Aku tersenyum menatap selebaran kertas dalam genggaman tangan, mengamati lebih lekat tulisan menggunakan bolpoin berwarna merah. Nilai yang semputna untuk ujian minggu ini.
Helaan napas lega keluar dari mulutku, kemudian menekuk kertas tadi menjadi beberapa bagian dan memasukannya ke dalam tas. Mataku mengedar, menatap keadaan kelas yang mulai tercipta keheningan. Bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Hal itu sama sekali tidak membuatku beranjak dan bergegas keluar dari gedung besar ini. Namun mengingat nenek, sontak aku langsung bangkit. Besok akhir pekan, dan aku tidak akan ada kesibukan lain selain berlatih berenang. Tas gendong berwarna mocca yang kupakai sekolah sejal kelas sepuluh kini sudah bertenger manis di bahuku. Aku beranjak setelah merapikan rambut yang hari ini kukuncir kuda. Langkah kakiku keluar dari kelas, berjalan disepanjang koridor yang hanya dilintasi beberapa siswa saja. Mataku kini melirik pada lapangan outdor, ramai. Sekelibat keinginan untuk ikut dalam organisasi atau sebuah estrakulikuler membucah, keinginan itu tak pernah terwujudkan sejak diriku duduk di bangku SMP. Bila tanya apa masalahnya, jawabannya ayah. Aku sampai di depan gerbang, bergegas menyebrangi jalanan raya setelah lampu merah menyala. Ah, kehidupan yang tidak buruk. Tubuhku duduk di bangku panjang terbuat dari besi yang sudah sedikit berkarat. menghirup napas dalam dengan mata terpejam menikmati keadaan sore hari yang familiar dalam ingatan sekali. Tiba-tiba aku teringat Athala, sedikit meringis tatkala mengingat kejadian kemarin sore saat tubuhku secara reflek memeluknya erat hingga waktu bertemu kami dalam dunia putih berakhir. Aku mengulum senyum, pipiku terasa panas saat mengingatnya saja. Entahlah mungkin memang naluri diri yang cukup berani, toh Athala juga sala sekali mempermasalahkan tubuhnya aku peluk. Bus berhenti di depan halte, aku dan beberapa penumpang naik ke dalam kendaraan besar ini. Bangku tunggal sampaing jendela, tempat favoritku di bus ini. Aku langsung mendudukan tubuhku di sana, takut-takut ada penumpang lain yang menerobos dan mengambil tempat duduk itu. Seperti biasanya, tak ada hal yang lebih membahagiakan selain menatap jalanan ramai dengan awan yang menjinga. Lima menit lagi untuk masuk ke dalam dunia pikiran, anggap saja kali ini aku menunggu waktu sepesial itu. Karena memang benar seperti itu. Aku menunggu waktu kami, waktu Andalusia dan Athala. ***“Welcome,” bisik suara familiar itu dari balik tubuhku.
Senyuman merekah langsung berbit begitu saja pada wajahku, aku membalikan badan. Menatap Athala yang membungkuk agar tinggi badan kami tampak sama. “Hai,” sapaku dengan senyuman yang belum luntur. Athala ikut tersenyum, setelahnya laki-laki itu menegakan tubuhnya. Tangannya terulur menuju kepalaku, menusap rambutku lembut tanpa mengakihkan pandangannya ke arah lain. “Aku senang pertemuan yang seperti ini, Lu,” ujarnya. Aku mengangkat kedua alis tanda bingung. Namun bukannya menjawab atas kebingunganku, Athala malah menggenggam tanganku dan melangkahkan kakinya menuju salah satu bangku panjang yang ada di dunia buatan kami ini. “Maksudmu apa, Tha?” tanyaku dengan ucapan, barangkali ia tidak paham akan kedua alis yang terangkat. Athala mendudukanku dibangku putih itu, ia ikut duduk di sampingku dengan pandangan yang kini teralihkan pada rerumputan segar. “Biasanya kau tiba di sini dengan muka masam,” jelas Athala yang langsung membuatku mengerti. Aku mengangguk-anggukan kepala untuk menanggapinya. Benar apa yang Athala katakan, dulu rasanya menyebalkan bila sampai di dunia ini. Sampai-sampai pernah terbesit dalam pikian untuk mencari tahu cara menghancurkan dunia buatan kami berdua ini. Juga cara untuk mempercepat tersadarnya aku dari dunia pikiran