhadap ad
Minggu pagi, Tangerang punya cuaca cerah dan juga udara masih arsi. Setelah dua jam berikutnya berganti dengan panas polusi asap kendaraan ciri khas kota hectic yang satu ini. Seperti yang sudah ia janjikan pada ibunya kemarin malam. Jane akan kembali ke rumah sepagian. Membuka mata yang sudah terbiasa bangun pagi itu untuk beraktifitas, mengusung segala sesuatu yang sudah dibelinya untuk acara penting nanti malam. Jane memakai reap jeans high waist dengan kaos pendek berwarna putih yang dilapisi jaket denim. Dara rupawan itu membiarkan rambut lurusnya tergerai indah, menyempurnakan penampilannya wajahnya yang sudah di make up tipis. Tinggal menunggu grab car, Jane menghempaskan dirinya diatas sofa. Jane memeriksa ponselnya kala bunyi notifikasi hinggap ditelinganya. Ada sebuah pesan pemberitahuan sejumlah uang masuk ke dalam rekeningnya. Bayaran hutang dari Edgar. Detik berganti menit namun driver yang dipesan tak kunju