Aku terus memandangi Keenan yang masih setia berlutut sambil memegangi kotak beludru berukuran kecil yang berisi cincin berlian dengan satu mata. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengangguk.“Iya, aku akan setia berada di sisimu, Kee,” jawabku sambil mengusap air mata yang sudah mengalir di pipi.Pun terlihat Keenan ikut berkaca-kaca dan menghela napas. Dia perlahan mengeluarkan cincin dari dalam kotak dan menyematkan pada jari manis tangan kiriku.Setelah itu tanpa sungkan, Keenan memeluk dan membelai rambutku.“Aku mencintaimu, Lilian. Aku sangat mencintaimu,” ucap Keenan, “mari kita menjalani kehidupan ini bersama-sama.”“Iya,” sahutku yang sudah tidak bisa berkata-kata lagi.“Selamat, Li! Selamat, Kee!” Itu suara Om Danendra.Aku dan Keenan melepaskan pelukan. Kami lalu menoleh sambil mengusap air mata dan menyambut pelukan Om Danendra dan Tante Iva.“Selamat, Li! Tante senang sekali,” ucap Tante Iva yang ternyata ikut menangis terharu.“Terima kasih, Om, Tante,” sahut Keenan.
“Aku masuk kamar dulu ya,” ujarku tanpa suara sambil memberi tanda pada Keenan.Keenan mengangguk dengan menampilkan jempolnya.Cukup lama aku menunggu Keenan menelepon papanya hingga aku memutuskan untuk kembali ke kamar terlebih dahulu.Hari ini kami semua, termasuk Cheryl dan Dokter Raffa akan kembali ke tempat tinggal kami masing-masing. Jadi, aku akan menggunakan waktu untuk berkemas.Baru saja aku selesai memeriksa tempat tidur, lemari, dan kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, bel kamar berbunyi.Aku bergegas melangkah menuju ke arah pintu dan membukanya.“Hai! Sudah selesai?” tanyaku pada Keenan sambil membuka pintu lebih lebar agar dia bisa masuk ke dalam kamar.“Sudah. Maaf ya, lama,” ucap Keenan.“Tidak apa-apa,” jawabku.“Papa sudah tahu kalau kemarin aku melamarmu.” Keenan berkata sambil duduk di sofa.Pun aku ikut duduk di sampingnya.“Bagaimana Om Mario tahu? Apa kamu cerita padanya?” tanyaku tidak terkejut.Namanya orang tua memang sudah selaya
Aku tidak percaya Mama dan Mama Keenan sampai bersedia merendahkan hatinya agar kami bisa segera melaksanakan pernikahan. Ah, ini rasanya masih seperti mimpi.Keenan sebenarnya dalam beberapa hari ke depan sudah bisa kembali ke Singapura. Namun, dia menunda kepulangannya karena sekalian ingin mengurus acara pernikahan kami.Jadi, kami memutuskan untuk menyerahkan semua urusannya pada tim event organizer untuk memudahkan dan acaranya akan dilaksanakan di Pulau Bali.Sesudah bicara dengan Keenan, aku bergegas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku berencana untuk mengunjungi Cheryl.Sekitar tiga puluh menit kemudian …Aku sudah sarapan dan sudah rapi. Namun, sebelum melangkah menuju ke unit apartment Cheryl, aku kembali duduk di sofa untuk mengirimkan pesan terlebih dahulu. Jangan sampai aku datang dan Cheryl sedang pergi!“Ryl, apa kamu ada di unit apartment? Aku mau ke sana.” Tanpa ragu, aku mengirimkan pesan pada Cheryl.Tak menunggu waktu lama, sahabatku itu langsung membalas p
“Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera
Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,
“Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb
Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k
Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama