Perkelahian sengit itu ternyata terjadi cukup lama hampir 15 menit lamanya. Meski kaki Erik keseleo, tapi ia tak menunjukkan dirinya lemah di hadapan sang Kakak. Malah diam-diam, Axton dan Antony bertaruh.
"Aku menjagokan Ivan," ucap Antony setelah memperhatikan teknik berkelahi pria berambut pirang itu.
"Yah, karena hanya ada dua orang, tersisa Erik saja. Oke, aku Erik walaupun aku yakin dia akan kalah. Hempf, taruhan ini sungguh tak adil. Tak adakah kandidat lain?" gerutu Axton yang merasa jika ia akan rugi banyak.
Antony tersenyum. Ia melirik Axton yang terus menyoraki Erik agar menang melawan kakanya.
Namun, baik Axton ataupun Antony, mereka sudah melihat jika Erik tak sanggup bertarung lagi karena sudah berdarah hebat di hidung dan mulutnya.
"Sudahlah, menyerah saja, Erik. Kau tak kasihan dengan ketampananmu?" tanya Axton meringis iba membayangkan sakit di wajah sahabat barunya itu.
"Diam! Lelaki sejati tak akan mundur dari pertarungan meskipun harus kehilangan wajahnya!" jawabnya dengan darah bercampur lendir menetes di mulutnya.
"Wahhh ...," kagum Axton malah bertepuk tangan, begitupula Antony.
Ivan terkekeh dan mulai mengelap mulutnya yang berdarah karena pukulan kuat Adiknya. Erik mulai sempoyongan dan benar saja, BRUKK!
"Hehe. Serahkan Rolex-mu, Axton," ucap Antony menyodorkan tangannya meminta hadiah hasil taruhan.
Axton mendesis dan melepaskan jam tangan mewahnya dengan gusar. Antony tersenyum dan memasukkan jam tangan itu di saku jasnya.
Axton dan Antony mendekati Erik, berjongkok di samping tubuhnya.
"Hei, jangan tidur di sini! Jika kau pingsan, aku tak mau menggendongmu, apalagi menyeretmu. Jangan salahkan kami jika kau ditinggalkan," ucap Axton sembari menekan-nekan pipi Erik dengan telunjuknya.
Namun, Erik sungguh tak sadarkan diri. Axton, Antony dan Ivan saling berpandangan. Pada akhirnya, mereka bertiga menghela nafas.
"Hehe, kau Kakak yang baik juga, Ivan," ledek Axton saat melihat Erik digendong oleh Ivan di punggungnya.
"Diam. Kau tahu, Axton? Kau itu banyak bicara. Berisik," gerutu Ivan yang berjalan di depannya.
Axton terkekeh. Antony diam saja mengikuti orang-orang itu di paling belakang sembari melihat sekitar.
"Aku orang Rusia, tapi aku tak tahu tempat apa ini? Aku belum pernah kemari sebelumnya," ucap Antony berjalan perlahan karena jalanan di dalam hutan yang gelap di kelilingi salju.
"Bagaimana jika kita tersesat? Kita berjalan sudah cukup jauh. Sebentar lagi matahari terbit," sahut Ivan terlihat cemas.
"Ini baru jam berapa, kenapa matahari sudah terbit?" tanya Axton heran.
"Di Rusia, lama hari hanya 4 jam saja. Kurang lebih begitu," jawab Antony dan Axton ber-Oh karena baru mengetahui hal tersebut.
Tiba-tiba saja, langkah Ivan terhenti. Axton dan Antony ikut terkejut.
"Ada apa?" tanya Axton panik.
"Semoga hanya perasaanku," jawab Ivan terlihat was-was dengan sekitar.
Namun tiba-tiba, "GRRR ...."
"Oh, shit! Apa itu? Kenapa anjing itu berliur dan matanya merah?" pekik Axton saat melihat seekor anjing keluar dari semak, berjalan mengendap, mengerang seperti siap untuk menerkam para lelaki di depannya.
Axton dan lainnya panik seketika. Mereka mundur perlahan dan mulai merapat.
"Wow!" pekik Antony saat muncul anjing lain dari balik semak.
Keempat pemuda itu ketakutan karena kini dikepung oleh tiga anjing yang terlihat seperti memiliki rabies.
"Jangan bergerak tiba-tiba. Jika kita lari, kita pasti dikerjar dan digigit oleh mereka," ucap Antony dengan tubuh mulai membungkuk dan matanya sibuk memindai sekitar.
"Sial! Si lemah ini malah pingsan," geram Ivan.
"Wait. Anjing-anjing ini sepertinya tertarik padamu dan Erik," ucap Axton yang perahan berjongkok sembari memungut batang kayu di dekat kakinya.
"Darah! Kalian berdarah! Pantas saja," jawab Antony menduga.
"Makanya, kalian berdua jangan ...."
"Axton!" teriak Antony saat seekor anjing hitam melompat dan mulai menyerang cucu Giamoco tersebut.
"Aaaa!!! Menyingkir dariku! Ayahhh!! Kakeekk!!" teriak Axton lantang saat ia sudah jatuh terlentang, menahan gigitan anjing buas itu dengan batang kayu di leher hewan tersebut.
DUAKK!
Axton terkejut ketika Antony menendang anjing tersebut dengan kuat dari samping menggunakan kaki kirinya.
Mata Axton melebar saat Antony tak terlihat takut dan malah mendatangi hewan itu. Hewan itu terhuyung, tapi dengan sigap siap menyerang Antony dengan melompat padanya.
Antony berusaha menghindar ke sana kemari dari serangan anjing buas itu. Ia mengambil sebuah batang kayu yang dijadikan pertahanannya dari gigitan hewan tersebut.
Antony berhasil menahan gigitan dengan memegang kuat batang kayu menggunakan kedua tangannya.
Sayangnya, kekuatan hewan tersebut lebih besar darinya. Antony mulai kewalahan. Axton panik dan segera berdiri. Ia menggenggam kuat batang pohon di kedua tangannya.
Saat Axton siap untuk memukul hewan itu, tiba-tiba ....
"ARGHHH!!" teriaknya yang langsung jatuh terlentang saat dirinya diterkam dari samping oleh anjing yang lain.
Tiga anjing buas itu terlihat kelaparan. Axton berteriak saat jas di bagian bawah ketiaknya digigit hingga robek dan hampir mengenai kulitnya.
Dengan sigap, Axton melepaskan jasnya dan membungkus kepala anjing itu dan usaha Axton berhasil.
Ia mengambil batang pohon sebagai senjata andalannya dan menggenggamnya erat.
DUAKK!! BRUKK!!
"I hate dog," geramnya.
"Arghh!! Axton!" teriak Ivan saat ia terpaksa menjatuhkan Erik dan mencoba menghalau serangan anjing buas di depannya dengan patahan dahan pohon yang memiliki banyak daun.
Axton mengambil tumpukan salju dan menjadikannya bola. Ia melemparkan bola-bola salju itu ke arah anjing yang mengincar Ivan.
"GRRR," geram anjing itu saat menyadari Axton mengusiknya.
"Oh, shit," ucapnya panik saat anjing itu kini berlari ke arahnya.
Axton kembali mengambil tongkat kayunya dan mengambil kuda-kuda. Ia siap menghajar anjing itu yang kini berlari dengan air liur mulai menetes dari mulutnya.
"Come on, Ugly!" teriaknya menantang.
"GOARRR!"
DOR! DOR! BRUKK!
Axton terperanjat saat anjing yang akan menyerangnya tewas tertembak tepat di perutnya termasuk anjing yang menyerang Antony.
Mata ketiga pemuda itu melotot saat melihat Theresia, menembak di kejauhan dengan pistol dalam genggaman, terlihat santai.
"Sudah cukup main-mainnya. Cepat ikut aku kembali ke gudang," ucapnya dingin seperti udara di malam itu.
Antony yang jatuh terlentang dan masih memegang batang kayu terlihat lega, karena ia terselamatkan.