ini. Athala benar-benar mengubah sudut pandangku terhadap dunia aneh ini, kupikir kini tidak begitu buruk. “Jangan terlalu banyak berpikir,” ucap Athala yang langsung membuatku tersadar. Aku kembali menggeleng-gelengkan kepala, “Hanya membenarkan ucapanmu saja.” “Memangnya benar begitu ucapanku, Lu?” tanyanya. Aku menyirit bingung, tak mengerti akan maksud ucapan Athala barusan. “Apa maksudnya?” tanyaku. “Dengan sikapmu yang seperti ini, apa merasa ada yang salah?” tanya Athala lagi, memperjelas ucapan penuh teka-teki sebelumnya. Aku memalingkan wajah darinya, mengedarkan pandangan sembari memikirkan pertanyaan Athala tadi. “Mungkin iya, ah tidak,” Athala terlihat bingung dengan jawabanku, dahinya bergelombang dengan kepala yang memiring ke arahku. “Jadi?” tanya laki-laki itu lagi. “Lucu bila kusebut sebagai perubahan, Tha,” “Mengapa lucu? Merasa tidak mengenali dirimu sendiri?´tanya Athala lagi. Benar-benar peka terhadap apapun, harus kuacungkan empat jempol untuknya. Mengapa ada mahluk seperti Athala? Mengapa dia bisa sekali memahami perkataan yang bahkan diriku sendiri kurang mengerti? Aku mengangguk, membenarkan ucapannya yang ia bilang ‘sedikti kehilangan diriku sendiri dan merasa tidak mengenali diriku sendiri.’ “Benar begitu, Lu? Kau tidak bisa mengenali dirimu sendiri sekarang?” tanyanya beruntun lagi. Aku menjawabnya dengan anggukan polos. Athala terkekeh mendapati responku barusan, ia kembali memalingakan wajah dengan bibir yang terlipat ke dalam mulitnya. “Wajahmu menggemaskan sekali,” puji Athala. Pipiku memanas mendengarnya, tanganku terlulur memukul bahu kekarnya yang sama sekali tidak ia tanggapi dengan rintihan sakit. “Lu, bila merasa tak mengenali dirimu sendiri, itu artinya kau belum percaya pada dirimu sendiri,” jelas Athala yang membuatku kembali memutar otakku lebih keras. “Jawaban macam apa itu?” tanyaku tak terima setelah berpikir sebentar. Aku percaya pada diriku sendiri. Athala mengendikan bahu acuh, “Memang seperti itu artinya, Lu.” Bibirku maju beberapa centi, kembali memutar otaku lagi. Bila diingat-ingat, aku memang tidak terlalu percaya pada diriku sendiri. Saat belajar untuk mempersiapkan ujian dan menjawab soal-soal latihan, walaupun otakku paham jawabannya, aku tidak langsung menjawab bila tak memeriksa berbagai sumber di internet lebih dulu. “Tampaknya ucapanku benar lagi,” ujar Athala yang selalu membuatku tersadar. Aku mengangguk pelan dengan gigi yang mengigit bibir bagian bawahku. Athala sepertinya mengerti akan perubahan ekspresi wajahku, tangannya kembali terulur mengusap rambutku yang dikuncir kuda. “Tidak apa, Lu. Hanya saja harusnya kau khawatir perihal sesuatu,” “Apa yang harus kukhawatirkan?” tanyaku penasaran. “Bagaimana cara dirimu percaya pada manusia lain bila pada diri sendiri saja enggan percaya, Lu?” Deg..., rasanya seperti tertampar akan balasan Athala atas pertanyaanku. Aku sama sekali tak menyalahkan ucapan laki-laki itu, karena memang itu benar adanya. Mungkin karena itu aku tak pernah begitu percaya pada manusia lain di bumi ini selain nenek. Athala benar, rasa tidak percaya pada orang lain ini muncul pertama kali saat aku merasa tidak mengenali diriku sendiri. Dulu, Andalusia yang dulu tidak senang matematika. Dulu, Andalusia tidak suka dengan tempat les. Dulu, Andalusia sempat tidak suka dengan kedua orang tuanya. “Kau harus belajar mempercayai orang-orang disekitarmu setelah ini,” ucap Athala. Aku menoleh ke arah laki-laki itu. Kemudian mengangguk dengan senyuman tipis tanda kelegaan. Benar-benar lega, rasanya satu beban besar yang sejak dulu tertanam kini terangkat begitu saja saat membicarakannya pada Athala. “Bagaimana dengan dirimu sendiri, Tha?” tanyaku balik. “Apa yang bagaimana?” tanyanya tak paham. “Pernah merasa tidak