Share

04. Jodoh di Tangan Mami (2)

Sejujurnya, Juda belum seputus asa itu untuk bisa segera menikah. Ini semua karena tuntutan dan desakan Mami yang membuat Juda nyaris gila. Jika diberi pilihan, tentu saja Juda akan memilih untuk tidak menikah dulu, setidaknya sampai ia bisa menuntaskan masalah hatinya. Juda ingin dan berharap bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya kembali percaya kepada laki-laki. Yang bisa mengajarinya arti cinta, bukan sebuah pertemuan yang diatur oleh Mami dengan paksaan yang membuatnya tertekan hingga membuatnya tak bisa tidur nyenyak.

Ema, teman terdekatnya sejak SMA, berkali-kali berkata, “Sekali-kali lo tegasin aja ke nyokap lo, Ju. Bilang ke beliau kalau lo udah gede dan bisa ngatur masa depan lo sendiri.  Lo bisa tegas ke orang-orang, tapi sama nyokap sendiri lembek banget. Dengan lo bersikap kayak gitu, nyokap lo pasti jadi ngerasa kalau dia punya kuasa buat ngatur lo harus begini begitu.”

Hari ini, setelah Juda bercerita tentang Sakha dan juga Hamish, ia langsung disembur Ema dengan omelan serupa.

Juda mengaduk-aduk kopinya yang tinggal tersisa separuh gelas tanpa berminat menghabiskannya.

“Nyokap gue begitu karena khawatir sama gue, Em. Karena nyokap gue sayang sama gue.”

“Ngerti gue.” Ema bersedekap. Duduk tegak di kursinya yang berseberangan dengan Juda. “Gue juga bukannya nyuruh lo jadi anak durhaka. Gue cuma minta lo buat ngomong lebih tegas aja. Gue bilang tegas ya, bukan yang cuma ngomel galak terus ngadu ke bokap lo kalau nyokap lo nggak mau dengerin pendapat lo. Gue yakin bokap lo juga bakal dukung lo kalau lo mau tegas soal hidup dan perasaan lo sendiri.”

Ema memberikan tatapan galak dan serius di waktu yang bersamaan. Satu-satunya orang terdekat Juda−selain orang tua dan kedua kakaknya−yang bisa membuat Juda mengkeret saat diceramahi.

“Katanya lo berharap ketemu sama cowok yang bisa bikin lo nyaman dan bisa buka hati lo buat dia, kan? Percaya sama gue, mau sampai seratus laki disodorin nyokap lo, kalau lo nggak beneran ikhlas ketemu mereka, bakal sia-sia. Bisa-bisa sampai umur empat puluh lo bakalan masih perawan.”

“Doa lo jelek banget, sih! Gue juga bukannya pengen jadi perawan tua.”

Juda melemparkan gumpalan tisu ke wajah Ema dengan kesal.

Ema menghindar dengan mudah hingga tisu itu jatuh di lantai.

“Ya, makanya. Daripada lo tiap saat ngeluh mulu ke gue tiap nyokap lo mulai gencar jodoh-jodohin lo, mending lo turutin nasihat gue. Atau gini aja, kalau lo beneran nggak bisa ngomong ke nyokap lo, lo tetepin hati lo dulu sebelum ketemu calon yang dipilihin nyokap lo. Jangan langsung kasih red flag cuma gara-gara dia nggak bisa bedain warna lilac sama lavender.”

“Gue nggak pernah kasih red flag ke cowok yang nggak bisa bedain warna lilac sama lavender! Gue kan juga buta warna. Gue cuma tahu warna pelangi mejikuhibiniu,” cerocos Juda.

Ema menyemburkan tawa karenanya.

“Tapi lo pernah kasih red flag ke siapa tuh, cowok berkacamata yang nembak lo pake 25 tangkai bunga mawar waktu lo ulang tahun ke-25.”

“Oh si Gibran yang dokter saraf itu ya. Waktu dua kali jalan sama dia, gue udah cerita kalau gue tuh nggak suka bunga, tapi masih aja dikasih. Gue sebel aja soalnya dia tuh kelihatannya aja pendengar yang baik, ternyata pura-pura doang. Udah gitu ternyata anaknya pamrih banget. Dia bilang ‘Sia-sia sekali menghabiskan waktu bersama perempuan yang nggak punya masa depan’,” gerutu Juda yang mulai mengais ingatan tentang salah satu mantan pacarnya.