Axton mendatangi Antony dan membantunya berdiri. Erik digendong oleh anak buah Theresia yang memakai seragam warna abu-abu.
Nafas tiga pemuda itu tersengal. Ivan, Axton dan Antony segera mengikuti Theresia yang berjalan di depannya.
Anak buah Theresia berseragam abu-abu melindungi mereka dengan pistol dalam genggaman.
"Cepat masuk," perintah Theresia saat sebuah mobil sudah siap dengan pintu yang terbuka.
Erik mulai sadar meski matanya masih sayu dan linglung. Keempat pemuda itu masuk ke dalam mobil dan duduk bersama. Mereka diam selama perjalanan ke gudang tempat yang seharusnya mereka datangi tadi.
Axton, Antony, Ivan dan Erik turun dari mobil dikawal oleh para lelaki berseragam abu-abu masuk ke gudang.
Empat pemuda itu panik saat sebuah pintu besi muncul di hadapan mereka. Kali ini, mereka tak bisa kabur.
Axton masuk lebih dulu diikuti oleh Antony, Ivan dan Erik. Empat pemuda itu terlihat ketakutan karena tempat tersebut gelap dan tak terlihat apapun.
Tiba-tiba, KLIK!
"Wow!" pekik Axton melotot seketika, saat menyadari jika ruangan tempat mereka berada sangat bagus.
Salah seorang anak buah Theresia masuk ke dalam dan menyalakan perapian. Suasana hangat seketika.
Terdapat dua ranjang bertingkat dengan empat kasur. Sebuah perapian dan karpet beruang kutub terbentang gagah di lantai.
Terlihat berbagai furniture yang terbuat dari kayu mahoni telah dipernis. Seorang petugas kembali masuk sembari meletakkan cemilan dan minuman hangat di sebuah meja dengan empat kursi tersedia di sana.
Antony, Axton, Erik dan Ivan sampai terbengong-bengong karena tak menyangka jika tempat itu sangat nyaman.
"Masih ingin kabur?" sindir Theresia dengan salah satu alis terangkat.
"Kapan-kapan saja. Aku terlalu lelah dan di luar sangat dingin. Aku di sini saja," jawab Axton langsung terlentang, merebahkan diri di atas karpet beruang kutub tersebut.
Theresia melirik Ivan.
"Aku ... ingin memastikan jika Erik dan lainnya baik-baik saja. Jadi sebaiknya, aku tetap di sini," jawabnya sungkan.
"Hatchu! Agh, sepertinya ... aku terserang flu. Aku ingin menghangatkan diri dulu," sahut Antony langsung berjalan mendatangi Axton dan duduk di dekat perapian.
Erik bingung dan masih melihat sekitar dengan wajah babak belur. Theresia menggelengkan kepala.
Ia meninggalkan ke empat pemuda itu dalam ruangan yang telah ia persiapkan untuk menyambut mereka.
Keempat pemuda itu saling memandang dan pada akhirnya tertawa bersama.
Mereka merasa sangat bodoh karena telah berburuk sangka terhadap Theresia dan Lawrence karena gudang yang terlihat menyeramkan dari luar padahal sangat mewah di dalam.
Selama di dalam ruangan, Axton, Erik, Antony dan Ivan saling mengobrol akrab. Erik diobati lukanya oleh Antony yang ternyata cukup ahli dalam merawat luka."Aduh, agh," rintih Erik saat Antony membersihkan noda darah dengan kapas berisi air hangat dalam baskom."Berhenti mengeluh atau obati sendiri," tegas Antony menatapnya tajam.Erik kembali diam dan kali ini menahan sakit di wajahnya yang babak belur. Sedang Ivan, terlihat cuek meski wajahnya juga lebam dan berdarah.Ia duduk di kursi meja makan dan menaikkan kedua kakinya di atas meja, menikmati sajian biskuit cokelat dengan lahap."Jadi ... kita akan di sini berapa lama?" tanya Axton penasaran yang masih betah dengan posisinya di atas karpet beruang kutub."Entahlah. Setidaknya tempat ini lebih baik ketimbang berada di luar," sahut Ivan sembari mengunyah biskuit di mulutnya."Em ... jujur. Sebenarnya, aku merasa kita ini cocok. Lihatlah tadi, meski kita ketakutan saat melawan anj
"What? Camp militer? Tempat pelatihan super kejam dengan Instruktrur bernama Zeno?" pekik Axton panik. "Ya. Begitulah. Kenapa? Kalian takut?" ledek Lawrence. Keempat pemuda itu saling memandang terlihat gugup. "A-aku belum menyelesaikan sekolahku. Aku akan ke sana begitu lulus sekolah nanti. Akademis legal itu penting, Tuan Lawrence," dalih Axton dan diangguki oleh Ivan, Erik dan Antony yang ternyata satu pemikiran. Lawrence menahan senyumnya. Keempat pemuda itu terlihat pucat entah mereka membayangkan seperti apa tempat yang dikatakan Camp Militer itu. "Hem, kau benar. Legalitas itu penting, meski kita ini mafia. Well, kalau begitu sebaiknya kalian membersihkan diri. Dokter akan segera datang untuk memeriksa kalian. Aku khawatir kalian terkena rabies dari anjing yang menyerang tad. Selain itu, kulihat kaki Erik semakin bengkak. Kembalilah ke dalam, di luar dingin," ucap Lawrence dan keempat pemuda itu mengangguk pah
Terlihat orang-orang berseragam hitam khas The Shadow sudah menunggu di sebuah kapal kecil untuk mengangkut orang-orang tersebut.Erik dipapah masuk ke dalam kapal dan terlihat, ia menatap orang-orang yang tak ia kenali meski menggunakan seragam The Shadow.Mereka bicara dalam bahasa Inggris."Kalian The Shadow? Siapa yang merekrut?" tanya Erik to the point menatap para lelaki yang umurnya lebih dewasa darinya."Nyonya Theresia," jawab salah seorang pria tegas."Di mana anggota yang lain?" tanya Erik seakan tidak puas."Kau ada masalah dengan itu, Anak muda?" tegasnya."Anak muda? Hah, anak muda di depanmu ini adalah pendiri The Shadow. Jaga mulutmu, Anak baru," balas Erik menghina.Kening para lelaki berseragam hitam itu berkerut. Red yang berdiri di belakang Erik mengangguk seperti membenarkan. Para lelaki itu terkejut."Maafkan kami, Tuan. Anda pasti Erik Benedict.
Axton diberikan kamar sendiri oleh sang Kekek. Namun, malam itu, Axton tak bisa tidur dan memilih untuk tidur bersama Giamoco.TOK! TOK!"Grand Pa. Apa kau sudah tidur?" tanya Axton setelah mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban.Axton mendesah panjang dan kembali ke kamar dengan lesu. Namun, saat ia memasuki kamar, betapa terkejutnya ketika sang Kakek sudah berada di kamarnya sedang berbaring."Sejak kapan kau di sini, Grand Pa?" tanya Axton bingung.Giamoco hanya tersenyum. Ia mengayunkan tangan kirinya, memanggil cucu semata wayangnya untuk ikut berbaring di sampingnya.Dengan senyum merekah, Axton segera menghampiri sang Kakek dan bermanja-manja di sampingnya. Giamoco tersenyum sembari mengelus kepada Axton lembut."Jujur, Adry. Kakek sebenarnya marah padamu. Kau dengan begitu mudahnya menyerahkan benda berhargamu pada wanita tak dikenal. Terlebih, mereka itu pelacur. Aduh," keluh Giamoco mengelus dahinya
