Share

Part 7

Langkah pun berhenti saat namaku dipanggil seorang pria. Tidak asing memang, karena baru beberapa jam aku mendengar suara itu.

"Xiaoyi," panggilnya lagi, karena melihatku yang masih berdiam diri di tempat, tanpa menoleh ataupun melanjutkan langkah.

"Silahkan duduk, akan kuambilkan minum dulu." Suara Kak Zao terdengar di tengah kebisuan.

Saat Kak Zao pergi ke dapur, aku berjalan mengendap mulai menaiki anak tangga. Baru saja dua langkah, suara pria itu kembali memanggil namaku.

"Duduk di sini, temani aku," pintanya.

"Direktur Yi, maaf. Saya harus bersiap dulu," balasku bernada sopan.

"Tidak perlu bersiap, aku harus terbiasa melihatmu dalam keadaan seperti ini," ucapnya, sukses membuatku bertanya dalam hati.

Aku tak menggubris permintaannya tadi, segera melanjutkan langkah melewati semua anak tangga yang masih tersisa banyak. Namun, panggilan Kak Zao terpaksa membuatku duduk di samping pria itu beberapa menit kemudian.

Wajah khas bangun tidur dan rambut yang acak-acakkan, sukses membuatku merasa tak nyaman. Mungkin jika yang duduk di sana hanya Kak Zao, aku tidak terlalu memikirkannya.

"Xiaoyi, apa yang kamu pikirkan tentang perjodohan kita?" tanya Yi Feilan.

"Tidak ada, karena aku memang tidak berniat untuk menikah saat ini," jawabku, tanpa melihat ke arahnya.

"Jadi, kamu menolak perjodohan ini?" tanya Yi Feilan lagi. Semburat kecewa terlukis di wajahnya saat aku melihat sekilas.

"Siapa bilang aku tidak setuju?" balasku, memprotes kesimpulan yang dia ambil.

"Jadi, kamu setuju menikah denganku?" tanya Yi Feilan. Kali ini semburat kecewa itu telah berganti senyum cerah. Gigi khasnya hampir saja mengintip dari balik bibir tipis. Sedikit lagi bisa membuatku duduk dalam keadaan tak nyaman.

Aku tak menjawab, hanya mengangguk sedikit sebagai jawaban bahwa tebakannya adalah benar.

"Feilan, kita makan malam dulu. Aku sudah menyiapkan beberapa makanan yang kubeli dari restoran terdekat," ajak Kak Zao.

"Xiaoyi, ajak Feilan ke ruang makan," titah Kak Zao.

Feilan? Akrab juga panggilannya. Sepertinya mereka sering berbincang di luar sana tanpa sepengetahuanku.

"Direktur Yi, silahkan. Kak Zao sudah memerintah, maka harus dituruti," ucapku. Berjalan lebih dulu, meninggalkan direktur Yi yang masih saja duduk di ruang tengah.

Greeed.

Kursi yang menjadi incaranku ditarik dari belakang. Belum sempat memundurkannya, ternyata Yi Feilan sudah memepersilahkanku untuk duduk di sana.

"Terima kasih," ucapku, menjawab perlakuannya dengan ungkapan yang semestinya.

Jujur, aku sedikit tersentuh atas perlakuan Yi Feilan terhadapku. Menarik sudut bibir, hampir saja ketahuan olehnya.

"Kalian makan duluan aja, aku harus keluar dulu. Ada pekerjaan yang harus diurus, tidak perlu menungguku," ucap Kak Zao, pamit setelah menyiapkan semua makanan di atas meja makan.

Rupanya Kak Zao sudah merencanakan semua ini. Dia meminta Yi Feilan datang ke rumah lalu membiarkanku sendiri dengannya.

"Kamu cantik kalau senyum," puji Yi Feilan tiba-tiba.

Aku mendongak melihat ke arahnya. Kami duduk berhadapan dan sempat bertemu pandang. Namun, segera kualihkan pandangan ke sembarang tempat.

"Makasih," jawabku.

Kami berdua mulai memakan menu yang Kak Zao siapkan. Tidak ada percakapan lagi. Sunyi. Hanya denting peralatan makan yang saling beradu.

.

"Kalian selalu membeli makanan di luar?" tanya Yi Feilan. Kami berdua sudah selesai dengan acara makan. Duduk berbincang di ruang tengah sambil menonton tv.

Kalau saja Kak Zao tidak menelfon, bilang Yi Feilan tidak boleh pulang sebelum dia kembali ke rumah. Mungkin, aku sudah memintanya untuk pulang lebih awal.

"Iya, aku tidak bisa memasak. Kak Zao juga terlalu sibuk dengan pekerjaannya," jawabku.

