Saga memang sudah merencanakan akan membuat nasi goreng. Ia sengaja menggoda gadis itu lagi, yang justru menjadi senjata makan tuan dengan permintaannya yang tidak masuk akal.
“Kau duduk manis saja di situ. Biar aku yang menyiapkannya. Waktu aku sakit, kau sudah membuatkan makanan untukku. Ini sebagai balasannya.” Sambil berkata begitu, Saga mulai mengeluarkan nasi putih yang sudah ia siapkan sebelumnya, telur, daging ayam, dan beberapa bumbu tambahan.
“Oh! Aku nggak perlu membantu sama sekali, ‘kan?” Val duduk bertopang dagu di meja.
“Iya. Kau diam saja. Oh, wajan di mana? Talenan? Pisau?” Saga sibuk mencari di laci dan lemari dapur Val.
Val tertawa lalu mengambil peralatan yang dibutuhkan. Pada akhirnya, dia juga turut membantu Saga mencuci dan memotong bahan-bahan. Meski Saga menolak, tapi ia tetap bersikeras melakukannya.
“Aku kasihan sama dapurku.” Begitu jawaban Val.
Pagi itu, di da
Saga mengusap puncak kepala Val sebelum berkata, “Kau siap-siap, ya? Tiga puluh menit lagi aku tunggu di lobi.” “Hah? A-apa ma─” Kecupan singkat di kening, menambah kebingungan Val. Bahkan setelah Saga keluar dari apartemennya, gadis itu masih membeku di tempat. “Val, sadar, Val!” Gadis itu menepuk-nepuk kedua pipinya lalu bersiap-siap seperti yang Saga minta. Tak lama, keduanya sudah berada dalam perjalanan ke bagian Timur kota. “Mau ke mana kita?” tanya Val. “Kau lihat saja nanti.” Melihat Saga tidak menjawab pertanyaannya, gadis itu cemberut. “Kamu mau menculikku lagi seperti dulu?” “Kau yang sukarela ikut.” “Huh!” Saga tertawa. “Membuat bahan untuk kelanjutan ceritamu,” terangnya. Wajah Val memerah. “Kenapa kamu bisa tahu?” Laki-laki itu tertawa kecil. “Tentu saja karena aku ada di dalamnya. Kalau kutanya langsung padamu, kau nggak akan menjawabnya.” “Memang ….” Val tidak bisa
“Oh … Rara pernah menceritakannya sedikit.” Val mengangguk. “Teman kuliahku. Awalnya hanya murni berteman. Dia juga membantuku dan Arion saat merintis perusahaan. Hanya dua tahun bertahan, tiba-tiba dia menghilang setelah pertengkaran kami.” “Pasti kamu yang salah.” “Enak saja!” “Kamu tahu ‘kan istilah ‘women is always right’?” “Oke, oke, demi gadis kesayanganku supaya nggak ngambek lagi, aku menyerah deh. Capek juga berdebat denganmu.” “Kenapa kamu menceritakannya padaku?” Pertanyaan Val membuat keduanya saling bertatapan. “Aku nggak ingin menyembunyikan apa pun darimu. Aku ingin kau mendengarnya langsung dariku.” “Kukira kamu sudah berkencan dengan banyak wanita. Ternyata baru satu.” Val mengalihkan wajah. “Kau balas dendam rupanya.” Keduanya lalu tergelak bersama. Kemudian, gelap mulai turun dan lampu-lampu dinyalakan. Kios-kios makanan pun satu per satu membuka dagangannya ya
Lama waktu berlalu dan Val belum kembali dari mengambil minum, membuat Saga heran lalu menoleh. Betapa terkejutnya ia melihat Val terduduk di lantai dengan kepala terkulai dan gelas kosong di dekatnya. “Val!” Bergegas Saga berlari dan mengguncang tubuh Val. “Val! Kau kenapa?” Pandangan Saga tertuju pada gelas di lantai dan botol di dekat lemari dapur yang terbuka. “Astaga! Dia minum ini? Berapa banyak yang dia minum?” Saga panik. “Val! Bangun, Val!” Ia berusaha menyadarkan gadis yang masih bergeming itu. Setelah beberapa kali usaha, perlahan kepala Val terangkat. Sorot matanya tidak jelas, dan ia tersenyum miring. Seruannya pun terdengar aneh. “Saagaaa …! Sagaaa … kok kamu ada banyak siiih …? Ada satu, dua, lima … dan, semuanya milikkuuu …!” Cara bicara Val yang sudah tidak jelas alias meracau itu menunjukkan dirinya sedang mabuk berat. “Gawat! Kau mabuk, Val! Kau minum berapa banyak?” Saga berusaha membawa Val berdiri, tapi tubuhnya m
Ucapan Arion membuat mata Saga berkilat marah. “Kau …!” desisnya. Arion terkekeh sambil melepas cengkeraman Saga di bajunya. Sahabatnya ini memang berbeda dari yang lain. Di saat semua pria di lingkungannya berganti-ganti pasangan atau sudah melakukannya, hanya Saga yang tidak pernah menyentuh wanita di luar batas sekalipun itu kekasihnya sendiri. “Aku tahu kamu bukan orang seperti itu. Aku menghargainya. Dan, aku bersyukur akhirnya kalian saling mengakui. Kalian sangat beruntung.” Arion mengangguk saat pelayan meletakkan pesanannya. Ia pun meneguknya sedikit. Keduanya diam sambil menatap cangkir kopi masing-masing. “Kalian akan menikah? Kapan?” “Entahlah, kami belum membahasnya lagi.” Arion mengangguk. Kedua pria itu pun menghabiskan waktu di café hingga menjelang subuh. Sementara itu, Val masih terlelap di kamar Saga yang nyaman. Saga masih tetap berada di café setelah Arion meninggalkannya subuh tadi. Meskipu
“Kak Saga kalau sudah mengantuk, bakal lama tidurnya. Aku juga lagi off hari ini.” Kaira menambahkan saat Val masih terkejut dengan ajakan itu.“Oh. Baiklah.” Akhirnya Val setuju setelah memikirkannya.“Oke, sip! Nanti aku jemput di lobi, ya?” Adik Saga tampak kegirangan mendengar jawaban itu.Val pun segera pamit ke apartemennya untuk bersiap-siap. Kurang dari satu jam, Val sudah berada di dalam mobil Kaira yang melaju santai.“Kak Val biasanya weekend ke mana?” tanya Kaira.“Aku jarang berpergian sih. Aku termasuk kaum rebahan,” jawab Val sambil tertawa.“Ih, enaknya. Aku juga maunya gitu, tapi kadang kaki ini gatal minta jalan-jalan. Kebiasaan di tempat kerja karena harus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.”“Kamu keren.” Pujian yang dilontarkan Val membuat Kaira sedikit tersipu.“Ah, keren apanya. Kalau keren,
Saga sudah menunggu di depan lobi apartemen Val ketika dua gadis itu tiba menjelang malam.“Kalian ini dari mana saja sampai malam begini baru pulang?” omelnya ketika Val dan Kaira turun. “Pasti kau yang bikin gara-gara!” tuduhnya pada sang adik.“Salah sendiri suruh siapa molor!” Kaira tidak mau kalah. “Makanya jangan bergadang. Apalagi sama cewek, bisa sampai pagi tuh!”Val jadi tersipu melihat kedipan mata Kaira.“Bergadang apanya?” bantah Saga. “Aku nggak─”“Iya, iya, aku mengerti. Aku nggak akan bilang Mami kalau kalian ….” Kembali Kaira mengedip nakal. “Ah, tapi Mami kayaknya juga nggak keberatan. Malah seneng mau dapet cucu, dan aku dapet keponakan. Asyiiik!”“Hei, Kai, kau ini ngomong apa sih?! Val, dia habis makan apa jadi melantur begini?” Wajah Saga memerah dan menatap Val untuk meminta pertolongan.Val hanya b
Saga baru saja selesai mandi ketika teringat kado pemberian Val yang sudah ia letakkan di lemari bajunya. Ia tersenyum melihat botol wewangian itu lalu menyemprotkannya ke seluruh tubuh.Wangi segar favoritnya segera memenuhi ruangan. Perlahan ia menghidu aromanya dan rasa bahagia menyeruak di dadanya.Dengan wajah penuh senyuman Saga menjemput Val di lobi. Gadis itu sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu.“Kau tidur nyenyak semalam?” tanya Saga saat keduanya sudah melaju santai.“Lumayan. Kamu sendiri?”“Hmm … saking senangnya, aku nggak bisa tidur.”“Kenapa?”“Karena kau selalu ada di kepalaku, di depan mataku, bahkan menutup mata pun, kau masih ada di sana.”Val mendelik mendengar rayuan Saga. “Halah! Pagi-pagi sudah ngegombal,” decaknya. Samar-samar hidungnya mengenali aroma parfum yang ia beli kemarin.Dia memakainya, p
Val dan Saga telah resmi menjalin hubungan secara terbuka. Baik kedua keluarga dan teman-teman, semua telah mengetahuinya. Namun, bukan berarti hubungan itu aman, tentram, dan lancar tanpa kendala. Layaknya hubungan dua orang manusia, perbedaan pendapat dan pertengkaran kecil selalu ada. Terlebih, Val dan Saga mengawalinya dengan rasa saling membenci. Bahkan, dalam acara makan malam dua keluarga besar untuk membahas tanggal pernikahan pun diwarnai adu mulut yang seru. Di ruang VIP sebuah restoran, Val dan Saga saling mempertahankan pendapatnya.“Sabtu!” tegas Saga.“Nggak! Minggu saja!” tolak Val sama-sama keras kepalanya.Mereka berdua diminta menentukan hari yang dipilih untuk mengadakan resepsi pernikahan. Orang tua Saga dan Val memberi kebebasan pada dua anak manusia itu untuk berdiskusi dan memutuskannya bersama. Nyatanya, mereka berdua mempunyai sifat yang sama kerasnya dan tidak mau mengalah.“Rupanya kalian belum memu