mengenali dirimu sendiri tidak?”Weekend minggu ini tidak terlihat buruk, itu menurut pengelihatan ku kali ini.Satu persatu anak tangga kupijaki dengan satu tangan berpegangan pada besi sebagai penopang.Kedua bola mataku mengedar, mencari keberadaan nenek yang belum tampak dalam pandangan.Senyumku langsung merekah tatkala mendapati wanita paruh baya itu duduk di kursi makan dengan susu dan bubur di atas meja yang selalu menjadi hidangan seperti hari-hari sebelumnya."Selamat lagi, nek," sapaku dengan nada riang. Tanganku memegang kedua bahu rimpuhnya dari belakang.Nenek tampak tak kaget atau menanggapi dengan reaksi tersentak, mungkin karena sudah terlalu biasa akan perilaku diriku kala pagi hari."Pagi, Lu. Sarapan dulu," balas nenek. Ia menarik kursi di sampingnya, memintaku untuk duduk di sampingnya.Aku mengangguk walau nenek tak akan melihatnya, mendudukan tubuhku di sana masih dengan senyuman yang tercetak jelas pada wajah.En
Merasa menyesal juga tak ada gunannya, tepat saat aku mendudukan tubuhku pada bangku kecil tak jauh dari kolam renang, pukul 17.17 WIB yang pertama kali kuabaikan merenggutku ke dalam dunia pikiran.Aku mendengus dalam dunia nyata, kurang mengenakan bila terjebak dalam dunia pikiran dengan keadaan belum berganti pakaian ganti.Kembali bada dunia pikiran, aku kembali melangkah menuju bangku yang biasanya diduduki aku dan Athala. Setelah mendudukan tubuhku di sana, mataku kembali mengedar. Mencari sososk tegap yang biasanya datang duluan.“Kau sampai lebih dulu ternyata,” ujar Athala yang muncul dibalik pohon rindang dengan ukuran yang cukup besar.Aku tersenyum mendapatinya, menepuk ruang kosong di sampingku, memintanya untuk turut menumpukan tubuhnya di benda berwarna putih ini.Athala berjalan ke arahku dengan senyuman manis yang tercetak jelas dalam wajah tampannya, hah?Aku menggaruk-garuk tengkuk y
Aku tersentak tatkala kembali pada dunia asliku. Mataku mengedar dengan napas yang sedikit tidak beraturan. Beberapa bulir keringat pada dahiku mengalir dan sangat mengganggu suasana, ini sudah biasa dirasa bila di dunia pikiran aku melakukan hal-hal seperti berlari atau banyak menggunakan kaki."Astaga Lu, kau sadar juga akhirnya," ucap laki-laki sebayaku. Dia Joo, tubuh alestis yang sebelumnya tampak dalam kolam renang, kini ia angkat dan berlari kecil menuju tempatku. Air yang berasal dari kolam renang yang ia selami beberapa waktu lalu tumpah-tumpah dan bercecer disepanjang keramik yang sebelumnya tampak kering. Aku kembali mengerjapkan mata dan sedikit tersentak tatkala mendapati laki-laki duduk di sampingku dengan tangan yang memegangi kacamata renangnya. "Kau ini sebenarnya mengapa sih?" tanyanya dengan kerutan pada dahi yang sangat ketara. Aku mengangkat alis, memikirkan jawaban yang pas
Kedua tanganku bertumpu pada meja, sedangkan kepalaku kuletakan di atasnya. Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit lalu, tetapi tak ada keniatan sama sekali untuk beranjak dari kursi yang kupijaki sedari pagi ini.Netraku menatap lapangan outdor yang menampilkan anak basket mempersiapkan lomba bulan depan nanti.Sesekali memejam tatakala semilir angin dengan gorden yang beegerak seirama menjadi petunjuknya. Aku menahan napas dengan mata terpejam, setelahnya mengembuskannya perlahan-lahan.Pikiranku kembali terfokus pada Athala, laki-laki yang akhir-akhir ini senang sekali berputar-putar dalam dunia nyata maupun dunia alam bawah sadarku.“Dia itu mahluk seperti apa, sih sebenarnya?” tanyaku pada semilir angin dengan bibir maju beberapa centi.Laki-laki itu selalu membuatku berpikir dua kali, tidakkah merasa kasihan dengan pikiran gadis kecil ini?Semilir angin kembali menerpa wajahku, mataku tetap terpejam. Mengingat Athala selalu membuatku mengan