Malam natal terasa begitu hangat bagi Axton yang selama ini berselisih dengan sang ayah semenjak kepergian Iva, sang ibu untuk selama-lamanya.Axton menghabiskan natal bersama kakek dan ayahnya, menyusuri kota Boston dengan membeli banyak barang untuk kesenangan mereka pribadi.Hingga akhirnya, mereka dalam perjalanan pulang ke rumah setelah udara dingin di malam yang larut mulai mengusik. Axton tertidur lelap di paha sang ayah."Dia terlihat senang sekali malam ini, Leighton," ucap Giamoco tersenyum saat melihat cucunya tidur dengan mantel barunya."Ya. Aku merindukan pelukan dan senyumannya saat bersamaku, Ayah. Aku tak menyangka, jika Axton bisa menerimaku lagi. Aku rasa, sudah cukup bagiku untuk mencari wanita pengganti Iva. Axton prioritasku," jawab Leighton sembari mengelus lembut kepala sang anak dengan senyum terkembang.Giamoco ikut tersenyum dan bernafas lega. Namun, saat mobil melaju di persimpangan jalan di mana jalanan sudah sepi, tiba
Pagi itu. Kediaman Giamoco, Boston, Amerika. Mereka bicara dalam bahasa Inggris. "Tuan Muda, Tuan Muda," panggil seorang lelaki. "Emph. Oh, hai, Jeff," jawab Axton mulai terbangun dari tidurnya. Jefferson. Tiga dari salah satu asisten kepercayaan Giamoco, sedang berjongkok di samping Axton. Axton terlihat masih mengantuk. Namun, ia mulai membuka kelopak matanya perlahan hingga terlihatlah warna hitam kecokelatan pada pupil matanya. Jeff tersenyum. "Good morning, Sir. Ayo, kita sarapan. Di luar sangat dingin dan Anda malah tidur di lantai," ucap Jeff ramah sembari memegangi lengan Tuan mudanya yang perlahan duduk meski matanya masih sayu. Jeff membantu Axton melepaskan mantel baru yang dipakainya, kado natal pemberian sang kakek. Jeff melipatnya dan meletakkan mantel tebal warna biru tua terang di samping Tuan mudanya. Namun, saat Axton mulai berdiri dan siap melangkah, ia memeg
Axton terlihat tegang. Namun tiba-tiba, ia malah menghadap dua Asisten kakeknya dengan senyum terkembang. "Aku bisa melewati polisi-polisi itu. Kalian bisa gunakan peluang untuk mengevakuasi kakek," ucapnya dengan mata berbinar. "What? Jangan gegabah, Tuan Axton. Itu berbahaya," jawab Paul dengan suara tertahan. "Di mana kamar kakek? Nomor berapa? Lalu kamar ayah?" tanya Axton serius dan pada akhirnya, Paul memberitahukannya. Axton langsung keluar dari balik dinding dan berjalan di koridor. Jeff dan Paul terkejut karena Tuan muda mereka nekat menerobos. Axton melihat dua polisi seperti mencari sesuatu di tiap pintu yang mereka sambangi. Axton melihat, dua pintu lagi, ruangan tempat kakeknya berada akan di buka. Axton berjalan perlahan terlihat gugup meski ia berusaha untuk tetap tenang. Hingga akhirnya .... "Pak polisi! Hei! Can you help me, please?" panggil Axton dengan lantang. Dua polisi itupu
Axton terlihat bahagia bisa mengelabuhi dua polisi tersebut termasuk Serena dan Jeff. Axton begitu lengket dengan Serena selama perjalanan pulang ke kediaman Giamoco.Sesampainya di mansion, Axton terkejut karena tak mendapati sang kakek yang menurut informasi berhasil di selamatkan oleh Paul dan lainnya."Kakek ada di mana, Jeff?" tanya Axton cemas."Pulau pribadi. Beliau akan baik-baik saja. Anda akan menyusul begitu tuan Leighton pulang nanti. Sebaiknya, Anda tetap berada di mansion terlebih dahulu," jawab Jeff dengan senyuman.Axton mengangguk pelan."Di luar salju lebat. Bisakah aku nanti diantarkan pulang? Tadi aku ke rumah sakit untuk cek darah, tapi ... besok saja," ucap Serena meringis."Kau menginap saja. Telepon orang tuamu dari rumahku. Mereka pasti mengizinkan," sahut Axton dengan senyum terkembang dan Serena mengangguk.Jeff terpaku karena ia seperti tak dilibatkan dalam pembicaraan ini. Axton menggandeng Serena ke ruang