"Mungkin kamu tidak akan suka sama istri yang tidak pandai memasak," simpulku kemudian.

"Siapa yang bilang? Buktinya sekarang aku suka." Jawaban yang Yi Feilan lontarkan, membuatku merasakan perasaan aneh lagi.

"Kenapa?" tanyaku bingung. Bukankah semua laki-laki menginginkan istrinya bisa memasak?

"Tidak ada alasan. Yang aku tau, istri adalah pendamping hidup, bukan juru masak yang harus melayani banyak orang," jelasnya.

"Makan?" tanyaku lagi, cukup penasaran dengan jawaban yang akan dia katakan.

"Aku yang membuatnya," jawab Yi Feilan.

"Kamu pintar masak?" tanyaku, tertegun.

"Aku bisa belajar. Apa pun itu, akan kulakukan semua yang terbaik untuk istriku kelak," jelas Yi Feilan. Semakin membuat detak jantungku menjadi tak menentu.

"Kamu terdengar sangat mencintai istri yang belum pasti," ucapku asal.

"Aku memang belum mencintainya, tapi masih dalam tingkat suka menuju sayang." Entah apa yang Yi Feilan katakan, aku sama sekali tidak mengerti ke mana arah bicaranya.

Sekarang kami duduk bersebelahan. Tidak bisa lagi menatap ke arah netranya. Entah bagaimana ekspresi Yi Feilan saat mengatakan hal itu. Yang pasti, saat ini detak jantungku sudah kembali di jalur normal.

"Xiaoyi," ucapnya. Aku sangat terkejut, dia tiba-tiba menghadap ke arahku dan memegang kedua tanganku.

"Mungkin sekarang kamu belum memiliki rasa terhadapku. Perlahan, kamu bisa merasakannya. Aku tidak bisa melakukan hal yang bisa membuatmu jatuh cinta, juga tidak memaksanya," ucap Yi Feilan.

"Kenapa? Kamu memilih pasrah?" tanyaku.

"Bukan, tapi menunggu. Aku memilih menunggu di tempat yang indah, saat kamu benar-benar mengambil jalan yang sesuai dengan hatimu. Akan kupastikan ada di sana dan menyambutmu dengan hangat." Tambah Yi Feilan. Sukses mendebarkan jantungku.

"Kalau begitu, sabar harus menjadi stok cadangan terbanyak yang kamu punya. Karena aku tidak bisa jatuh cinta dengan mudah," jelasku.

"Tidak masalah. Selama itu kamu, aku sanggup menunggu," balas Yi Feilan.

Aku sudah kehabisan akal. Bagaimanapun aku menolak perjodohan ini, membuat Yi Feilan menolak sendiri pada nenek atau orang tuanya. Tetap saja tidak bisa.

Aku mencoba melepaskan genggaman tangan Yi Feilan. Namun, yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaan. Hangat, nyaman. Itulah gambaran yang pas atas apa yang kuterima saat ini.

Yi Feilan memelukku. Pelukan hangat yang kudapatkan tiba-tiba, berakhir kenyamanan. Ini adalah pelukan pertama yang kuterima dari seorang laki-laki setelah ayah.

Kak Zao? Itu hanya pelukan samping sebagai seorang kakak.

Cukup lama, beberapa menit sebelum akhirnya kulepaskan pelukan itu. Mungkin, Yi Feilan tidak sadar apa yang sudah dia lakukan. Karena setelah itu, dia terus meminta maaf. Merasa bersalah.

"Sudah, jangan terus minta maaf. Toh, sebentar lagi kita juga akan menikah," ucapku.

"Kamu tidak marah?" tanyanya.

"Untuk apa? Seperti yang kamu bilang, bukan? Aku harus terbiasa juga dengan itu," jelasku.

"Terima kasih," ucapnya tersenyum manis. Gigi khasnya tidak lagi mengintip, dia terpampang jelas karena senyum lebar Yi Feilan.

Sepertinya Yi Feilan menyadari bahwa aku merasa tidak nyaman dengan senyumannya. Dia pun segera merubah ekspresi dan tidak lagi menunjukkan gigi khasnya itu.

"Kenapa?" tanyaku.

"Bukankah kamu terganggu dengan senyumanku? Gigi gingsulku pasti membuatmu tidak nyaman," simpulnya.

"Memang, kamu memiliki gigi khas yang membuatmu terlihat sangat manis saat tersenyum. Hal itu tentu saja membuatku tidak nyaman, tapi bukan berarti aku terganggu karena tidak suka. Melainkan takut terjatuh dalam buai senyuman itu," ucapku, jujur.

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status