Rangga berjalan perlahan ke dalam rumah Mentari yang disambut hangat oleh Emak yang baru keluar dari dalam rumah.
Malam sebelumnya, Mentari telah menghubungi dan memberitahu Emak tentang keadaan Rangga dan beliau pun bersedia untuk turut membantu memulihkan ingatan Rangga.
"Assalamu'alaikum," sapa Rangga seraya mencium punggung tangan wanita paruh baya itu, takzim.
"Waalaikumsalam," sahut Emak dengan tersenyum tipis.
Mereka pun masuk ke dalam rumah duduk di sebuah kursi sederhana di ruang tamu. Sementara Bulan segera kembali ke kamar.
Rangga menatap ke sekeliling, melihat semua benda yang tergantung di atas dinding dan yang berada di setiap pojok rumah. Lelaki itu mengernyitkan dahi karena tidak nampak fotonya bersama mentari satu pun di rumah itu.
Emak kembali ke ruang tamu dan menyediakan minuman hangat dan beberapa kue u
Rangga tampak kaget melihat sosok wanita yang memanggil namanya."Kamu lupa ya? Saya Anggi-asisten koki kamu yang dulu," ujarnya dengan tersenyum tipis."Ini Mbak Mentari, ya? Cantik sekali, dulu Rangga sering cerita tentang Mbak. Aduh maaf ya, anak saya emang suka bandel," imbuh wanita muda itu seraya menggendong sang anak.Pantaslah jika menteri tidak mengenali wanita tersebut, karena wanita itu hadir saat Mentari tidak lagi bekerja di resto yang sama dengan Rangga."Saya pamit dulu, suami udah nunggu di depan," ucapnya, kemudian berlari pergi meninggalkan keluarga kecil yang masih tampak bingung.Mentari sempat kaget dan khawatir saat wanita yang hampir mirip dengan Dina itu mendekat ke arahnya. Bayangan Dina masih sangat melukai hatinya."Ayo kita pulang saja!" ajak Rangga sambil menggendong sang anak yang masih meringi
Mentari mengambil kotak itu perlahan, kemudian membawanya ke dalam rumah."kotak apa, Tar?" tanya Emak penasaran.Mentari hanya menggeleng dengan tatapan mata masih terfokus ke arah kotak tersebut. Tidak ada nama pengirim atau pun tulisan lainnya. Kotak itu polos dan hanya terbungkus oleh sebuah kertas polos berwarna coklat."Bukalah," pinta Emak tampak semakin penasaran.Tangan Mentari bergetar saat mencoba untuk membuka kotak itu. Ia seperti sudah merasakan sesuatu yang tidak enak, yang berada di dalamnya. Saat kotak terbuka, benar saja Mentari sontak kaget netranya menatap tajam ke dalam. Sebuah foto pernikahan dirinya dengan Rangga yang dilumuri oleh cairan merah seperti darah.Mentari hampir memekik histeris. Namun, ia segera menutup mulutnya agar tidak menimbulkan keributan dan tidak membuat seisi rumah panik.Emak ya
Mentari mengambil kotak itu perlahan, kemudian membawanya ke dalam rumah."kotak apa, Tar?" tanya Emak penasaran.Mentari hanya menggeleng dengan tatapan mata masih terfokus ke arah kotak tersebut. Tidak ada nama pengirim atau pun tulisan lainnya. Kotak itu polos dan hanya terbungkus oleh sebuah kertas polos berwarna coklat."Bukalah," pinta Emak tampak semakin penasaran.Tangan Mentari bergetar saat mencoba untuk membuka kotak itu. Ia seperti sudah merasakan sesuatu yang tidak enak, yang berada di dalamnya. Saat kotak terbuka, benar saja Mentari sontak kaget netranya menatap tajam ke dalam. Sebuah foto pernikahan dirinya dengan Rangga yang dilumuri oleh cairan merah seperti darah.Mentari hampir memekik histeris. Namun, ia segera menutup mulutnya agar tidak menimbulkan keributan dan tidak membuat seisi rumah panik.Emak ya
Rangga berusaha untuk mencari informasi mengenai peneror yang telah mengganggu dan mengusik hidupnya bersama Mentari. Ia meminta bantuan beberapa teman ahli dan juga salah satu polisi yang ia kenal.Pagi-pagi sekali Rangga sudah pergi dari rumah menuju seorang Detektif kenalannya untuk mengungkap identitas sang peneror. Ia menyerahkan beberapa bukti dan nomor telepon yang meneror Mentari.Butuh beberapa waktu bagi sang detektif untuk mengungkap pemilik nomor telepon tersebut. Akhirnya, Rangga pun pergi untuk menemui Mentari di cafe milik kekasihnya itu.***Seminggu sudah setelah kejadian teror foto berlumuran darah itu. Mentari sudah lebih tenang dan tidak terlalu ketakutan seperti kemarin. Wanita muda itu sudah mulai beraktifitas seperti biasanya. Bekerja ke cafe dan terkadang mengantar Bulan ke sekolah.Pagi itu, Cafe sudah ramai oleh pengunjung. Seperti biasa, Menta
Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s
Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik
Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da
Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg