Tanpa memedulikan perkataan Marlon, dengan penuh keibuan Belle membangunkan William, lalu memeluknya erat. Marlon terus berkata dengan berbagai pembelaan yang tidak masuk akal, sedangkan Belle berusaha menenangkan William yang tampak terkejut. Hanya lewat tatapan anak berusia lima tahun itu sudah mengerti, jika terjadi masalah dan sang ibu hendak membawanya pergi.
Belle sangat bersyukur William menurut, dan bersedia ikut dengannya. Tidak membuang waktu lagi Belle pun menggandengnya, kerap kali menepis tangan Marlon yang ingin menjangkau dirinya serta anaknya William.
"Jangan sentuh aku dan anakku!" Belle berteriak, menyembunyikan Willi di balik punggungnya.
"Bell, kumohon, dengarkan aku."
"Aku sudah muak dengan seluruh sandiwaramu, kau tidak lebih seperti bajingan yang berhati monster."
"Silakan kau mencaci, atau bahkan menghinaku sepuasnya." Marlon bersikukuh menghentikan Belle, kedua tangannya kali ini memegang pundak gadis itu, "Tapi aku mohon,
Dengan mata yang sembap akhirnya Belle bangun, semalaman ia sudah terjaga, dan kini jam telah menunjukkan pukul 10 siang. Hal yang pertama kali Belle pikirkan adalah William karena anaknya harus pergi sekolah. Tanpa membasuh wajah terlebih dulu Belle langsung beranjak menuju kamar sang anak, ternyata Marlon sudah membuka kuncinya sehingga ia tidak perlu repot berteriak.Perlahan, Belle membuka pintu kamarnya William, lalu memanggilnya lantang. "Williaaam."Hening. Tidak ada jawaban.Apalagi ketika Belle tidak melihat William di tempat tidurnya, gadis itu langsung panik. Berlari mengitari ruangan kamar berukuran sedang itu, dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan Belle menangis dan berteriak. Wajahnya merah padam, sambil memegangi kepalanya tubuh mungil Belle pun tumbang."Aaaaah." Dengan frustrasi Belle menjerit, membayangkan segala sesuatu yang buruk.Dari arah luar suara sepatu terdengar berlari cepat, Marlon terkejut melihat Belle yang kini t
Tidak ada alasan lagi untuk meninggalkan Marlon segera mungkin, akhirnya setelah berdebat panjang kali lebar Belle memilih ikut dengan Liam. Awalnya Marlon memang tidak terima, bahkan sampai mengancam mereka berdua dengan pihak yang berwajib. Akan tetapi semua itu tentu tidak terjadi saat dokter Liam mengungkit jasanya beberapa tahun silam.Marlon terdiam dan kalah telak.Lihatlah lelaki tua itu lebih mencintai harta daripada istrinya bukan?"Ayo, kita pergi." Ajak Belle pada Liam, dan mengambilnya langkah duluan.Keputusannya untuk berpisah sudah bulat, Belle memang mencintainya, tetapi itu dulu dan perasaannya sekarang patut dipertimbangkan. Apalagi setelah kehadiran dokter Liam yang seakan-akan selalu menjadi penolong di waktu yang tepat."Dokter, aku sangat berterima kasih padamu," ujar Belle pada lelaki di sampingnya, yang tengah mengendarai mobil."Bukan apa-apa, Bell.""Kau sudah menolongku dua kali, rasanya aku sangat malu pad
"Rose, di mana akal sehatmu?!" Marlon berteriak memasuki sebuah Apartemen.Menoleh kaget Rose bangkit saat melihat pamannya datang, lalu bertanya bingung. "Ada apa kau menemuiku?""Aku tidak habis pikir kau membiarkan Liam membawa Belle pergi."Urat-urat di wajah Marlon menegang, ini kali pertama Rose melihat pamannya sangat marah. Lelaki yang selalu memanjakannya dulu, sekarang berteriak seperti kesetanan. Menghela napas lelah akhirnya Rose berani membalas tatapan Marlon yang berapi-api.Semenjak menikah pamannya itu memang tidak lagi seperti dulu, bahkan mereka jarang bertemu. Pertemuan keduanya terjadi karena acara keluarga atau ada keperluan yang lain, dan kali ini kedatangan Marlon khusus untuk memarahinya. Itu sangat menyebalkan."Salahmu sendiri, Paman, kenapa istrimu bisa mau diajak pergi dengan orang lain?!""Rose, aku bertanya kepadamu!""Aku tidak peduli." Rose balas berteriak.Mengacak rambutnya yang gondrong
Seperti pagi biasanya Belle bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan, meski hari ini William tidak pergi sekolah tentu tidak mengubah apapun. Tugas seorang ibu akan tetap ada, memenuhi kebutuhan anaknya dan membersamainya dalam setiap waktu. Urusan hati dan pikiran yang kacau Belle enyahkan jika sedang berhadapan dengan William. Bagaimanapun caranya Belle ingin selalu terlihat ceria di depan sang anak, tersenyum dan tertawa gembira."Pagi, Sayang." Mengecup kening sang anak, sambil lalu Belle merapikan selimut yang bergelung."Mom, apa hari sudah siang?" tanyanya dengan sebelah mata mengintip, Belle pun mengangguk.Sontak William bangkit, dan melotot."Kenapa kau tidak membangunkanku, Mom? Ada upacara bendera hari ini, dan aku harus datang lebih awal.""Untuk sementara waktu William temani Mom di sini ya, dan libur sekolah." Dengan lembut Belle berkata, menatapnya sangat hangat. "Kau tidak keberatan kan?""Tentu saja tidak, Mom." Willia
Gugatan perceraian sampai pada meja kerja Marlon, entah siapa yang mengirimnya, yang jelas surat itu membuat hidupnya bertambah suram. Meremas rambutnya yang gersang Marlon terduduk dengan pandangan kosong. Harapannya mempertahankan Belle mungkin tidak ada lagi, tetapi untuk mengambil hak asuh William jalan untuknya terbuka lebar. William jauh lebih berhak jatuh padanya. Jika, Belle ingin pisah darinya, maka dirinya juga harus siap berpisah dengan William. Kedudukan dan statusnya sebagai ayah kandung jauh lebih besar daripada seorang ibu. William anak laki-laki yang akan menjadi penerus generasi Exietera. "Aku baru saja menandatangani gugatan perceraian yang dikirim untukku, secepatnya aku akan datang ke persidangan." Marlon berkata pada Victoria, percaya atau tidak hanya keloyalannya yang selalu menemani. Hari-hari terburuk Marlon seakan menjadi hal yang biasa saja ketika ada Victoria. "Apa kau akan menikahiku setelah bercerai dengan Belle?"
"Sebagai permintaan maaf Mommy, hari ini Mom akan mengajak William main seharian di luar." Dengan wajah yang berseri-seri Belle mendekati anaknya, lalu dia mengecup kening William."Mom, maafin William yaa," katanya sambil menyeka sisa air mata yang menempel.Belle hanya mengangguk, dan tersenyum lebar.Tidak jauh dari mereka dokter Liam tersenyum melihat tingkah keduanya, sejak mengenal Belle, dan menjadi ayah pengganti William hidupnya jadi lebih bewarna. Mencintai dan mengasihi dengan segenap hati, meski Liam tidak tahu entah sampai kapan, tetapi yang jelas selama Belle menghargai dirinya dia akan bertahan."Ayaah, kita akan pergi ke mana?" tanya anak yang berusia lima tahun itu, tatapan William yang polos membuat setiap orang gemas melihatnya."Kita pergi ke suatu tempat yang disukai Mommy, bagaimana?" Liam menaikturunkan alisnya, lalu pria itu pun tertawa saat melihat tingkah William."Jangan beritahu, Mom, kita berikan dia suprise!" bisiknya begitu lucu, sedangkan Liam hanya men
Kembang api dinyalakan bertepatan dengan matahari terbenam, seluruh pengunjung yang menyaksikan langsung bersorak gembira, tetapi tidak dengan Belle. Perasaannya yang muram seketika bertambah suram, saat tidak sengaja melihat Liam mencium bibir Rose. Hati kecil Belle mengkerut, meski menurutnya dia tidak berhak iri apalagi cemburu.Bukankah dia sendiri yang mengundang Rose?"Mommy, ayoo!" William menyeret sang ibu, rautnya begitu bahagia seakan tidak ada beban."Aduh, Mom sepertinya ingin beristirahat dulu," kata wanita bertubuh mungil itu, sambil mengatur napas yang berpacu cepat. "William main sendiri tida apa-apa kan?"Anak bermata cokelat itu pun mengangguk, lalu dia melambaikan tangannya ke arah Belle yang memilih duduk di dalam pondok.Meneguk sebotol air yang baru saja dibelinya Belle benar-benar tampak kelelahan, hati, fisik, dan pikiran, semuanya bercampur menjadi satu. Entah kenapa Belle merasa sangat sedih menghadapi perpisahan kali ini, bahkan dia terus mengingat paman Mar
Wajah Belle merah padam menahan tangis, sungguh, dia tidak ingin terlihat sengsara di hadapan Paman Marlon setelah dirinya meninggalkan rumah. Dengan gusar Belle menatap ke arah lain, berusaha bersikap tenang meski perasaannya sudah tidak keruan.Hatinya sudah terlalu sakit, dan memaafkan Paman Marlon tidaklah mudah."Maaf, Paman, aku tidak bisa.""Haruskah aku bersujud dan mencium kedua kakimu seperti waktu itu?""Tidak." Menggeleng cepat, otomatis Belle melangkah mundur menjauhi Marlon.Pria berambut gondrong dan brewokan itu pun mendengus, bola matanya memerah karena pengaruh alkohol, tetapi Belle tahu jika Paman Marlon masih cukup sadar dengan tatapannya yang berkabut.Menyapu rambut ke belakang Marlon tampak kecewa, wajahnya begitu menyedihkan dengan tatapan yang masih mengarah lurus kepada Belle. Rasanya seperti mimpi, tetapi dia tahu jika ini adalah nyata.Tidak menyerah Marlon mengambil napas panjang dengan mantap, lalu dia kembali mendatangi Belle. Memegang kedua tangannya ya