Pasti tiap anggota keluarga merasa sangat tersiksa, termasuk kakaknya yang tinggal nun jauh di London sana. Akan tetapi, tentu saja yang paling menderita adalah Amara. Pengobatan yang dijalani memang meringankan beban gadis itu. Namun, tampaknya perjalanannya masih sangat panjang. Amara belum mampu bersikap normal saat ada lelaki yang menawari untuk mentraktirnya makan malam dan mengantar pulang.
“Mara, apa yang terjadi tadi sore? Kamu bisa cerita sama saya. Apa kamu mau ditemani lagi kayak kemarin-kemarin? Toh saya juga nggak banyak kesibukan di sini.” Ika mendatangi Amara begitu punya kesempatan. Amara yang sedang membaca novel di ranjang, terduduk karena kaget.
“Mbak ngagetin aja. Kukira siapa,” sahut Amara sembari memegang dada kirinya yang berdebar kencang.
Ika menggumamkan kata maaf sembari duduk di tepi ranjang dengan mata yang dipenuhi kecemasan. Hati Amara mencelus melihat pemandangan itu. Ika mungkin bukan siapa-siapanya. Mereka
“Mara, kalau liburan semester nanti, kamu mau ke mana?” tanya Sophie sore itu. Mereka baru saja keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang. Liburan semester memang sudah dekat, hanya berjarak beberapa minggu lagi.“Aku nggak punya rencana ke mana-mana. Kalau kamu?” Amara balik bertanya.“Aku juga. Mungkin kita bisa bikin acara sendiri, Mara. Entah liburan berdua atau cuma ikut kelas apalah untuk ngisi waktu luang. Kelas memasak, misalnyaa.”Amara tak bisa mencegah tawanya pecah. “Aku nggak bisa masak, Soph. Nggak berminat juga.”Ketika hasil kerja kerasnya di semester itu diwujudkan oleh sederet nilai, Amara tidak bisa mengharapkan yang lebih bagus lagi. Trauma dan tragedi boleh saja sudah merusak hidupnya, tapi kecerdasannya masih bertahan. Hanya tiga mata kuliah yang memberinya nilai B, Sisanya A. Termasuk mata kuliah yang dipegang Reuben.Seperti ucapannya pada Sophie, Amara memang tidak ke m
Amara berdiri dengan perut terasa mulas dan kepala yang berputar. Di antara pandangannya yang berkabut, gadis itu berusaha menegaskan pandangan. Ditatapnya wajah Reuben dengan sungguh-sungguh. Mencari apa pun yang bisa mengindikasikan jika lelaki itu cuma sedang iseng.Reuben ikut berdiri, menjulang di depan Amara. Wajahnya tampak serius dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang diinginkan Amara. Gadis itu merasakan darahnya seolah membeku. Hawa dingin menyelimuti punggungnya.“Bapak barusan bilang apa?” Amara menolak untuk memercayai indera-inderanya. Juga melupakan janjinya agar mengubah panggilannya pada Reuben.“Saya menyukaimu, Amara,” balas Reuben dengan tenang. “Kenapa? Apa itu jadi masalah serius? Jangan bilang kalau kamu merasa canggung hanya karena saya pernah menjadi dosenmu. Atau....”Amara menggeleng cepat hingga lehernya terasa nyeri. “Bukan masalah itu. Saya nggak peduli siapa Bapak k
“Amara, ceritain apa yang terjadi tadi. kamu dan Pak Reuben,” Sophie menyenggolnya begitu kuliah berakhir. Amara yang sedang berpura-pura menyibukkan diri dengan membereskan isi tasnya, berusaha untuk tidak melirik ke kiri.“Aku ada kuliah dua puluh menit lagi. Kamu?” Amara mengabaikan kata-kata Sophie.“Ah, kamu pasti sengaja mengalihkan topik bahasan. Tapi, percayalah, cara itu sama sekali nggak akan berhasil. Selama satu semester ini seharusnya kamu lebih tahu kayak apa aku ini,” kata Sophie lugas. Gadis itu menggandeng lengan Amara saat mereka melangkah ke luar ruangan.“Ya, tentu aja aku lebih tau. Kamu itu mirip wabah bandel yang berusaha nempel di tubuh orang yang sehat. Kebal terhadap semua vaksin dan antibiotik,” cetus Amara gemas. “Nggak ada lanjutan gosipnya. Cukup sampai di situ aja.”“Kamu yakin? Kalian tadi nggak bikin semacam pertunjukan yang akan dibisikkan para mahasiswa di
“Tentu, aku akan datang,” balas Amara cepat tanpa pikir panjang. Dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Brisha, sehingga mengenal keluarga temannya itu. “Sampaikan salamku sama mamamu, Sha. Dan terima kasih karena ingat untuk mengundangku,” katanya tulus. Brisha menantang mata Amara untuk sesaat. Sedetik kemudian rasa penyesalan membanjiri Amara. Seharusnya dia tidak menjanjikan apa-apa.“Kami nggak mungkin ngeluapain kamu, Mara. Kamu yang ... menjauh.”Amara mencoba tetap mempertahankan senyumnya sebelum pamit untuk masuk ke dalam kelas. Dia selalu menyukai keluarga Brisha, terutama mamanya. Dia bahkan pernah menginap beberapa kali di rumah temannya itu. Brisha adalah teman terdekatnya, nyaris menjadi sahabat. Sebelum Amara mengambil langkah mundur dan menjauh dari semua orang yang dikenalnya.“Kamu beneran akan datang, kan?” Sophie ikut campur lagi. “Brisha kayaknya berharap kamu nepatin janji, lho!&r
Amara mati-matian menahan rasa nyeri yang memanaskan matanya agar tidak membuahkan tangis. “Saya baik-baik aja, Tante. Maaf ya, memang belakangan ini saya ... agak sibuk. Tante dan Om sehat, kan?”Yenny tertawa sambil mengelus punggung tangan kanan Amara yang berada di genggamannya. “Tentu aja Tante sehat. Kalau nggak, mana bisa bikin pesta kayak gini. Tadinya, Tante nggak mau bikin acara macem-macem. Tapi Om maksa. Demi cinta, Tante harus ngalah.”Amara tersenyum sopan sebagai respons. Lalu dia segera memperkenalkan Sophie yang datang bersamanya. Dia bisa melihat rasa cinta yang berayun di udara tiap kali orangtua Brisha bersama. Mirip dengan yang terjadi pada orangtuanya. Berjuta tahun lalu.Hal itu kadang menimbulkan sembilu yang mengiris jiwanya. Karena Amara yakin bahwa dia tak akan bisa merasakan hal yang sama. Seseorang yang sudah mati mustahil mampu merasakan cinta, bukan?Meski awalnya cemas jika dia tidak akan bi
Dia tak suka berbohong karena ada risiko yang harus ditanggungnya. Sebab, tiap kali berdusta berarti kepala Amara akan terasa nyeri dan produksi asam lambung gadis itu meningkat drastis. Amara mulai berpikir bahwa berbohong sungguh bisa merusak kesehatan.Di sisi lain, makin lama berdusta ternyata kian mudah, pikirnya muram. Amara sungguh tidak betah menebar jala dusta lagi, tapi dia tidak punya pilihan yang lebih masuk akal sekaligus menyenangkan. Inilah risiko yang harus ditanggung ketika seseorang sudah tidak lagi berkata jujur. Selamanya dia harus berusaha mempertahankan itu.“Saya memang cuti kuliah, tapi bukan karena ada masalah kok, Tante. Cuma....” Amara berdeham, “agak bosan aja dan butuh suasana baru. Akhirnya ... daripada hasilnya nggak maksimal, lebih baik cuti sebentar. Harapannya, energi dan semangat saya bisa balik lagi.”Yenny mengelus bahu Amara dengan gerakan lembut. “Kamu menghabiskan cuti kuliah di mana? Di rumah
“Maaf?” Amara membelalakkan mata, mengira dia sudah salah mendengar.Ji Hwan bicara lagi, kali ini dengan perlahan. Seakan cowok itu ingin memastikan agar Amara bisa mendengar setiap katanya dengan sempurna. “Aku ke sini untuk bertemu kamu, Amara.” Ji Hwan tersenyum, membuat wajahnya menampilkan ekspresi lembut yang akan menawan hati gadis mana pun di luar sana. Kecuali Amara. “Waktu itu aku lupa meminta nomor ponselmu. Kampus kita kan bersebelahan. Nah, kebetulan hari ini aku ...”Pupil mata Amara membesar. “Dari mana kamu tahu aku ada kuliah hari ini?”Ji Hwan menjawab dengan ringan sembari mengerling ke sebelah kiri Amara. “Sophie. Tapi dia tidak mau memberi tahu nomor ponselmu. Jadi, aku....”“Aku juga tidak!” sentak Amara ketus. “Pulanglah Ji Hwan, aku bukan orang yang tepat untuk kamu temui. Aku tidak tertarik mencari teman baru.” Amara menoleh ke kiri, menatap Sophi
Amara tidak menyukai nada menegur di dalam suara Brisha. “Kenapa aku tidak boleh meninggalkannya begitu saja? Memangnya ada keharusan kalau aku mesti berbasa-basi dengan dia?” tanya Amara, meniru kalimat Brisha tadi. “Kamu sendiri, apa hakmu berusaha mendekatkan kami?” tanyanya terang-terangan.Brisha terbelalak. “Aku mendekatkan kalian? Aku sudah bilang, aku tidak tahu kalau Ji Hwan ke sini!” tegasnya. Gadis itu menatap Amara dengan kepala dimiringkan ke kanan. “Dan waktu acara di rumahku, memang dia yang memaksa ingin berkenalan denganmu. Meski aku sudah memberi peringatan pada Ji Hwan kalau kamu ... mungkin tidak akan bersikap ramah. Tapi Ji Hwan tak peduli. Dan aku tetap merasa itu bukan sesuatu yang salah.”Amara terdiam. Tiba-tiba menyadari betapa kacaunya situasi saat ini. Kepalanya terasa berputar, tapi akal sehatnya mulai menyusup masuk. Dia menyadari, tak seharusnya mengambil tindakan emosional seperti ini. Meng