Apa Mas Amar tidak bisa membaca raut wajahku saat ini? Apa tak ada rasa curiga dalam pikirannya, jika aku telah mendengar percakapan mereka tadi. Memang aku sering menangis karena nonton film, tetapi masa sih dia tidak bisa membedakan.
"Bangun dulu, sayang. Ada hal pernting yang mau aku mau bicarakan." Lagi-lagi Mas Amar berkata sambil mengusap puncak kepalaku.
Air mata semakin deras berlomba untuk keluar. Apa nanti Mas Amar masih akan mengusap sayang puncak kepalaku, ketika sudah memiliki istri muda? Aku sungguh tidak rela membagi kasih sayang suamiku dengan perempuan lain.
Aku kini sudah duduk bersandar di dinding. Sesekali tangan menghapus air mata yang masih saja berjatuhan.
"Kamu mau ngomong apa, Mas," ujarku sambil menangis. Mas Amar masih saja menatapku tanpa berkata.
"Kok nangisnya bisa sampai begini?” Mas Amar menghapus air mata di pipiku dengan lembut. Bibirnya lanjut berkata. “Aku tadi dari kamar ibu. Ternyata ibu sedang kurang enak badan. Kamu kenapa tidak beritahu aku kalau ibu sakit? Kalau aku tahu, tadi bisa singgah ke apotik saat pulang kerja."
Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Amar. Bagaimana mungkin ibu mertuaku bisa sakit, sedangkan tadi saat masak, dia masih menyindirku dengan kalimat pedas. Tetapi aku diam, tak mungkin mengadu pada Mas Amar, karena dia pasti akan mengatakan kalau aku terlalu sensitif.
“Tadi ibu mengatakan sesuatu padaku.” Mas Amar lalu diam. Kali ini dia terdiam cukup lama. Aku menatap matanya yang telah sendu. Terlihat dari raut wajah, jika Mas Amar terasa berat untuk mengucapkan.
"Ibu menginginkan aku untuk menikah lagi … Aku sudah mengatakan jika kamu pasti tidak mengizinkan. Tetapi, ibu tetap memaksa." Mas Amar berkata dengan lembut. Tatapan kami beradu.
Aku pun melihat lurus ke depan. Rasanya tidak kuat jika menatap mata Mas Amar. Bibir lalu berkata, "aku sudah tahu, Mas. Aku mendengar semua percakapan Mas dan ibu."
Mas Amar tersentak. Sepertinya dia kaget, mengetahui jika aku mendengar percakapan mereka.
"Kamu jangan salah paham dulu, sayang. Aku sudah mengatakan jika kamu pasti tidak setuju kalau aku menikah lagi."
"Kenapa alasannya karena aku tidak mengizinkan? Kenapa bukan karena kamu mencintaiku dan tak ingin menikah lagi? Kalau misalnya aku mengizinkan, apa kamu mau poligami, Mas?" ujarku sambil menahan sesak di dada.
Hancur sudah harapanku. Mas Amar hanya diam, tak bisa menjawab pertanyaanku. Lelaki yang sudah delapan tahun menjadi suamiku ternyata bukan lelaki yang bisa aku harapkan. Dia terdiam, berarti ada niat untuk berpoligami. Kalau memang hanya keinginan ibunya, dia pasti bisa membantah.
"Jawab aku, Mas! Kamu sungguh ada niat untuk menikah lagi?" Aku menekan nada bicara. Lewat suara dan raut wajah, aku ingin menyampaikan pada Mas Amar jika saat ini sangat terluka.
"Aku mencintaimu, Arumi. Tetapi, aku juga sayang pada ibuku. Dia sampai sakit karena memikirkan kita yang belum memiliki keturunan. Aku tidak tega padanya. Aku takut berdosa karena sudah membuatnya bersedih. Kamu pasti paham, bagaimana dosa seorang anak yang menyakiti hati ibunya. Allah akan murka." Mas Amar kini menunduk. Dia berkata dengan lirih.
Pintar sekali Mas Amar menceramahiku. Dia memang anak yang berbakti pada ibunya. Tetapi lupa, menyakiti hati istri juga akan membuat Allah murka.
"Lantas kamu tega padaku, Mas? Kamu akan menyakitiku, demi kasih sayang pada ibumu. Kamu tidak ingin membuatnya bersedih, tetapi kamu sudah membuat hatiku hancur. Kamu tidak ingin berdosa pada ibumu. Namun sadarkah kamu, membuat seorang istri menangis juga akan membuatmu berdosa? Di mana hati nuranimu, Mas? Kamu pernah berjanji menjadikan aku satu-satunya istri. Mana janjimu itu, Mas?"
Jangan ditanyakan lagi, betapa hancurnya hatiku saat ini.
"Ibu yang sudah melahirkan aku, sayang. Ibu juga yang sudah membesarkan aku. Karena doanya aku bisa seperti ini. Seharusnya sebagai istri, kamu bisa mengerti itu." "Mengerti bagaimana, Mas? Rumah tangga kita bisa saja hancur kalau ada pendatang baru. Tidak mungkin akan baik-baik saja kalau ada perempuan lain." Aku tidak habis pikir dengan isi kepala Mas Amar. Semua perempuan di dunia ini tak akan Sudi jika suaminya meminta untuk poligami. "Maafkan aku … aku akan tetap mengikuti keinginan ibu untuk menikah lagi." Mas Amar kembali menatapku dengan tulus. Aku sangat benci tatapan dan ucapannya. Kenapa dia hanya memikirkan perasaan ibunya? Sejak menikah, aku harus selalu mengalah demi menjaga perasaan ibu mertua. Kenapa Mas Amar tidak pernah memikirkan perasaanku? "Kamu sudah menikahiku, Mas. Kalimat ijab telah kamu katakan saat akad nikah. Ucapan itu sudah mengguncang Arsy. Kamu mengambilku secara halal dari orang tuaku. Di depan ayah, kamu berjanji akan membahagiakan aku. Di depan
Selama ini tak pernah ada pertengkaran hebat antara aku dan Mas Amar. Dia tidak pernah berkata kasar atau membentak. Hanya saja sikap Mas Amar yang tidak adil selalu membuatku terluka. Jika ada perkataan kasar dari ibu mertua, aku diam dan mengalah agar tidak bertengkar dengan Mas Amar. Karena aku tahu, dia akan selalu membela ibunya. Aku pun selalu menuruti perintah Mas Amar sebagai bentuk istri yang berbakti. Jika ada masalah, aku lebih baik mengalah sebelum masalah itu semakin melebar. Lama terdiam, aku pun bersuara. "Jangan samakan rumah tangga kita dengan orang lain. Dalam Islam tidak diajarkan untuk mendzolimi istri karena bakti pada seorang ibu. Jangan menceramahi soal agama kalau kamu saja tidak becus mengurus hatimu, Mas." Kali ini aku tak akan mengalah lagi. Mungkin saat ini rumah tanggaku telah berada diujung tanduk. Sudah cukup selama ini aku merasa terdzolimi. Lelaki yang paling aku cintai, telah berniat membagi cinta. Lalu apa yang harus aku pertahankan? Bagaimana mu
Kenapa kini Mas Amar justru menyalahkan aku? Kenapa seolah aku menjadi pihak yang salah? Ya, memang benar, aku sangat penyabar. Sabar dengan segala kemarah ibu mertua, sabar dengan segala hinaan ibu mertua, dan sabar dengan segala kekurangan suami. Selama ini aku sudah menyembunyikan penyebab aku tidak bisa hamil. Tetapi kenapa, tak sedikitpun perjuanganku dihargai oleh Mas Amar? Malam ini pikiranku telah terbuka. Yang aku lakukan selama ini ternyata salah. Rela dicaci demi menjaga nama baik suami. Tetapi, justru aku yang terhina. Mas Amar tak menghargai ketulusanku. Aku tahu tentang tugas seorang istri. Aku tahu semua kewajiban yang harus dilakukan oleh istri. Selama ini aku sudah sangat berbakti pada Mas Amar. Tetapi, bukan bakti seperti ini yang harus aku jalani kedepannya. Perempuan mana yang bisa ridho diperlakukan begini oleh suami dan keluarganya? "Mas, kamu tahu 'kan kenapa hingga kini aku belum hamil? Kamu tidak lupa 'kan?" tanyaku pelan namun tegas, sambil menatap lekat ma
Detik jam terus berputar, kini jam di dinding menunjuk pukul satu malam. Aku menatap lelaki yang sudah delapan tahun menjadi suamiku, dia telah terlelap. Secepat itukah dia bisa tidur saat menghadapi masalah besar? Ya, menurutku ini adalah masalah yang sangat besar. Kenapa hanya aku yang bersedih? Mas Amar terlihat biasa saja. Aku merapikan rambutnya, bibir pun berkata, "aku sangat mencintaimu, Mas. Bagaimana mungkin aku bisa berbagi dengan perempuan lain? Aku tidak mungkin kuat melihatmu bermesraan dengan istri barumu. Aku meminta cerai bukan karena marah atau tak cinta. Aku hanya terlalu lemah." Mata yang sudah kering, kini basah lagi. Mengingat kembali ucapan Mas Amar beberapa jam lalu, membuat hati sangat teriris. "Aku tahu, ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu. Tetapi aku juga layak untuk kamu bahagiakan, Mas. Aku bahkan selalu berbohong pada kedua orangtuaku, mengatakan jika bahagia tinggal di sini. Tetapi sungguh, itu hanya perkataan bohong agar kamu tetap berwibawa di
Apa yang ada di otak Mas Amar, hal sebesar ini tidak di permasalahkan? Mulai hari ini, aku mungkin tidak akan percaya lagi dengan kata sayang dan cinta yang terucap dari bibirnya. Tak ada cinta yang semenyakitkan ini. Jika dia mencintaiku, tidak mungkin berniat untuk poligami. Jika sayang padaku, Mas Amar pasti akan menolak keinginan ibunya secara halus tanpa menyakiti. Aku diam, tak ingin berdebat. Sekarang masih subuh. Setelah sholat, aku sedikit lebih tenang. Jangan sampai tenagaku habis kalau berdebat lagi dengan Mas Amar. "Aku hari ini ke kantor lebih pagi." Mas Amar lalu berdiri ke kamar mandi dengan gaya santai. Hari ini dia pasti sholat subuh di rumah, karena kalau ingin sholat jamaah di masjid, sudah telat. Mas Amar, lelaki baik yang terkenal Saleh. Selalu berusaha untuk sholat berjamaah di masjid. Banyak yang mengaguminya. Tutur kata Mas Amar yang lembut jika berbicara, membuat banyak orang iri padaku. Ya, banyak orang-orang terdekat yang mengatakan jika aku beruntung men
Aku mengunci pintu dari dalam kamar. Lalu mencoba untuk tertidur. Semalam tidak tidur membuat badan terasa kurang enak. Aku tidak boleh jatuh sakit! Tak sadar, aku tertidur terlalu lama. Saat bangun dan keluar dari kamar, ternyata ada yang ribut-ribut di dapur. Tidak peduli, aku tetap melangkahkan kaki menuju dapur. Aku pikir ada tamu dari mana, ternyata dua orang iparku. Ya, kedua ipar yang memiliki mulut yang sama dengan ibu mertuaku. "Arumi, duduk dulu di sini. Kami ingin bicara," ujar Mbak Maya – Kakak kedua Mas Amar. Dia sedang duduk di kursi ruang makan bersama Mbak Mira dan ibu mertuaku. "Nanti saja, Mbak. Aku masih lapar. Ingin makan dengan tenang." Aku melewati mereka dan menuju lemari tempat menaruh makanan. Tadi pagi, aku memang sudah masak sekalian untuk makan siang, tidak ingin berkali-kali berada di dapur. Kedua iparku sepertinya kaget melihat tingkahku yang sangat tidak ramah. Dalam hati, aku merasa puas. "Kami sudah menemukan calon untuk menjadi istri Amar. Dia p
"Bagaimana menurut kamu, Arumi? Kalian mengurus surat cerai sekarang atau nanti saja setelah Amar selesai menikah," tanya Mba Maya padaku. Dasar perempuan tidak waras. Kenapa bertanya seperti itu padaku? Kalau bukan karena rencana jahat mereka, aku tidak mungkin memiliki niat bercerai dengan Mas Amar. Selama ini aku dan Mas Amar baik-baik saja. Hingga dua tahun yang lalu, ibu mertuaku menjual rumahnya untuk melunasi utang, Mas Amar lalu meminta ibu mertua untuk tinggal bersama kami. Sejak kedatangan ibu mertuaku di sini, hidupku mulai kacau. Jika dulu kalimat-kalimat kasar jarang aku dengar, kini hampir setiap hari. Yang pasti, ketika Mas Amar ke kantor, ibu mertuaku mulai berulah. Namun, saat ada Mas Amar, ibu mertuaku akan berubah menjadi malaikat penghuni bumi. "Besok juga boleh. Jangan lama-lama!" Aku lalu berdiri dari kursi. Makanan di piringku sudah habis. Aku juga tidak ingin duduk bersama mereka dalam waktu yang lama. Bisa gila nanti. "Baik, Arumi. Besok juga akan aku uru
Hati Mbak Maya terbuat dari apa sih? Kenapa tidak sadar jika aku menangis karena ucapannya tadi? Dasar perempuan tidak punya hati. Tak lama kemudian, ibu mertuaku juga masuk ke dalam kamar. Kini mereka bertiga - penduduk bumi yang selalu menyakitiku, sudah berkumpul di Kamar utama rumah ini. "Aku tidak ingin bercerai dari istriku, Mbak. Kalau ibu dan Mbak ingin menikahkan aku dengan perempuan lain, silahkan! Tetapi, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan Arumi." Ada perasaan hangat menjalar di hati ketika mendengar perkataan Mas Amar. Untuk pertama kali aku mendengar dia membelaku di depan mereka — ibu mertua dan iparku. Tetapi semuanya sudah terlambat, aku akan tetap ingin cerai. Rasa sakit sudah sangat berat dan sulit untuk disembuhkan. "Tadi istrimu yang meminta untuk cerai. Bukan kami yang suruh. Kalau dia ingin bercerai dari kamu, ya sudah. Lepaskan saja dia, Amar. Kasihan Arumi, dia sudah ingin pisah dengan kamu. Berarti dia tidak mencintai kamu lagi. Tadi dia bi