“Siapa juga yang mau tiba-tiba langsung diajak kawin padahal baru kenal empat bulan. Satu bukti lagi kalau dia emang nggak bener-bener dengerin tiap gue ngomong. Di date pertama setelah dikenalin sama senior gue aja gue udah bilang kalau gue mau hubungan yang nyantai. Eh, dia malah ngegas, kan gue males juga jadinya.”

“Kalau gue jadi lo juga bakal langsung kabur sih walaupun doi duitnya banyak,” gumam Ema. “Tapi yang masih bikin gue heran, kenapa lo kenal sama cowok nggak jelas semua.”

Warna muka Juda semakin keruh.

“Gue curiga kalau ada yang ngutuk gue biar gue nggak bisa punya hubungan yang adem ayem sama cowok.”

“Coba lo inget-inget lagi, deh. Menurut lo, dari semua mantan lo, siapa yang paling tersakiti waktu kalian putus?”

Itu adalah pertanyaan paling mudah yang bisa dijawab Juda tanpa perlu berpikir.

“Lo tahu pasti siapa, Em,” ujarnya dengan pahit.

Perlu beberapa detik sebelum Ema paham.

“Danis. Dia juga yang bikin lo patah hati nggak sembuh-sembuh,” cetus wanita berkuncir kuda itu dengan nada setengah prihatin dan setengah bosan. “Gue jadi penasaran gimana kabar pujaan hati lo itu.”

“Danis bukan pujaan hati gue,” elak Juda dengan galak.

Ema tidak mengindahkan suara keras Juda dan malah berkata, “Gue dengar-dengar sih, katanya Danis belum pernah balik ke Indonesia dari sejak dia berangkat ke Belanda sepuluh tahun lalu. Setelah lulus S1, doi langsung lanjut S2. Sebelum lulus S2 dia udah dapet kerjaan di sana.”

“Gue nggak peduli. Nggak usah bahas Danis lagi, bisa kan?”

Ema mengerling geli. “Duh, ada yang galau.”

“Gue nggak galau.” Juda memutar bola matanya dengan malas.

Ema sudah ingin kembali menggoda Juda, namun saat melihat jarum jam pendek di angka sepuluh, ia urung.

“Udah ah, yuk balik. Udah mau jam sepuluh nih,” ajak Ema masih sambil menatap arloji di pergelangan tangan. “Gue besok harus ke bandara pagi-pagi banget.”

“Jemput Astu? Bukannya bulan lalu dia pulang ke Jakarta? Masa udah pulang lagi?” tanya Juda.

Ema menggeleng. “Gue mau dinas ke Bali.”

Juda langsung menggerutu, “Dinas mulu kerja lo. Apalah gue yang tiap hari cuma duduk di depan komputer ngitung duit sampai bokong gue tepos.”

Juda sudah lima tahun−ia belum pernah pindah sejak lulus kuliah−bekerja sebagai akuntan di bagian Subag Akuntansi di sebuah rumah sakit di daerah Kebon Jeruk. Berkutat dengan angka-angka miliaran yang imajiner yang tidak pernah ia lihat wujudnya.

“Gue ikut lo ke Bali aja kali ya biar gue bisa mangkir dari acara arisan nyokap gue,” desah Juda.

“Besok masih Jumat, dodol! Mau bolos lo?” Ema berdiri, dan Juda pun ikut berdiri dari tempat duduknya. Keduanya beranjak meninggalkan kafe. “Ketemu aja dulu, Ju. Kali aja si Hamish ini lebih hot dari Hamish Daud.”

“Gue nggak mau expect terlalu tinggi. Cepak gue dapet zonk mulu.”

Ema tertawa.

Sebelum keduanya berpisah, Ema sekali lagi menawari Juda untuk ikut mobilnya saja ketimbang naik grab menuju indekosnya. Juda menolak karena indekos dan apartemen Ema beda arah.

“Inget kata-kata gue, Ju. Hadapi nyokap lo dengan tegas!” seru Ema setelah grab yang dipesan Juda saat keduanya masih di dalam itu sudah datang dan Juda masuk ke dalamnya setelah mencium pipi kiri dan pipi kanan sahabatnya.

Juda melambaikan tangan dari kursi penumpang kepada Ema sambil tersenyum bosan.

Setelah mobil grab yang membawanya berbelok ke arah jalan raya, Juda menyandarkan punggung dan memejamkan mata sejenak. Empat hari berlalu dengan cepat. Dan lusa sudah akhir pecan. Kalau biasanya akhir pekan selalu dinanti-nanti, sekarang tidak lagi. Sejak desakan Mami kepada Juda untuk segera menikah dan memintanya untuk sering-sering pulang, akhir pekan tidak lagi menjadi hal yang paling Juda hindari.

.

.

to be continued 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status