“Pertandinganmu jam dua siang, Lu,” ujar Joo. Laki-laki itu menyodorkan selebaran jadwal perlombaan berenang hari in.Aku mengangaguk, kemudian kembali meneguk air mineral yang juga di berikan Joo. Mataku mengedar mencari Lee yang katanya akan menjadi lawan bermainku bila masuk final pada perlombaan kali ini.“Kau melihat Lee tidak?” tanyaku pada Joo, wajahku mendonggak menatapnya yang berdiri di sampingku.Joo yang semulanya berdiri tegap kini berkacak pinggang dengan pandangan mengedar.“Entahlah, hilang diitelan bumi semoga,” ujarnya asal.Aku menendang tulang keringnya lumayan kencang, mengundang rintihan keras yang keluar dari mulutnya terdengar hingga para peserta lain menoleh sekilas.“Dua hari belakangan ini bicaramu blak-blakan sekali,” ujarku menyindir.Joo mengendikan bahu, laki-laki itu duduk di sampingku masih dengan mata yang mengedar ke segala penjuru kolam.“Ikut mencari sosok Lee?” tanyaku dengan tatapan mengejek.Joo memutar bol
Siapa dia? Apa aku benar-benar sudah mati? Mengapa dia terus menatapku seolah kami saling mengenal satu sama lain? Dan mengapa wajahnya terasa familiar dinetra.Aku melangkah mendekat ke arah laki-laki berjemeja putih itu, kedua kakiku yang menapak rerumputan basah tanpa alas tak mengganggu fokus netraku.Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat-ingat waajah tak asing itu. Namun bukannya menemukan suatu hal, kepalaku malah berdenyut sakit.“Kau siapa?” tanyaku penasaran. Tangan kananku memegangi kepala bagian belakangku yang masih saja terasa sakit.Namun laki-laki itu bergeming ditempat dengan sorot mata memandangkaua penuh ... kerinduan?Sebenarnya dia siapa?“Kau siapa? Mengapa sepertinya aku pernah melihatmu?” tanyaku mengulang sembari menajamkan pengelihatan.“Manusia harapanmu, Lu,” ujarnya bersuara. Aku tertegun, kedua kakiku berhenti melangkah tatakala mendengar suara bariton itu. Napasku tercekat, rasa menggelitik ini muncul tanpa kuketahui
“Mengapa jadi seperti ini sih, Lu?” tanya nenek dengan pandangan khawatirnya. Tangan kanannya terangkat menuju rambutku, mengusap surai panjang tergerai berantakan itu dengan gerakan pelan penuh sayang.Sedangkan aku hanya bisa menanggapi ucapan nenek dengan segaris senyuman masih dengan kondisi badan yang berbaring, punggungku masih terasa sakit bila banyak digerakan walau tidak sesakit sebelumnya.“Lu tidak apa-apa, nek,” ujarku berharap bisa membuatnya tenang.Embusan napas nenek yang keluar mebuatku kian tersenyum, disaat-saat seperti inilah aku merasa dianggap ada dalam muka bumi.“Bukan hanya masalah itu, kamu tak memberitahukan nenek perihal lomba ini juga,” celetuknya lagi.Aku meringis, melupakan hal sesepele itu yang pada akhirnya membuahkan hasil tidak menyenangkan ini.“Bukan tidak memberitahu, nek. Lomba ini memang dicepatkan tanggalnya, dan hanya lomba kecil,” ujarku memberitahu.
Tak ada yang berarti selain bertemu denganmu, Tha. Aku sendiri tidak mengerti mengapa akses masuk ke dalam dunia pikiran tertutup begitu saja. Parahnya lagi, untuk tersedot ke depan pintu dunia itu saja tubuhku kini tidak bisa.Aku rasa memang ini hal yang kau sebut ‘terjadilah apa yang akan terjadi’, arti dari kalimat singkat yang menjadi judul bab sembilan dalam buku ini.Mataku terpejam, kembali mengembuskna napas tatkala mengingat perihalmu, separuh rasa yang hampa entah karena apa berduyun-duyun menghantuiku siang-malam hanya karena keanehan ini.Bahkan, cuaca mendung dengan rerumputan hijau di bawah sana karena baru saja dibasahi tumpahan air mata awan tak berhasil membuatku merasakan euforia yang biasa dirasa.Semsta benar-benar memberikan teka-teki baru yang harus kupecahkan sendiri tanpamu, Tha. Memangnya di dunia aslimu juga seperti ini? Disuguhkan teka-teki aneh yang membuatmu kian memikirkanku?“Aku merindukanmu,” ujarku dengan bibir m