"Aku tidak melakukannya, Susan," ucapku, masih berusaha meyakinkan Susan.Susan mendorong tubuhku, dan lari dari acaranya sendiri. Mas Indra mengejarnya. Aku ingin ikut mengejarnya, tapi Bu Ratno menarik tanganku."Sudah, cukup, Najwa! Jangan pernah ganggu rumah tangga Indra lagi! Sekali wanita kampung, tetap saja wanita kampung! Cara yang kau gunakan ini juga kampungan!" makinya."Sudah, Ma. Ayo kita kejar Kak Susan," ucap Risma sambil melirikku tajam.Risma menarik tangan ibunya dan pergi meninggalkanku. Aku menatap Pak Tomo dan Davian yang ada di sana. Pak Tomo menggelengkan kepalanya, wajahnya tampak sangat kecewa. Dia akhirnya ikut pergi.Hanya tinggal Davian yang masih berdiri di depanku, masih menatapku."Apa benar kau tidak melakukan ini?" tanyanya.
Tante Farah dan Ibuk masih terpaku dan saling bertatapan, membuatku semakin bingung."Kalian saling kenal?" aku mengulangi ucapanku.Tante Farah beralih menatapku. Kedua netranya tampak berkaca-kaca."Jadi, Najwa ini puterimu?" tanyanya pada Ibuk, jelas sekali suaranya terdengar bergetar.Ibuk tak langsung menjawab, dia hanya terlihat menelan ludah."Masuklah, kita bicara di dalam," ucapnya kemudian, sambil mempersilahkan kami masuk.Davian menuntun Tante Farah masuk dan membantunya duduk. Aku duduk di samping Ibuk, masih bertanya-tanya ada hubungan apakah di antara mereka?"Kamu bagaimana kabarnya, Mirna? Sudah sekian tahun kita tidak pernah bertemu," ucap Tante Farah pada Ibuk.Ibuk ta
"Apa? Calon bayinya perempuan?" tanya Bu Roro saat Farah menyerahkan hasil USG pada Ibu mertuanya itu."Belum bisa dipastikan, Buk. Kan usia kandunganku baru masuk dua bulan," jawab Farah seraya menunduk."Ibuk menginginkan cucu laki-laki, agar bisa meneruskan usaha kakek dan Papanya," suara Bu Roro yang berat itu menggema di seluruh penjuru ruangan."Laki-laki atau perempuan kan sama saja, Buk. Tetap darah daging kita. Kita harus menerima apapun pemberian Gusti Allah," ucap Farah lirih."Sok pinter, kamu!" suara Bu Roro meninggi, membuat Farah yang sebenarnya sudah terbiasa, tersentak kaget. "Laki-laki itu bisa memimpin keluarganya, menjadi pewaris perusahaan serta membesarkan nama keluarga besar. Sedangkan perempuan, kalau sudah menikah dia akan ikut suaminya, membesarkan nama keluarga suaminya!"
"Risma? Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Davian, sambil berjalan ke arah tunangannya itu."Aku baru dapat kabar dari orang kantor kalau Tante Farah masuk rumah sakit," jawab Risma seraya menatap Davian."Jadi yang kudengar tadi benar?" tanyanya.Davian tak menjawab. Dia masih diliputi kebimbangan."Itu benar," sahut Pak Tomo, sambil mendekati Risma. "Karena kamu adalah calon istri Davian, kurasa kamu juga berhak tahu."Risma terdiam, entah kenapa hatinya juga jadi bimbang. Dia memang mencintai Davian, tapi baginya cinta juga butuh materi. Kalau Davian bukan putra kandung mereka, artinya dia juga bukan pewaris sah keluarga itu."Tenang saja, Risma. Om akan segera memindahkan saham Om pada Davian setelah kalian menikah," ucap Pak Tomo sambil memegang pundak
Najwa menunduk, tak tahu harus berkata apa pada Davian. Apa dia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Davian? Jika iya, mungkinkah Davian akan kehilangan semua yang dia miliki saat ini?"Davi," ucap Najwa lirih. "Sebenarnya ... aku ini ..."BRAKMereka berdua terkejut karena tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Risma masuk ke dalam dan langsung menarik tangan Davian."Apa-apaan kalian, berdua-duaan di sini?" tanya Risma sambil menatap tajam ke arah Najwa."Mbak Wawa kenapa ke sini lagi, sih? Bukannya Mbak Wawa sudah mengundurkan diri?" tanyanya.Najwa tidak menjawab. Dia membuang muka, menyembunyikan matanya yang berembun. Risma mengalihkan pandangan pada Davian."Papamu menyuruh kita pulang. Kita akan membicara
Davian menghentikan mobilnya di area parkir rumah sakit. Pikirannya kalut, satu-satunya yang dia ajak bercerita adalah Mamanya. Sebenarnya dia tidak ingin membebani Mamanya lagi dengan pikirannya, tapi saat ini dia benar-benar bingung tentang apa yang harus dia lakukan.Dia berjalan memasuki gedung rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Mamanya. Rupanya Bu Ratno dan Davian ada di sana, duduk di samping Mamanya yang duduk bersandar di atas kasur serba putih itu."Eh, Nak Davian," sapa Bu Ratno saat menyadari kedatangan Davian.Davian menyalami calon ibu mertuanya itu, lalu melirik sekilas ke arah Indra yang duduk di sofa dalam ruangan.Bu Ratno menenteng beberapa lembar contoh amplop undangan di tangannya."Tante mau minta pendapat Mamamu tentang kartu undangan mana yang lebih bagus, ternyata
"Apa yang kamu katakan, Bik?" tanya Pak Tomo belum bisa menghilangkan keterkejutannya.Dia berjongkok, sambil memegang kedua pundak Mirna. Davian segera menyadari sesuatu, dan lekas memegang lengan Papanya."Kita minta penjelasannya nanti, Pa. Golongan darah Papa AB, kan? Najwa butuh donor darah agar nyawanya bisa selamat."Pak Tomo segera mengerti. Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantor dan meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.Sesampainya di rumah sakit Pak Tomo langsung menemui dokter untuk dilakukan pengecekan dan pengambilan darah. Davian dan orang tua Najwa hanya bisa menunggu dengan cemas."Jadi, Najwa itu anak kandung orang tuaku?" tanya Davian lirih, saat duduk di samping Mirna.
"Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi