Share

Bab 3. Izin Untuk Poligami

Apa Mas Amar tidak bisa membaca raut wajahku saat ini? Apa tak ada rasa curiga dalam pikirannya, jika aku telah mendengar percakapan mereka tadi. Memang aku sering menangis karena nonton film, tetapi masa sih dia tidak bisa membedakan.

"Bangun dulu, sayang. Ada hal pernting yang mau aku mau bicarakan." Lagi-lagi Mas Amar berkata sambil mengusap puncak kepalaku.

Air mata semakin deras berlomba untuk keluar. Apa nanti Mas Amar masih akan mengusap sayang puncak kepalaku, ketika sudah memiliki istri muda? Aku sungguh tidak rela membagi kasih sayang suamiku dengan perempuan lain.

Aku kini sudah duduk bersandar di dinding. Sesekali tangan menghapus air mata yang masih saja berjatuhan.

"Kamu mau ngomong apa, Mas," ujarku sambil menangis. Mas Amar masih saja menatapku tanpa berkata.

"Kok nangisnya bisa sampai begini?” Mas Amar menghapus air mata di pipiku dengan lembut. Bibirnya lanjut berkata. “Aku tadi dari kamar ibu. Ternyata ibu sedang kurang enak badan. Kamu kenapa tidak beritahu aku kalau ibu sakit? Kalau aku tahu, tadi bisa singgah ke apotik saat pulang kerja."

Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Amar. Bagaimana mungkin ibu mertuaku bisa sakit, sedangkan tadi saat masak, dia masih menyindirku dengan kalimat pedas. Tetapi aku diam, tak mungkin mengadu pada Mas Amar, karena dia pasti akan mengatakan kalau aku terlalu sensitif.

“Tadi ibu mengatakan sesuatu padaku.” Mas Amar lalu diam. Kali ini dia terdiam cukup lama. Aku menatap matanya yang telah sendu. Terlihat dari raut wajah, jika Mas Amar terasa berat untuk mengucapkan.

"Ibu menginginkan aku untuk menikah lagi … Aku sudah mengatakan jika kamu pasti tidak mengizinkan. Tetapi, ibu tetap memaksa." Mas Amar berkata dengan lembut. Tatapan kami beradu.

Aku pun melihat lurus ke depan. Rasanya tidak kuat jika menatap mata Mas Amar. Bibir lalu berkata, "aku sudah tahu, Mas. Aku mendengar semua percakapan Mas dan ibu."

Mas Amar tersentak. Sepertinya dia kaget, mengetahui jika aku mendengar percakapan mereka. 

"Kamu jangan salah paham dulu, sayang. Aku sudah mengatakan jika kamu pasti tidak setuju kalau aku menikah lagi."

"Kenapa alasannya karena aku tidak mengizinkan? Kenapa bukan karena kamu mencintaiku dan tak ingin menikah lagi? Kalau misalnya aku mengizinkan, apa kamu mau poligami, Mas?" ujarku sambil menahan sesak di dada.

Hancur sudah harapanku. Mas Amar hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaanku. Lelaki yang sudah delapan tahun menjadi suamiku ternyata bukan lelaki yang bisa aku harapkan. Dia terdiam, berarti ada niat untuk berpoligami. Kalau memang hanya keinginan ibunya, dia pasti bisa membantah.

"Jawab aku, Mas! Kamu sungguh ada niat untuk menikah lagi?" Aku menekan nada bicara. Lewat suara dan raut wajah, aku ingin menyampaikan pada Mas Amar jika saat ini sangat terluka.

"Aku mencintaimu, Arumi. Tetapi, aku juga sayang pada ibuku. Dia sampai sakit karena memikirkan kita yang belum memiliki keturunan. Aku tidak tega padanya. Aku takut berdosa karena sudah membuatnya bersedih. Kamu pasti paham, bagaimana dosa seorang anak yang menyakiti hati ibunya. Allah akan murka." Mas Amar kini menunduk. Dia berkata dengan lirih.

Pintar sekali Mas Amar menceramahiku. Dia memang anak yang berbakti pada ibunya. Tetapi lupa, menyakiti hati istri juga akan membuat Allah murka.

"Lantas kamu tega padaku, Mas? Kamu akan menyakitiku, demi kasih sayang pada ibumu. Kamu tidak ingin membuatnya bersedih, tetapi kamu sudah membuat hatiku hancur. Kamu tidak ingin berdosa pada ibumu. Namun sadarkah kamu, membuat seorang istri menangis juga akan membuatmu berdosa? Di mana hati nuranimu, Mas? Kamu pernah berjanji menjadikan aku satu-satunya istri. Mana janjimu itu, Mas?"

Jangan ditanyakan lagi, betapa hancurnya hatiku saat ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aprilia Maisuroh
Ceritanya keren sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status